Minggu, 11 Maret 2012

MENCARI KEDAMAIAN - Menelusuri Sejarah Matur

Assalaamu'alaikum Warahmatullaahii Wabarakatuh

Banyak orang-orang Matur yang merantau ke berbagai daerah, dan sangat banyak diantaranya yang tidak mengenal Matur, karena anak Matur perantauan ini mungkin sejak lahir sudah di rantau dan jarang (bahkan mungkin tidak pernah) pulang ke kampungnya sehingga hanya memiliki pengetahuan yang sedikit sekali mengenai Matur.

Saya sendiri adalah salah seorang "anak rantau" itu yang tidak banyak mengenal kampungnya sendiri. Kini berdomisili di Medan namun tidak ingin kehilangan akar sejarah kampungnya. Beruntung bahwa mertua saya Bp. Anwar Harry St. Pamenan memiliki artikel yang cukup baik menggambarkan mengenai sejarah Matur sehingga dapat memberikan gambaran yang memadai bagi anak Matur perantauan.

Situs ini dibangun untuk berbagi kepada siapa saja yang ingin mengenal Matur. Tidak hanya putra-putri keturunan Matur saja, namun juga kepada siapa saja yang ingin mengetahuinya. Untuk memberikan pendapat, saran atau informasi tambahan lainnya silahkan mengisi daftar tamu yang disediakan (guestbook). Namun saya juga mengharapkan pihak mana saja yang memiliki artikel, foto-foto atau tulisan mengenai Matur yang akan menayangkannya disini dapat mengirimkannya via email

Pengantar Penulis


Sudah lama naskah “Mencari Kedamaian” terbengkalai, bertahun masa sudah berlalu, namun selalu saja ada benturan untuk menyelesaikannya, namun penulis tetap berusaha agar sejarah Matur yang serba unik dapat selesai dan segera dapat dibaca oleh putra-putri Matur dimana saja berada.

Penulis menginsyafi sedalam dalamnya bahwa tulisan ini tidak mutlak untuk dipercaya seratus persen karena Minangkabau tidak punya tambo atau bukti tertulis lainnya sebagai pedoman. Minang hanya dikenal “kaba-dari-kaba” dan tidak mungkin dapat di pedomani untuk menyusun sebuah tulisan yang bersifat ilmiah. Karenanya penulis cenderung untuk mengadakan seminar sebelum naskah dicetak atau disebar luaskan kepada pembaca. Justru itulah yang menjadikan naskah ini tak kunjung selesai. Selanjutnya andaikata naskah mencari kedamaian ini dicetak, pemasarannya pun terasa sempit karena hanya orang Matur yang cinta kampung halamannya saja yang ingin mengetahui sejarah kampung halamannya, sedangkan keluarga dikampung sendiri tidak punya kemauan untuk mengungkit sejarah kampung halamannya.

Penulis mencoba membagi beberapa bab dalam tulisan ini antara lain bab pra sejarah yang bersifat nomaden, jaman hindu, mulai membentuk nagari, jaman pra-padri, jaman padri, masuknya Belanda sebagai penjajah, yang diikuti dengan perintah tanam paksa dan berodi disertai pajak blasting yang tinggi.

Matur mulai mengenal dunia pendidikan sejak 1 Oktober 1871, dengan arti lain 17 tahun lebih tua dari Hardiknas yang diperingati tiap tahun oleh bangsa Indonesia sekarang.

Terbukanya terusan Suez di jazirah Arab pada tahun 1689 menjadikan rakyat Aceh bertambah makmur karena hubungan dagang antara Aceh dan negeri Timur Tengah bertambah dekat. Justru itu Aceh menjadi idaman bagi rakyat Matur yang telah pandai tulis baca. Merantau ke Aceh jadi idaman karena beberapa faktor, antara lain : Pertama, Aceh adalah negara Islam, sama dengan rakyat Matur yang telah lama menganut faham Islam sekurang kurangnya sejak jaman pra padri dibawah komando Tuanku Nan Renceh. Kedua, tetap di Matur berarti tetap jadi anak jajahan, harus berodi dan membayar blasting. Akibatnya rakyat Matur pergi merantau ke Aceh yang telah lama makmur.

Berakhirnya belanda sebagai penjajah digantikan dengan Jepang yang aduhai kejamnya, negara fasis yang sungguh biadab dan tak punya perikemanusiaan. Semua pemuda ditangkap dan dipaksa untuk ke Logas membuat jalan kereta api dari Sijunjung ke Pekanbaru serta jadi Romusha membuat tambang minyak dan banyak yang mati kelaparan.

Proklamasi 17 Agustus 1945 membangkitkan semangat yang tak bisa dibendung. Semua rakyat besar kecil, tua muda, laki-laki perempuan ingin berkorban demi Indonesia merdeka.

Rakyat Matur siap berkorban untuk membela Indonesia merdeka. Apapun akan diberikan, harta nyawa sekalipun bila dikehendaki rela dikorbankan, karena mereka telah mengalami pahitnya dijajah, baik oleh Belanda maupun oleh Jepang sesama bangsa Asia.

Matur jadi markas besar Divisi Banteng Sumatera tengah. Dari Maturlah dikobarkan semangat juang prajurit untuk Sumatera tengah. Kalau pemerintahan sipil selalu mobil di Sumatera tengah dan berpusat di Koto Tinggi Suliki Payakumbuh dan Sumpur Kudus daerah Sawahlunto Sijunjung. Demikian juga halnya dengan pasukan TNI, selalu mobil dari suatu daerah ke daerah lainnya di Sumatera tengah, tapi staf kwartirnya berada di Matur, dan kepala staf Divisi Banteng putra Matur yaitu bapak Abdul Halim atau yang lebih populer dengan panggilan Aleng, kemenakan dari Tuanku Lareh Sirah Mato.

Karena Matur terbilang aman maka Matur jadi daerah para pengungsi dari Padang, Padangpanjang, dan Bukittinggi karena kota kota tersebut telah diduduki oleh NICA (Belanda).

Demikianlah sejarah ringkas perjuangan Matur, sesungguhnya harus bangga dengan negerinya karena :

  1. Punya pendidikan / sekolah jauh sebelum Hardiknas yang diperingati tiap tahun oleh bangsa Indonesia, yang pada hakekatnya Hardiknas itu peringatan kelahiran Ki Hajar Dewantoro 1987. Sedangkan Matur telah meletakkan pola dasar pendidikan pada tahun 1871. Dengan arti lain 17 tahun lebih tua dari Hardiknas.
  2. Matur adalah markas besar pejuang / staf kwartir Divisi banteng, selama perang melawan Belanda pada Klass ke II

Akhirul kalam, penulis mengharapkan sekali sumbangan pikiran dari pembaca apabila kiranya tulisan ini jauh dari kenyataan dan saya selaku penyusun naskah siap menanti uluran tangan dan kritikan yang bersifat membangun. Semoga generasi selanjutnya dapat memahami betapa pahitnya derita sengsara yang dirasakan oleh nenek moyang kita, mulai dari jaman nomaden, pra padri, jaman padri, dan dijajah oleh bangsa asing.

Wassalam dari penulis,

Anwar Harry St. Pamenan

I. MENCARI KEDAMAIAN

SI BUNGSU SRI MAHARAJO DIRAJO yang turun dari benua Ruhun menetap di pulau Perca, mencari tempat ketinggian hasrat hati hendak mencari kedamaian, memuja “sang hyang” sesuai dengan peradapan dan kepercayaab masa itu. Nenek moyang Sri Maharajo Dirajo menurut keterangan Ibnu Said (orang Arab) dan Ferrand (orang Prancis) berasal dari suatu dataran tinggi di pusat Asia yang letaknya disebelah barat laut negeri Cina, karena diperangi dan di desak oleh bangsa Hun undurlah mereka ke daerah yang lebih aman untuk menyelamatkan diri dan nyawa mereka, sehingga akhirnya sampailah mereka ke India Belakang.

Dala tambo tambo Minagkabau selalu akan kita jumpai Gurindam

Dari mano atitiak palito

Dibaliak telong nan batali

Dari mano asa niniak kito

Dari puncak gunung merapi

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa kedatangan Sri Maharajo Dirajo ketempat ketinggian adalah untuk mencari kedamaian karena telah merasakan pahitnya hidup mengembara sejak mulai dari dataran tinggi pusat Asia. Melalui sungai Malween dan Meekong serta diburu-buru oleh bangsa Hun, menyebabkan mereka ingin mencari tempat yang aman. Mereka menyembah batu, juga menyembah gunung. Gunung merapi merupakan tempat pemujaan, disini mereka merasa aman jauh dari musuh dan huru-hara.

Mengenai gunung Merapi ini menurut bapak M.Rasyid Manggis dalam bukunya “Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya” halaman 17 antara lain belia nukilkan :

Sesungguhnya di Sumatera tengah ada gunung yang lebih tinggi dari gunung Merapi, seperti gunung Kerinci dengan puncak inderapuranya yang 3.800 meter itu. Tetapi guung Merapi yang tingginya 2.891 meter adalah menjadi lambang sejarah, bukan karena ia menjulang di tengah tengah Sumatera tengah saja tetapi oleh karena kesanalah gelar historis Dt. Sari Maharajo mulai ditemui dan sampai sekarang gelar historis itu tetap ada di Pariangan dan di Pariangan ini pula mereka melakukan penyembahan sesuai dengan kepercayaan masa itu.

Kepercayaan kepada dewa-dewa yang masih dianut oleh suku bangsa India masih mempengaruhi jalannya pemujaan di lereng / di puncak gunung Merapi ini. Oleh sebab itu bila tiba saatnya pemujaan kepada sang hyang, binatang hasil buruan seperti kijang, rusa, domba, dan lain-lainnya dipersembahkan kepada dewa-dewa yang menurut hemat mereka bertempat diam di puncak gunung Merapi.

Anggota utama dalam rombongan Sri Maharajo Dirajo adalah Suri Dirajo yang dalam tambo disebut juga dengan Seri Paduka Berhala, diam di gunung Merapi dalam gua batu, dibukit yang tidak berangin, dilurah yang tidak berair, tempat Buaya Hitam Kuku, tempat Sirangkak nan mendengking.

Keturunan Suri Dirajo lah yang memberi nama Para Hiyangan, terambil dari nama Sang Hyang, kemudian fonetis jadi tutur kata Pariangan. Gelar Datuk Suri Dirajo masih dipakai sampai sekarang dalam Luhak Nan Tigo.

Kerukunan dan kedamaian yang selalu didambakan oleh rombongan Sri Maharajo Dirajo sejak dari Tanah Basa (India belakang) sekarang telah berpadu dengan kesuburan lembah Merapi yang berhawa sejuk lagi nyaman, dengan siraman matahari tiap pagi, menjadikan rombongan ini hidup bahagia, bumi senang, padi menjadi, ternak pun berkembang biak. Habis musim berganti tahun, rombongan yang tadinya kecil kini telah bertambah besar. Lalu dibuat mufakat untuk membuat huma dan teratak untuk tempat diam anak kemenakan, oleh Suri Dirajo yang kemudian bergelar Datuak, pandang jauah dilayangkan, pandang dakek ditukiakkan, dicari padang yang datar berhawa sejuk serta mendapat siraman matahari sepanjang hari, ditemuilah suatu tempat dan diberi nama Para Hiyangan (asal kata Sang Hyang) lama-lama jadi Pariangan. Di pariangan inilah Cupak mulai di papek, Padang mulai diukua, digaris adat yang akan dipakai.

Penghidupan yang rukun damai ini bersandarkan kepada mata pencaharian berburu binatang liar dan menangkap ikan. Laki-laki yang kuat perkasa lebih senang pergi berburu, sedangkan mereka yang tua-tua dan para wanita lebih bergairah hidup bercocok tanam, menanam umbi umbian dan jagung, pisang dan lain sebagainya sesuai dengan peradaban masa itu. Oleh karena kehidupan pada pokoknya dari hasil buruan, tidak jarang pula terjadi perpindahan penduduk ditentukan oleh padatnya binatang buruan. Darah pengelana yang diwariskan oleh nenek moyang mereka Sri Maharajo Dirajo dengan Datuak Suri Dirajo kembali mempengaruhi jalan hidup mereka, terutama bagi yang muda perkasa.

Oleh karena perlembangan penduduk, tidak jarang pula terjadi selisih paham antara satu kelompok dengan kelompok lainnya terutama sola adat dan pembagian rezeki. Untuk menghindarkan pertumpahan darah, masing-masing kelompok mencari medan buruan bagai bertolak belakang. Bila kelompok yang satu ke arah timur, maka kelompok yang lain ke arah barat. Dengan hidup berkelompok sepaham dan sehaluan ini bukan saja mudah diatur baik mengenai adat maupun pembagaian rezeki, tapi akan lebih terjamin bila ada musuh yang akan menyerang menghindar dari serangan musuh. Walaupun mereka ini telah mewarisi darah pengelana, tapi juga mewarisi darah cinta damai. Darah cinta damai inilah yang menghela Niniak orang Minangkabau dari Dataran Tinggi Pusat Asia, namun perkembangan penduduk yang membawa dua aliran dari dua legislatornya, Datuak Ketemangguangan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang menimbulkan perbenturan antara dua cara berfikir; aristokratis dan demokratis, yang sewaktu waktu bisa menimbulkan pertengkaran yang hebat dan tak jarang pula terjadi pertumpahan darah. Dan untuk menghindarkan perbenturan inilah banyak dari pemuka-pemuka masyarakat pergi kembali berkelana mencari tempat yang aman dan damai.

Sebagaimana telah kita uraikan bahwa kehidupan banyak ditentukan oleh hasil buruan, sebagian dari penduduk Priangan ini berkelana ke arah timur, Tabek Patah, lalu terus ke daerah IV Angkek serta ke arah Gaduik dan Palupuah. Mereka berkelana tidak mengenal waktu dan kurun zaman. Yang penting hidup aman serta hasil buruan yang padat atau mencari ikan sebagai sumber kehidupan. Sebahagian dari rombongan yang ke Palupuah ini terus menghilirkan Batang Masang, akhirnya mereka menetap di Silareh Aia, Padang Gantiang, Gudang dan Kayu Pasak. Disana mereka membuat huma dan Nagari. Tersebutlah Koto Alam, Gumarang, dan Palembayan. Sedangkan rombongan yang di Gaduik terus menurun ke Sawah Dangkal kemudian memudiki Sungai Batang Matur.

Setalah lama berkelana disini kepala rombongan melihat sebuah dataran hijau selalu dapat siraman matahari, timbullah niat untuk membangun huma dan nagari sesuai dengan garis adat yang pernah mereka terima dari nenek moyangnya Sri Maharajo Dirajo dan Datuak Suri Dirajo, dengan berlandaskan paham demokratis yang digariskan oleh Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

II. ASAL USUL NAMA MATUR

Sebenarnya untuk mengungkapkan sesuatu menurut ilmu sejarah sangat diperlukan sekali banyak fasilitas atau petunjuk atau galian fosil yang memungkinkan memberikan fakta. Namun demikian sudah merupakan hukum dalam Minangkabau bahwa tiap sesuatunya yang bertalian dengan adat dan sejarah tidak mungkin kita peroleh bahan tulisan, hanya yang mungkin kita peroleh patung-patung atau tanda-tanda, fosil, atau sejenis kerangka manusia yang mungkin akan memberikan petunjuk, tapi oleh karena di Minagkabau sudah lazim cerita dari mulut ke mulut merupakan sumber dari suatu hikayat atau cerita maka hal ini dapat kita manfaatkan untuk sementara dari hal asal usul Matur. Mudah mudahan untuk masa mendaatang kita akan memperoleh data-data yang dapat meluruskan jalannya sejarah, sebagai pegangan bagi anak cucu kita dikemudian hari.

Masih di sekitar tahun 1930-an, penilis pernah melihat adanya sebuah batu mirip orang bersila yang terletak antara Jorong Laman Gadang dan Ikua Tanah. Setelah penulis meningkat dewasa walaupun batu itu terletak di tepi jalan tidak lagi penulis temui. Batu itu mirip arca Shiwa sedang duduk bersila. Penulis yakin bila batu itu dapat kita temui sekarang paasti banyak sedikitnya akan membantu kita dalam mewujudkan suatu sejarah. Namun demikian penuis telah berusaha untuk memperoleh gambaran sejarah dari orang tua-tua, serta yang patut patut. Mudah mudahan ada faedahnya.

Panakiak pisau sirauik

Ambiak galah batang lintabuang

Salodang ambiak kanyiru

Nan satitiak jadikan lauik

Nan sakapa jadikan gunuang

Alam takambang jadikan guru

Bertitik tolak dari alam takambang jadikan guru, serta pandangan yang ada hubungan dengan beberapa nama tempat/jorong, serta menyatakannya dalam bentuk tulisan.

Pada bab terdahulu telah kita uraikan, setelah lama berkelana memudikkan Batang Matur, ditemuilah sebuah dataran berpadang rumput yang subur dan nyaman. Oleh karena itu timbullah niat oleh kelompok/ rombingan untuk membuat huma dan nagari. Dipanggillah semua pemburu, besar kecil, tua muda, lelaki da perempuan untuk mendengarkan pituah dari kepala kelompok. Mereka semua duduk di padang rumput yang hijau, sedangkan kepala kelompok yang disebut juga Muncak Buru duduk bersila diatas batu besar.

Muncak Buru yang duduk diatas batu besar ini menjelaskan bahwa telah tiba masanya bagi kita untuk mebuat Huma dan Taratak, sepanjang tahun kita berkelana, anak lahir dalam perjalanan juga mati dalam perjalanan. Sudah seharusnya kita semufakat menukar kehidupan dengan bercocok tanam. Bukankah semasa di Pariangan dulu kita telah pelajari hidup berkaum dan berkerabat. Disamping itu tujuan kita berkelana selama ini ialah untuk mencari kedamaian. Rasanya sekarang hal itu telah mungkin kita peroleh. Disamping kita sepaham untuk melaksanakan Pituah Datuak Perpatiah Nan Sabatang, juga binatang buruan semakin berkurang. Oelh karena itu marilah kita obah cara kehidupan kita lagi dengan bercocok tanam seperti yang pernah dilaksanakan di Pariangan.

Setelah diperoleh kata sepakat untuk merobah cara penghidpan, maka dari anggota rombongan lalu bertanya ; “jika memang kita akan merobah cara hidup dari berburu kepada bercocok tanam, tolong jelaskan mana tanah yang akan kita olah ? ” Dengan tenang Muncak Buru menjawab ; “jika itu makasuik tuan tuan, Iko tanah” katanya. Nah, dengan kalimat yang sepatah “IKO TANAH” dari Muncak Buru itu, sampai sekarang sinonimnya tetap “iko Tanah”. Tidak pernah berubah, hingga jorongnya pun bernama “Jorong Iko Tanah”. Sedangkan tempat Muncak Buru memberi pituah tadi yang duduk bersila diatas batu bernama “BATU BASELO”. Sampai sekarang daerah tersebut bernama “Batu Baselo”. Tidak pernah lafasnya berubah, tetap bernama daerah tersebut sebagai daerah Batu Baselo.

Apakah ada hubungannya dengan arca / patung batu yang merupakan orang sedang duduk bersila sebagaimana telah kita uraikan terdahulu dengan insan Muncak Buru yang duduk bersila diatas batu itu ? Sampai dewasa ini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Sebaliknya kita jangan lupa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara ini pengaruh ajaran Hindu-Budha terlebih dahulu telah menjamah kehidupan manusiawi bangsa Indonesia, dan bahkan hingga sekarang masih terdapat sisa-sisa pengaruh agama Hindu tersebut, terutama pada pesta kelahiran, perkawinan, dan kematian. Jadi dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa patung batu yang menggambarkan orang sedang duduk bersila tadi adalah merupakan prasasti pemujaan untuk kepala kelompok yang telah berjasa mencarikan tanah kedamaian guna kehidupan anak cucu mereka dikemudain hari.

Disebelah barat Batu Baselo tersebut ditemukan hamparan tanah yang sangat luas. Ditunjuklah daerah ini sebahagian daerah perkampungan untuk mendirikan perumahan bagi anak kemenakan. Dibuatlah rumah sebaris panjang, dengan pekarangan yang sangat luas disebut juga sebagai berhalaman luas. Dialek minang menjadikan halaman luas sebagai “Laman Gadang”. Dari saat itu sampai sekarang daerah tersebut bernama LAMAN GADANG. Jorongnyapun bernama Laman Gadang.

Kira-kira 200 meter dari Laman gadang ini ditemuilah sumber air bersih yang membersit dari bumi. Menurut para ahli pengairan jumlah air ini per detiknya lebih kurang 40 m3. Demikian besarnya smber air bersih ini walaupun letaknya agak jauh dibawah. Lembah ini kemudian diberi nama PINCURAN GADANG. Kesemua tempat yang disebutkan tadi mulai dari Batu Baselo, Iko Tanah, dan Laman Gadang terletak di Kenagarian Matur Hilir.

Perjalanan waktu selalu membawa perubahan, terutama bagi penduduk, yang tadinya sedikit lama-lama makin bertambah tiada terasa. Laman Gadang menjadi penuh sesak oleh penduduk. Oleh karena itu untuk keselamatan kaum, kembali kaum pengembara in mengadakan mufakat menentukan areal baru untuk digarap. Sebelum memberi petunjuk dan pituah, diingatkan lagi garis-garis adat yang akan dipakai, demikian pula jumlah suku tidak boleh berubah dari yang ada sekarang karena suku inilah kelak yang akan menentukan seseorang dengan saudaranya. Diikrarkanlah sumpah setia, selama dunia ini berkembang tidak akan menimbulkan huru-hara, tidak akan berbuat serong dalam bersaudara. Bila terjadi perselisihan pendapat atau benturan dalam menggariskan adat maka harus dicari air yang jernih, sayak yang landai, harus diperundingkan dengan yang tua-tua, disebut dalam pituah adat :

Kemanakan barajo ka mamak

Mamak barajo ka panghulu

Panghulu barajo ka mufakat

Mufakat barajo ka alue

Alue barajo ka patuik dan mungkin

Patuik dan mungkin barajo ka nan bana

Bana itulah nan manjadi rajo

Selanjutnya dipesankan dalam pituah adat :

Kaluak paku kacang balimbiang

Tampuruang lenggang lenggokkan

Baok malenggang ka surau aso

Anak dipangku kamanakan dibimbiang

Urang kampuang dipatenggangkan

Tenggang nagari jan binaso

Setelah semua yang hadir di Laman Gadang ini mendengar semua Pituah dan Petujk, dibagi dualah jumlah yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian “mengatur” negeri sebelah mudik, sedangkan yang separoh lagi tetap tinggal di Laman Gadang untuk mengatur negeri sebelah hilir. Yang mula katanya ialah “mengatur” karena mereka diberi hak mengatur negerinya masing-masing. Kelompok yang pergi ke sebelah mudik diharuskan mengatur negerinya sebelah mudik. Demikian juga halnya dengan yang tinggal disebelah hilir diwajibkan mengatur negerinya yang disebelah hilir. Jadi ada kelompok yang mengatur negeri disebelah mudik dan adapula kelompok yang mengatur disebelah hilir.

Demikian terjadinya “Matur Mudik” dan “Matur Hilir”. Sampai sekarang negeri sebelah mudik bernama “Kenagarian Matur Mudik” yang diperintah oleh seorang Wali Nagari. Demikian juga negeri sebelah hilir bernama “Kenagarian Matur Hilir” dan diperintah pula oleh seorang Wali Nagari.

Untuk keamanan anak kemenakan baik yang di Matur mudik maupun yang di Matur Hilir, dibuatlah parit yang panjang, mulai dari timur dekat Iko Tanah sampai ke barat ke kaki gunung Tandikat. Pekerjaan ini memakan waktu berabad-abad sampai masuknya agama Islam. Orang-orang yang tinggal disini atau negeri yang berparit panjang ini dinamailah “Parit Panjang”. Sampai sekarang daerah ini diperintah oleh seorang wali nagari dengan nama kewalian Parit Panjang.

Setelah adanya pembagian kelompok yang akan mengatur rombongan yang pergi ke sebelah mudik dan kelompok yang kesebelah hilir, demikian juga halnya rombongan yang ditetapkan mengatur negeri yang berparit panjang. Demi hari depan anak kemenakan agar hidup rukun damai lebih terjamin dikembangkanlah pertanian dan peternakan. Kalau tadinya rusa, kijang, kambing, banteng, babi, dan lainnya sebagai binatang buruan dijadikan santapan pada saat itu juga tanpa memikirkan untuk hari esok, maka sekarang semua ternak buruan harus dipelihara dan dikembang biakkan. Demikian pula pertanian, kalau tadinya hanya memakan umbi-umbian, jagung, pisang yang diperoleh secara kebetulan maupun yang ditanam bersifat sampingan maka sekarang bercocok tanam harus merupakan tujuan pokok. Apabila ternak telah dikembang biakkan dan bercocok tanam telah dikembangkan, dengan sendirinya kedamaian yang diidam idamkan oleh nenek moyang mereka sejak turun dari Benua Ruhun sampai ke lereng merapi, sekarang akan menjadi kenyataan. Kemakmuran muncul dengan sendirinya.

III. KEBUDAYAAN ARAB DAN KEDATANGAN ISLAM

Sebelum kita membicarakan kedatangan kebudayaan Arab dan ajaran Islam, perlu diketahui bahwa agama Hindu dan Budha sektar abad VII telah menguasai dan jadi agama rakyat di kepulauan Indonesia. Agama Hindu – Budha Brahmana berkembang ditengah-tengah masyarakat bukan saja oleh karena nenek moyang mereka berasal dari India belakang sebagai sumber agama Hindu-Budha di dunia, tapi juga karena arus perdagangan bangsa India ke daerah kepulauan Indonesia. Disamping melakukan perdagangan, mereka juga membawa para zending-zending Budha.

Pengaruh agama Hindu Budha Brahmana telah menjadikan hicup dan kehidupan berkasta-kasta, bertingkat-tingkat, menjadikan manusia ini hidup berkelas-kelas. Mudahnya agama Hindu Budha ini meresap ketengah-tengah kehidupan masyarakat banyak tersebab agama ini sangat mengutamakan hidup damai dan tenteram. Mereka tidak mau berperang dalam mengembangkan keyakinan, dan tiap-tiap kasta harus hidup berdampingan tanpa membuat suatu petentangan serta mengutamakan kedamaian abadi.

Seorang tokoh agama pendada (kepala agama semacam imam dalam Islam atau Pastor dalam agama kristen) lebih tinggi kedudukannya daripada seorang raja. Kata-kata Pendada ini sangat dihormati baik oleh raja, rakyat biasa maupun turunan bangsawan Hindu Budha patuh dan taat kepada ucapan Pendada. Mereka tidak berani membantah dan menentang Pendada karena Pendada adalah merupakan jelmaan dari dewa-dewa yang selalu mereka puja. Oleh sebab itu ucapan Pendada tidak mereka tantang, apalagi agama ini sangat mementingkan hidup damai dan berusaha terus mengembangkan bakat segala macam ukiran dan seni pahat serta bangunan dengan segala macam arcanya.

Agama Hindu Budha adalah sebagai pengrajin pahatan dan ukiran ini dapat kita lihat betapa agungnya bangunan candi Borobudur, candi Mendut, candi Prambanan di Jawa, candi Muaratakus di Sumatera. Bangunan tersebut penuh dengan ukiran dan pahatan. Semua bangunan mereka kerjakan tanpa memakai ala perekat semen, tapi berabad-abad umurnya tidak terkalahkan oleh musim. Peristiwa ini semua menunjukkan akan ketenangan jiwa mereka. Tanpa ketenangan dan ketekunan yang terkandung dalam iman ke-Budhaan tidak mungkin bangunan raksasa Borobudur dan Mendut itu akan dapat mereka selesaikan. Suatu bukti dari kehidupan ingin damai dan tenteram dari ajaran Budha dan juga ajaran ini adalah, mereka sangat memuliakan arwah-arwah para nenek moyang mereka. Mereka mempunyai suatu keyakinan bahwa kematian bagi mereka adalah suatu kelahiran baru. Mati di pulau Bali umpamanya, bisa saja arwah si mati ini nanti menjadi buah kandungan bagi orang Eropah atau Arab. Oleh sebab itu mereka memuja para arwah dengan suatu pengharapan agar lekas kembali hidup di dunia melalui kandungan seseorang yang kelak menjadikan manusia Budha.

Peristiwa seorang bangsa Amerika yang diberi nama Ktut Tantri yang datang ke Bali sekitar tahun 1936 sebagai turis akhirnya terpaut jiwanya akan keindahan alam Bali dan keaslian kehidupan manusia serta kedamaian yang menonjol, oleh Pendada dan raja Bali warga Amerika ini dikatakan sebagai jelmaan dari kematian keturunan mereka yang akhirnya lahir di Amerika dan kemudian mencari nenek moyangnya ke Bali dan jadilah sang turis ini sebagai anak ke empat dari raja Bali. Ini adalah keyakinan agama kami kata raja.

Peristiwa Ktut Tantri ini merupakan petunjuk bagi kita bahwa sisa-sisa agama Hindu Budha sampai sekarang masih ada di kepulauan Indonesia. Seperti halnya di pulau Bali penduduknya mayoritas beragama Hindu dan sampai sekarang kehidupan mereka tetap aman dan damai. Suatu keistimewaan ialah mereka dapat bertahan dari pengaruh dunia luar walaupun pulau Bali tiap hari dikunjungi turis turis luar negeri dan bahkan konferensi para turis sedunia pernah dilaksanakan disana, namun pulau Bali tidak terpengaruhleh kebudayaan asing. Demikian pula disana tidak pernah kia dengar rakyat ditangkap karena mencuri. Tidak berlebihan bila orang menyebutnya bahwa pulau Bali adalah pulau khayangan.

Suatu hal yang perlu kita catat disini yang kelak akan jadi pembicaraan ramai dalam Islam ialah menyabung ayam atau mengadu ayam. Dalam kepercayaan Hindu Budha kegiatan ini adalah merupakan bahagian dalam upacara agama. Sampai sekarang di Bali dapat kita lihat masyarakatnya masih melakukan adu ayam dan ini tidak bisa dicegah oleh pemerintah karena adu ayam ini adalah dalam rangka upacara agama.

Masuknya agama Islam ke nusantara sekitar abad XIII yang dibawa para pedagang Gujarat, Parsi/Yaman sebagaimana halnya pedagang India, pedagang Arab ini juga membawa zending Islam. Melalui dunia perdagangan secara berangsur-angsur agama Islam mereka resapkan dalam kehidupan masyarakat di kepulauan nusantara ini. Agama Islam yang dibawa oleh bangsa Arab ini tidak menimbulkan perlawanan bagi rakyat yang pada saat itu telah memeluk Budha, tapi berkat gigihnya serta dimodali jiwa yang penuh keimanan kepada Allah swt, para pedagang Arab ini berhasil menanamkan keyakinan Isalam ditengah-tengah kehidupan masyarakat di kepulauan Indonesia.

Faktor penting mudahnya rakyat mencerna agama Islam dalam kehidupan mereka ialah karena mudahnya agama ini dipelajari. Juga Islam menghapus hidup berkasta-kasta. Lebh dari itu Islam sangat memuliakan wanita. Islam juga mengajarkan hidup rukun dan damai, mengutamakan kedamaian serta penuh kegotong royongan.

Dalam Islam manusia itu adalah sama, tidak ada tinggi rendahnya. Semulia-mulia seorang muslim tergantung imannya kepada Allah swt. Derajat seseorang dalam Islam ditentukan oleh perbuatannya, kejujuran, kebenaran, dan keadilan serta gerak tindaknya dalam masyarakat. Itu merupakan ukuran akan kelebihan seseorang. Oleh sebab itu tiap insan muslim berkewajiban menjaga martabatnya agar jangan sampai tercela. Berlakulah jujur dan berbuatlah yang benar serta satukanlah kata dengan perbuatan. Berdasarkan itu lama-lama agama Hindu Budaha yang telah berkuasa sejak abad VII jadi terdesak. Islam sebagai agama baru benar-benar baru untuk memperbaharui segala tingkah kehidupan manusia.

Mula-mula agama Islam tersebar di daerah pantai dan pelabuhan yang banyak berhubungan dengan pedagang Parsi dan Arab, kemudian berangsur-angsur masuk ke pedalaman. Setelah itu raja dan para bangsawan yang pada mulanya mementingkan perdagangan merasa tertarik akan Islam kemudian mengakui agama itu sebagai agamanya. Lalu rakyat biasa menelan pula agama Islam itu sebagai agama yang harus mereka imani, terutama di Minangkabau yang memuliakan kaum wanita, dengan sendirinya agama Islam cepat berkembang. Jadilah Islam sebagai agama rakyat, namun demikian pengaruh agama Hindu Budha masih tetap melekat dalam kehidupan manusiawinya, terutama dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari seperti meyabung ayam, mereka namakan kegiatan iini sebagai adat.

Kalau tadinya dalam ajaran Hindu Budha perhelatan menyambut bayi, pesta perkawinan dan kematian merupakan acara agama yang harus dilaksanakan, tetapi setelah penduduk mengakui dirinya pemeluk agama Islam, maka kegiatan wajib dalam agama Hindu Budha itu mereka jadikan sebagai adat. Jadi ada adat menanti bayi, adat perkawinan, dan adat kematian. Di beberapa daerah di Sumatera Barat seperti di IV Koto, Talawi, Sungai Sariak Pariaman dan beberapa kampung di daerah Solok selatan dan bahkan dalam kota Padang di daerah Pauah IX acara kematian sering mereka lakukan memotong ternak, mayat terbujur, ternakpun dipotong untuk disantap bersama. Peristiwa itu mereka namakan menurut adat.

Berkat ketabahan dan ketekunan dari para guru agama Islam menjalankan dan memberikan fatwa, lama kelamaan pengaruh Hindu Budaha itu menjadi terdesak dan untuk daerah Sumatera Barat boleh dikatakan sudah mulai hilang sama sekali yang disebut sebagai agama Hindu Budha. Walaupun pengaruhnya kemudian disebut sebagai adat masih ada, tapi tidak lagi menyolok benar.

Pabila agama Islam masuk ke Minangkabau ? siapa yang mula-mula membawanya, dari mana masuknya agama Islam ? apakah dari pantai barat Sumatera atau dari pantai timur Sumatera ? hal ini akan kita temui beberapa tulisan dan pendapat. Untuk sekedar mengetahui, bukan sebagai pembanding, baiklah kedua pendapat itu akan kita turunkan disini. Mudah-mudahan dengan demikian nanti kita akan memperoleh suatu keyakinan atau akan memperoleh bahan bandingan studi dari mana masuknya Islam ke Sumatera barat ini. Tapi dalam tulisan ini bukan untuk membandingkan pendapat, sebab yang pokok ialah bagaimana caranya Islam itu dapat menjalar relung-relung kehidupan masyarakat Matur yang jauh terletak di pedalaman kabupaten Agam.

Menurut catatan sejarah, pada tahun 1511 di timur sumatera dikenal dengan nama Bandar Malaka di semenanjung Malaysia adalah bandar teramai yang dikunjungi oleh para pedagang Arab, bangsa Parsi, Aden/Yaman, Cina, India, dan segenap angsa-bangsa di dunia yang menjadikan Bandar Malaka sebagai bandar yagn teramai di kawasan Asia tenggara. Bukan saja ramai oleh arus perdagangan, namun juga ramai oleh karena bandar malaka sebagai pusat kebudayaan Arab dan pusat kebudayaan Islam di asia. Kemudian kerajaan Islam di Malaka ini ditaklukkan oleh bangsa Portugis, sehingga Sultan Malaka memindahkan kerajaannya ke pedalaman sungai Kampar di dusun Pekan Tua, kecamatan Bunut, kabupaten Kampar propinsi Riau. Disini di dusun Pakan Tua agama Islam berkembang dengan pesatnya, dan kampung kampung disekelilingnya dengan cepat memeluk paham Islam, dan dari Dusun Pekan Tua inilah agama Islam itu menjalar ke pelukan Merapi dan Singgalang. Jadilah ia sebagai agama rakyat di Minangkabau.

Berdasarkan uraian inilah diyakini bahwa Islam itu datang dari pantai timur sumatera tepatnya dari derah Riau. Menurut Sdr.Temmas D. Assegaf, dalam edisi Singgalang No.899 tahun X, bahwa di Desa Pekan Tua terdapat makan Syekh Burhanuddin sebagai penyebar agama Islam di daerah Kampar, tapi tidak ada hubungan dengan makam Sh\yekh Burhanuddin Ulakan, hanya kebetulan saja senama dan se profesi yaitu sama-sama guru agama Islam dan tidak mungkin pula sebaliknya itu juga orangnya. Tapi yang jelas kata tulisan Temmas D. Assegaf bahwa yang dimaksud Burhanuddin dalam ejaan bahasa Arab ialah “Mutiara Agam”. Benar tidaknya tulisan Themmas D. Assegaf tersebut dan benar tidaknya pula kalimat Burhanuddin menurut sastra Arab sama dengan Mutiara Agam, kita serahkan kepada ahli sejarah dan ahli bahasa Arab.

Sebaliknya tidak pula tertutup kemungkinan untuk memperkatakan bahwa pada zaman dan waktu yang sama hiduplah dua orang yang senama dan seprofesi sebagai guru agama. Sebagaimana halnya kita juga beranikan untuk menyebut bahwa islamnya Riau daratan justru datangnya dari Ulakan Pariaman melalui dataran Kuntu, Lipat Kain, Basrah terus ke Rengat Siak Sri Inderapura.

Selanjutnya ada yang berpendapat bahwa masuknya ajaran Islam ke pedalaman Sumatera Barat melalui barat pulau Sumatera. Pada saat itu sekitar abad ke XIV sultan Aceh telah membuka Darussalam sebagai ibu kota perguruan agama Islam, disebutlah sebagai guru besarnya Syekh Abdul Rauf yang juga berguru kepada Syekh Almalikul Shalih dari Ibnu Battuta dari Mekah. Salah satu dari murid Syekh Abdul Rauf ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan Pariaman dan beliau yang tersebut terakhir inilah yang mula-mula pertama membawa Islam ke Minangkabau melalui Tapak Tuan, Singkil, Barus dan terus ke Pariaman. Lalu di Ulakan mereka membuka perguruan Islam maka banyaklah murid beliau yang datang dari berbagai penjuru termasuk dari Riau daratan.

Dengan demikian kita jumpai dua pendapat dalam tulisan ini. Satu mengatakan bahwa Islam datang dari timur melalui Bandar Malaka, dan satu lagi mengatakan Islam datang dari barat melalui Aceh. Yang jelas, agama Islam itu tampak kuat pengaruhnya di bagian utara dan barat sumatera yang pengaruh agama Hindunya tidak berapa kuat. Bahasa daerahnya pun banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab yang kemudian dikenal dengan bahasa Melayu, yang dengan sedikit perubahan kemudian menjadi bibit bahasa Indonesia.

Kendatipun nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari India belakang, tapi pengaruh Islam dan kebudayaannya menjadikan bangsa Indonesia menjadi lebih dekat dengan negeri Arab dalam batinnya. Demikian pula bila kita lihat peta bumi, Indonesia lebih dekat kepada negeri Cina, tetapi kebudayaan Barongsai tidak sesuai dengan pandangan penduduk Indonesia. Walaupun negeri Cina dekat, tapi terasa jauh dalam batin.

Kedatangan Islam di Agam terutama di Matur telah banyak membawa perobahan, baik cara berbuat maupun cara bertindak masyarakat. Kalau tadinya para nenek moyang orang Matur yang bertempat di Laman Gadang telah menentukan adat yang akan dipakai, demikian dengan jumlah suku tidak boleh ditambah dan dikurangi, maka sekarang untuk kesempurnaan adat itu, serta kelangsungan hidup untuk melanjutkannya kembali para pengembara ini berhimpun untuk membentuk suatu nagari menurut syarak dan adat.

IV. BATAGAK NAGARI

Berdasarkan pengertian Adat Nan Dipakai serta Pusako Nan Bajawek, setelah meresapnya agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lahirlah pada masa itu “Adat Basandi Syarak”, Syarak Basandi Kitabullah”. “Syarak Berkata”, Adat Memakai”. Agar kalimat-kalimat ini benar-benar tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan oleh karena anak kemenakan telah berkembang biak, maka dibentuklah suatu susunan Nagari yang akan diwariskan kepada anak cucu dikemudian hari.

Suatu Nagari, atau syarat-syarat suatu Nagari terdiri dari 5 (lima) dasar pokok, yaitu :

  1. Mesjid

2. Balai-balai

3. Pasar nan Rami

4. Labuah nan Golong

5. Tapian Tampek Mandi

Untuk diketahui secara garis besarnya apa hikmahnya syarat-syarat tadi bagi suatu nagari, ada baiknya kita uraikan satu persatu :

1. MESJID

Mesjid adalah merupakan sumber ilham dan inspirasi, tempat alim ulama mengembangkan kitab, mengaji halal dan haram. Mendalami hukum-hukum syariat, tempat menela’ah firman dan hadist.

Menurut tarikh, pada zaman Rasulullah saw, mesjid juga berfungsi sebagai markas besar angkatan perang, staf kwartir tempat menyusun strategi, teknik dan politik, tempat mengatur dan menyusun pemerintahan dalam menuju masyarakat adil dan makmur, serta taqwa kepada Allah swt. Telah menjadi fitrah setiap insan di Minagkabau memegang teguh kalimat sakti “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Syarak Bakato Adat Memakai. Oleh karena itu fungsi mesjid tidak bisa dipisahkan lagi dari adat. Keduanya “bagaikan aur dengan tebing, bagaikan ikan dengan air”. Justru apabila kita teliti dengan cermat di Minagkabau adat dan agama bagaikan mata panah yang sama kuat dan kencang larinya. Oleh sebab itu fungsi mesjid sangat besar artinya dalam menghambakan diri kepada Allah swt.

2. BALAI-BALAI

Balai-balai atau ada juga yang menyebutnya balairung, adalah merupakan lambang demokrasi tempat Niniak Mamak bersidang mengadakan musyawarah. Mewakli anak kemenakan dalam menyuarakan hati nurani orang banyak, tempat melahirkan pendapat dan perasaan, demi kepentingan anak kemenakan.

Balai-balai berfungsi sebagai gedung Dewan Perwakilan Rakyat, disini Tali Nan Tigo Sapilin yaitu : “Ninik Mamak”, “Alim Ulama”, dan “Cadiak Pandai” mengadakan sidangnya, mengatur pemerintahan, tempat para diplomat untuk menguji siasat dalam menjalankan pola politik luar dan dalam negeri.

Di balai-balai ini tercermin demokrasi, paham Budi Chaniago, mewarnai kehidupan orang banyak, karena demokrasi harus membersit dari bumi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dijelaskan dalam pituah adat :

Kaluak paku kacang balimbiang

Tampuruang lenggang lenggokkan

Bao malenggang ka surau aso

Anak dipangku kamanakan dibimbiang

Urang kampuang dipatenggangkan

Tenggang nagari jan binaso

Para pemimpin yang disebut Tali Tigo Sapilin menginsyafi benar akan arti kata Pusaka, sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Prof. Mr. Nasroen dalam bukunya “Dasar Falsafah Adat Minangkabau” halaman 67, sebagai berikut :

“Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat, jika bulat boleh diglongkan dan jika pipih boleh dilayangkan “

Di balai-balai ini akan tercermin jiwa demokrasi yang sesungguhnya dalam menegakkan kedaulatan rakyat.

3. LABUAH NAN GOLONG

Labuah dan golong ialah jalan yang terpelihara baik untuk menghubungkan suatu kampung dengan kampung lainnya, suatu nagari dengan nagari lainnya. Karenanya labuah atau jalan ini harus terpelihara baik oleh masyarakat setempat. Disinilah lahirnya kalimat “Batoboh” atau gotong royong atas dasar rasa tanggung jawab bersama. Labuah nan golong bukan sekedar alat penghubung antar kampung, nagari dan daerah saja. Labuah juga berfungsi sebagai jalur antar daerah pada masa sebelum muda mudi mengenal permainan bola kaki yang pakai tiang gawang. Labuah juga dimanfaatkan sebagai lapangan oleh raga, tempat muda mudi gerak badan.

Pada jaman dahulu pemuda-pemuda belum mengenal permainan bola kaki seperti sekarang. Pada saat itu permainan hanya bersifat kesenangan belaka dan cara bermainnya-pun jauh berbeda. Permainan ini dinamakan “Sepak Raga”. Sebuah bola yang dibuat dari rotan beranyam sedemikian indahnya bundar hampir seperti bola kulit juga dan cara bermainnya ialah sekelompok pemuda membuat lingkaran, atau berdiri dalam jarak yang sama dan dalam jumlah yang tiada batas. Satu diantaranya berdiri di tengah tengah lingkaran tadi sebagai “janang” atau tukang bagi bola. Para pemain ini pada mulanya menerima kiriman bola dari janang, kemudian mengirim lagi pada si pembagi bola. Demikian seterusnya, bola dari kaki atau dari satu pemuda ke pemuda lainnya. Dengan gaya sped\sifik, siapa yang tidak dapat menyambbut bola kiriman dengan kakinya, akan riuhlah gelak tawa. Jadi permainan ini tidak pakai gawang, juga tidak ada kalah atau menang. Permainan ini semata untuk gelak tawa dan senda gurau.

Hjadi Labuah Nan Golong disamping berfungsi sebagai urat nadi perekonomian masyarakat, juga merupakan gambaran dari kesejahteraan rakyat.

4. PASAR NAN RAMI

Pasar nan rami oleh para pedagang dan petani, oleh penjual dan pembeli, merupakan lambang dari perekonomian yang kuat. “Jual beli pada yang terang, berharga atas patut”. Artinya barang yang dijual harus jelas asal usulnya, tidak barang curian atau rampasan dan bukan pula emas sepuhan. Semua harus terang dan jelas, demikian pula mengenai harga, harus berdasarkan suka sama suka. Tidak ada pemaksaan, tidak ada calo atau agen, langsung berharga dan pembeli mereka yang membutuhkan. Itu yang dimaksud dengan “berjual beli pada yang terang dan berharga atas yang patut”.

Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta daya beli itu seimbang, maka pemerintah dalam hal ini harus menjaga kestabilan harga. Demikian pula tentang kebutuhan pokok kehidupan masyarakat banyak di drop ke pasar bebas oleh pemerintah. Dengan demikian baru dapat kita katakan Rakyat Sehat Negara Kuat, tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak lagi mengeluh akan kebutuhan harian. Ramai dan lengangnya pasar adalah merupakan barometer bagi pemerintah tentang kehidupan masyarakat banyak. Oleh karena itu kestabilan harga harus djaga sepanjang jaman, karena pasar adalah lambang kegiatan ekonomi.

5. TAPIAN MANDI

Kesehatan adalah merupakan faktor utama dalam kehidupan manusia. Peribahasa Minagkabau menyebutkan “Hilang Bangso Dek Indak Ba Ameh, Hilang Rono Dek Panyakik”. Bangsa yang tidak memiliki cadangan emas peredaran uang tidak ada artinya sama sekali di mata dunia. Itu sebabnya kalimat “hilang bangsa karena tidak ada emas” demikian juga kalimat “hilang rono dek panyakik”. Oleh sebab itu para pemimpin berusaha terus untuk menjadikan Tepian Mandi sebagai sumber kesehatan.

Di tepian mandi orang akan ‘bersuci” dan “berlanir”, tempat membersihkan segala kotoran, hanya dengan menjaga kebersihanlah adanya terjamin kesehatan suatu bangsa. Oleh sebab itu tepian mandi harus dijaga kebersihannya, dan merupakan syarat mutlak untuk suatu Nagari. Tanpa tepian dan tanpa air manusia akan mati.

Setelah mengeahui syarat-syarat sah berdirinya suatu nagari menurut alur adat, maka pemuka-pemuka masyarakat Matur, apakah itu pemuka masyarakat Matur Hilir ataupun pemuka masyarakat Matur Mudik ataupun Parit Panjang, bersatu hati untuk memenuhi segala persyaratan tersebut. Mereka bergotong royong dengan sepenuh hati.

Untuk membuktikan sumpah setia di Laman Gadang oleh nenek moyang orang Matur tatkala masa pembagian kelompok yang akan mengatur negeri Matur di Mudik, di Hilir, dan Parit Panjang serta untuk menjaga keharmonisan keluarga, maka pada saat itu mereka memutuskan untuk mendirikan pasar cukup satu saja. Demikian juga balai-balai adat cukup satu untuk ketiga nagari tersebut.

Walaupun menurut struktur pemerintahan pada jaman Belanda, maupun pada jaman Republik Indonesia dewasa ini, ketiga negeri tersebut berdiri sendiri-sendiri, disebut dengan Kewalian Matur Hilir, Kewalian Matur Mudik, dan Kewalian Parit Panjang, namun dalam struktur adat mereka hanya satu. Ini dapat dibuktikan dengan :

  1. Adat dari ketiga nagari itu sama, menganut paham Budi Chaniago, Barajo kepada mufakat, Mufakat barajo kepada Alur dan Patut, Patut barajo kepada benar dan Benar itulah Raja.
  2. Jumlah suku dan nama-nama suku sama yaitu : Sikumbang, Chaniago, dan Tanjung. Bila mereka sesuku atau dalam arti lain Sikumbang Matur Hilir pasti bersaudara / badunsanak dengan Sikumbang Matur Mudik dan Parit Panjang. Demikian pula halnya dengan suku suku lainnya.

Orang sesuku tidak boleh kawin, atau kawin sepesukuan dianggap tabu oleh adat dan oleh masyarakat. Sampai demikian jauh sumpah setia di Laman Gadang sampai saat ini masih dipelihara. Jumlah suku tidak bertambah juga tidak berkurang, sebagaimana Gurindam adat :

Ramo ramo sikumbang jadi

Katik endah pulang bakudo

Patah tumbuah hilang baganti

Namun suku sabanyak itu juo

3. Pasar yang ramai merupakan barometer kekuatan ekonomi masyarakat Matur, atau masyarakat tiga negeri tersebut sampai sekarang masih tetap satu. Dari pasar yang satu inilah perdagangan anak negeri diatur sejak dari dahulu

  1. Balai-balai yang merupakan medan pertemuan dan mufakat oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai dari tiga negeri hanya satu saja kita temui dan memang satu pula yang ada. Dari ketiga negeri yang ada mempunyai Mamak sebanyak 90 (sembilan puluh) orang. Disebut dengan Ninik Mamak 90 (sembilan puluh) Dikato, dan Ninik Mamak inilah yang mengatur anak kemenakan dari ketiga negeri diatas, berhimpun di balai-balai yang satu ini.

Kecuali itu, persyaratan lainnya seperti mesjid, tepian mandi, dan labuah nan golong pada masing-masing negerii sudah punya sendiri-sendiri. Di Matur Hilir sendiri sudah ada 7 (tujuh) mesjid, dan di Matur Mudik ada 3 (tiga) mesjid. Kecuali di Parit Panjang, sesuai dengan jumlah penduduk dan besarnya negeri maka mesjid disini hanya 1 (satu) saja. Mesjid tertua dari seluruh mesjid yang ada sekarang ini ialah mesjid utama terletak di Pincuran Gadang. Disinilah kitab mulai dikembang, ajaran Islam mulai difatwakan keseluruh anak negeri disekitar penghujung abad ke XVII oleh beliau TUANKU ABDUL HAMID.

Oleh karena balai-balai dan pasar sudah mereka dirikan bersama-sama secara gotong royong, walaupun masih jauh dari persyaratan dan kebutuhan sebagaimana mestinya, tapi mereka sudah merasa bangga karena telah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu negeri. Oleh sebab itu banyak penduduk negeri yang berlomba-lomba untuk mencari tempat tinggal di dekat pasar dan balai-balai. Mereka menginsyafi bahwa tnggal di dekat pasar dan balai-balai inilah banyak berhimpun pemuka pemuka masyarakat, sebagai pusat budaya, dan kehidupan sosial tercermin.

Lama kelamaan urbanisasi ini menjadikan suatu kampung jadi lengang dan ada yang ditinggal oleh penduduknya, sehingga ada sebuah kampung di dekat Laman Gadang bernama KAMPUANG TINGGA. Penduduk kampung ini telah mengadakan urbanisasi ke dekat pasar dan balai-balai, sehingga tinggallah kampung mereka karena ditinggalkan oleh penduduknya, maka sampai sekarangpun nama kampung itu tetap “Kampuang Tingga”. Sebahagian dari penduduk yang mengelilingi pasar Matur dan Guguak Pandan berasal dari Kampuang Tingga ini. Itulah yang menjadi asal nama Kampuang Tingga ini. Peristiwa ini baru saja terjadi di pertengahan abad ke 18.

Dalam masa yang sangat panjang, berkat usaha dan pandangan hidup yang mereka warisi secara turun-temurun, walaupun pasar dan balai-balai belum memenuhi segala persyaratan tapi kehidupan sosial telah berjalan dengan tenang dari waktu ke waktu, sehingga lama-kelamaan masyarakat yaang tadinya primitif sekrang telah berbudaya dan mulai hidup mewah. Mereka seakan-akan lupa betapa pahit dan getirnya nenek moyang mereka “Manaruko”, membuat tali banda, mendirikan kampuang dan perumahan. Walaupun pada saat itu ajaran Islam sudah setengah abad menguasai persendian kehidupan masyarakat Minangkabau, suatu ajaran yang mengatur kehidupan baik secara individu maupun secara bermasyarakat, tapi mereka mengamalkan ajaran Islam itu tidak lebih sebagai mesin saja. Mereka lebih senang dan tertarik untuk berbuat mungkar seperti menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi.

Kemenangan yang dimiliki dengan ilmu segala tanggung ini menimbulkan dekadensi moral yang menyedihkan. Para parewa lebih senang berbuat keonaran dan akan bangga membuat kegaduhan serta huru-hara, sehingga hubungan antara suatu negeri dengan negeri yang lainnya menjadi terganggu, bahkan keamanan harta benda seseorang menjadi tidak terjamin. Pemuka-pemuka Islam yang mereka panggil “Tuanku” suatu gelar kehormatan tidak berdaya untuk menghadapi sikap sebagian parewa ini. Mereka menghormati para Tuanku ini, tapi dibelakang Tuanku ini mereka berbuat mungkar. Perayaan hari-hari besar Islam seperti Maulid nabi, Idul fitri, dan lain-lainnya mereka isi dengan segala kemunafikan. Mereka membuka gelanggang tempat menyabung ayam, berjudi, minum tuak dan lain sebagainya. Begitulah cara mereka merayakan hari besar Islam ini.

Guru-guru besar agama Islam makan hati dan tidak berdaya melihat cara parewa dan penduduk ini merayakan hari besar Islam. Dihadapan para Tuanku dan masyarakat mereka terpekur seakan akan semua ajaran yang diberikan oleh para guru agama ini benar-benar menyusup ke relung hati mereka. Mereka mengiyakan dan mengamini tiap fatwa dari sang guru, tapi terbelakang sedikit saja, mereka berbuat sesuka hati. Lama-kelamaan orang-orang siak dan para pelajar sekolah agama jadi berpisah dan terpisah dengan kehidupan masyarakat banyak. Mereka lebih banyak berada di surau dan mesjid, tawaddu’ menghambakan diri kepda Allah swt. Mereka tidak hiraukan lagi kehidupan secara duniawi, tidak ambil pusing lagi dengan perbuatan anak negeri.

Akibat adanya jurang pemisah dari dua golongan insan Minagkabau ini, yang satu fanatik dan benar-benar dengan segala ketulusan dan keikhlasann menghambakan diri pada Allah dan satu lagi menjadikan agama sebagai pelengkap dalam kehidupan atau sekedar untuk menjawab tanya tentang cara hidup dan sebagainya.

VI. PENGARUH PADERI

Kerajaan Minagkabau yang berpusat di Pagaruyuang Tanah Datar sedang mengalami masa suram karena banyak para pembesar yang melengahkan kewajibannya. Kaum bangsawan lebih banyak menghabiskan waktunya di arena perjudian dan menyabung ayam. Penduduk yang mengakunya telah beragama Islam namun jiwa mereka belum bisa dilepaskan dari pengaruh agama Hindu dan Budha.

Melihat kenyataan yang menyedihkan ini, sekitar tahun 1803 tiga orang putra minangkabau kembali dari tanah suci Mekkah yaitu HAJI MISKIN, HAJI SUMANIK, dan HAJI PIOBANG. Ketiga haji ini merasa terharu. Hati nurani mereka bagai diiris dengan sembilu melihat para pembesar di minangkabau seperti berlomba lomba membuat keonaran dan kemungkaran. Mereka bertiga mengambil mufakat dan keputusan untuk memasukkan ajaran Islam mereka menurut paham WAHABI. Bila tidak bisa dengan cara yang lunak maka mereka akan melaksanakannya dengan cara yang keras. Selanjutnya akan berusaha untuk menjaga dengan segala kekuatan kemurnian agama terutama di pusat kerajaan di Pagaruyuang.

Setelah berusaha dengan segala cara untuk menyadarkan para pemimpin tidak berhasil, maka ketiga orang haji ini mencari para pengikut terutama kepada para pemimpin di kampung-kampung mereka tanamkan iman keislaman. Maka tercatatlah pada jaman pra-padri nama-nama Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Lubuak Aua dari Canduang, Tuanku Barapi dari Bukit Canduang, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Lua, Tuanku Galuang dari Sungai Puar, dan Tuanku Biaro dari Kapau.

Delapan alim yang didadanya telah membara api fanatisme serta kejengkelan yang tidak tertahankan melihat tingkah laku para pemipin yang mengaku dirinya sebagai pemimpin rakyat, tapi telah berbuat menyesatkan dan membawa rakyat kelembah kehancuran, akhirnya telah mengobarkan perang saudara di kawasan minangkabau antara Kaum Adat dan Kaum Agama yang terkenal dalam sejarah Perang Paderi dari tahun 1803 sampai tahun 1838 dan delapan nama-nama alim tersebut diatas tercatat dalam sejarah sebagai HARIMAU NAN SALAPAN.

MATUR DISERANG PADERI

Dalam buku perang paderi tulisan Muhammad Rajab cetakan kedua penerbit Balai pustaka menulis : “Tuanku Nan Renceh dengan beratus-ratus pengikutnya tidak sabar lagi melihat kemunafikan rakyat, terutama dalam daerah Luhak Agam di awal abad ke 18 melakukan serangan serentak ke daerah-daerah Tilatang, Padang tarab, Canduang, dan Ujuang Guguak. Semua kampung mereka kalahkan melalui peperanan yang banyak memakan korban, dan bagi kampung yang mereka kalahkan diharuskan membayar upeti 400 ringgit. Setelah itu Tuanku Nan Renceh segera menggempur Agam Tuo secara keseluruhan, kemudian menyerang Matur dan semua kampung di sekitar Matur dengan mudah dapat dikuasai oleh pasukan Tuanku Nan Renceh. Matur oleh karena tidak memberikan perlawanan tidak diwajibkan membayar upeti, kecuali seluruh kampung yang telah dikuasai oleh pasukan Tuanku nan Renceh diharuskan memelihara jenggot dan mencukur habis rambut di kepala. Disamping itu kepada seluruh penduduk tidak diperbolehkankan memakan sirih, merokok, berjudi, menyabung ayam, minum tuak, dan siapa yang melangar larangan ini akan dihukum mati”.

Matur yang tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari pasukan Tuanku Nan Renceh dengan mudah dapat dikuasai. Para alim ulama dengan segala pengikutnya orang-orang “siak” bersorak sorai atas kemenangan kaum agama ini. Mereka kaum agama ini kembali mengajak seluruh masyarakat untuk bertobat dan jangan coba-coba untuk melawan atau mengingkari perintah, oleh karena itu ramailah kembali mesjid dan surau. Mesjid utama di Pincuran Gadang bagaikan sempit untuk menampung umat. Begitu juga Surau Tinggi di Matur Katiak, Mesjid Aia Sumpu, Surau Jaruang Kampuang Tasia. Semua mesjid dan surau mereka ramaikan, ramai karena takut pada Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya. Para parewa secara terang-terangan tidak berani lagi mengadakan segala kemungkaran, tapi secara sembnyi sembunyi mereka mengadakan sabung ayam ke daerah Koto di seberang Batang Matur, ke Linjau, ke Santua, sehingga pada saat itu lahir istilah “Sumbayang bawakatu, Bajudi bakutiko”.

Sebaliknya para Tuanku dan Imam yang diangkat dan ditunjuk untuk mengawasi roda pemerintahan di Negeri yang dikuasai oleh kaum agama tidak kurang pula aibnya pada mereka. Banyak pula diantara para Tuanku dan Imam menjadikan kesempatan ini sebagai balas dendam, membuat peraturan sewenang-wenang, dan bila kaum adat yang telah takluk tidak memenuhi segala tuntutan yang berlebihan ini maka mereka dianggap sebagai pembangkang pada Tuanku Nan Renceh. Oleh sebab itu bentrokan secara kecil-kecilan sering terjadi antara pengikut Tuanku Nan Renceh dengan Kaum Adat. Lama-lama peristiwa kepincangan atau penyalahgunaan wewenang yang diberikan oleh Guru Besar agama Islam ini sampai juga ke telinga Tuanku Nan Renceh, tapi situasi sudah gawat, mau tidak mau perang antara Kaum Adat dengan Kaum Agama jadi merupakan perang terbuka. Maka berkecamuklah perang, satu sama lain bertahan dengan segala kemampuan. Hanya kelebihan kaum agama mereka terpimpin dan punya pimpinan yang benar-benar menghadap musuh ini sebagai musuh agama. Sedangkan kaum adat tidak punya pemimpin. Mereka berperang hanya karena mempertahankan kebiasaan menyabung ayam, berjudi dan minum tuak. Dengan demikian mereka semakin terdesak dan dikejar kejar oleh kaum agama kemana saja mereka lari. Akhirnya kaum adat terpaksa meminta bantuan ke Padang kepada tentara Inggris, kemudian kepada tentara Kompeni Belanda.

VI. BELANDA SEBAGAI PENJAJAH

Berkali-kali Kaum Adat meminta bantuan kepada Kompeni untuk membantunya perang menghadapi Kaum Agama, yang pada mulanya Belanda enggan untuk membantu Kaum Adat ini dikarenakan kekuatan dan jumlah serdadu mereka tidak seberapa. Tetapi setelah kaum adat berjanji untuk menyerahkan Minagkabau kepada Belanda, maka pemerintah Belanda di Batavia memperkenankan permohonan Raja Tangsir Aam dan Sutan Kerajaan Alam dan kepada residen Du Puy diberi kuasa untuk membantu Kaum Adat. Tercatatlah dalam sejarah diawal tahun 1820 Tuanku Saruaso kakak beradik dengan 14 orang penghulu menandatangani perjanjian dengan Belanda menyerahkan Minangkabau kepada Belanda. Akibatnya pertempuran menjadi meluas. Kaum Agama bukan saja menghadapi kaum adat tapi juga menghadapi serdadu Belanda. Berkecamuklah perang yang disebut dengan Perang Paderi. Tercatatlah nama Tuaku Imam Bonjol sebagai pemimpin paderi yang gagah berani. Tercatatlah nama Nagari Alahan Panjang dan Bonjol sebagai tempat bertahan paling tangguh selama perang yang berkobar selama tidak kurang dari 35 tahun.

Perang berlarut-larut ini menjadikan pemerintahan Hindia Belanda mengakui akan ketangguhan rakyat. Para opsir dan jenderal serta gubernur dan residen telah silih berganti, namun pemimpin paderi tetap itu ke itu juga. Demikian juga dengan laskarnya, tapi semangat dan perlawanan mereka tidak pernah terkalahkan. Pertahanan paderi sulit ditembus.

Letnan jendral Van De Bosh yang telah diangkat sebagai mentri jajahan dalam suratnya kepada Raja Wilhem mengakui dengan jujur bahwa perang saudara di Sumatera telah mengajarkan kepada penduduk untuk membuat benteng yang tangguh akan gempuran dari meriam. Benteng mereka terbuat dari tanah saja dan dibela dengan api senapan yang kurang kualitasnya, namun sangat sukar untuk dijatuhkan.

Setelah menteri jajahan Jenderal Van De Bosh memperhatikan perlawanan rakyat, maka ia memilai taktik baru dengan “sistem teritorial”. Satu demi satu daerah dilumpuhkan, bila perlu dipakai taktik berunding, semenrtara berunding daerah yang dituju dikepung. Demikian pula halnya tatkala merebut Matur dari tangan Paderi. Pemuka-pemuka masyarakat dan Kepala Pasukan Paderi yang ada di Matur sedikitpun tidak menyangka akan terjadi penyerbuan yang tiba-tiba ini, sebab mereka mengira bahwa perundingan masih berjalan dengan pemimpin mereka. Oleh karena ketiadaan pemimpin maka dengan mudahnya pasukan paderi di Matur dikalahkan.

Pemuka-pemuka masyarakat yang merasa dirinya tertipu dengan akal licik Belanda ini segera mengundurkan diri ke Lawang Tuo dan Andaleh. Kemudian dari sini mereka mengatur serangan balasan. Mereka membuat benteng di sebelah utara Batang Lawang. Terjadi pertempuran hebat yang memakan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Untuk memancing pasuka paderi yang bertahan di seberang Batang Lawang ini pasukan Belanda membakar habis semua bangunan dekat Surau Jaruang, suatu perkampungan sebelah timur Btang Lawang. Habislah kampung ini dimakan api, disia (dibakar) oleh Belanda. Itulah mulanya kampung tersebut dinamakan “Matur Tasia”, atau kampung yang dibakar, dibakar oleh Belanda.

Pertahanan paderi ke arah barat an Agam tuo sangatlah sulit untuk ditembus atau dikuasai oleh Belanda. Berminggu minggu pertempuran tiada hentinya, sehingga rakyat di sekitar Matur menamakan orang-orang atau pasukan paderi yang bertahan diseberang Batang Lawang itu dinamakan daerah perperangan. Lama-lama jadi “paparangan” hingga sekarang kampung tersebut jadi sebuah Jorong dengan nama Jorong “Paparangan”. Baik Kampuang Tasia maupun Paparangan masing-masingnya berstatus Jorong yang terletak di kanagarian Matur Hilir.

Setelah Matur dan kampung-kampung di sekelilingnya telah sikuasai oleh Belanda, mereka mulai menjalankan politiknya dengan segala kekerasan. Politik “Devide et Impera” jalan terus. Semua rakyat dikenakan Wajib Rodi untuk membuat jalan ke Taruian dan Palembayan untuk mendekati Bonjol. Rakyat juga membuat jalan ke Fort de Cock / Bukittinggi. Enam puluh enam (66) hari dalam setahun di untukkan hidup untuk berodi. Belasting harus pula dibayar. Matur yang non agraris diharuskan pula memiku tanggung jawab yang berat. Disamping itu rakyat Matur diharuskan pula untuk membawakan amunisi dan perlengkapan perang lainnya ke Palembayan, terus ke Bamban, Sipisang untuk merebut Bonjol. Apa boleh buat, 10 September 1932 adalah merupakan tonggak sejarah bagi Matur, terpaksa bertekuk lutut kepada Belanda.

Setelah Matur dan kampung-kampung disekitarnya benar-benar telah aman dan takluk kepada Belanda maka peraturan pajak baru yang diundangkan oleh Jenderal Van De Bosch pada tahun 1830 segera diterapkan di Matur dan sekitarnya. Sekitar tahun 1835 Matur menerapkan politik pajak baru atau politik “Cultuur Stelsel”, atau yang dikenal dengan politik “tanam paksa”. Dalam peraturannya dijelaskan bahwa seperlima dari tanah rakyat diharuskan menanam tanaman tua seperti kopi, casiavera, tebu, coklat, dan tembakau, dan bagi mereka atau rakyat yang tidak punya tanah diwajibkan menggantinya dengan kerja rodi membuat jalan selama 66 hari dalam setahun. Dalam prakteknya sering terjadi dan malah seperti disengaja, kalau dalam peraturan berbunyi seperlima dari tanah rakyat harus ditanami tanaman tua, pada prakteknya hampir seperdua dari tanah rakyat harus ditanami sesuai dengan kemauan Kontereleur .

Matur dalam menghadapi masa peralihan ini terpaksa tidak banyak cingcong. Semua tanah ditanami dengan kopi, casiavera, coklat, demikian juga tebu dan tembakau. Tiada pilihan lain. Air sebagai sumber pengairan tidak ada pula. Akibatnya seluruh parak-parak mereka ditanami saja dengan kopi, dengan suatu pengharapan semoga buahnya nanti akan mendatangkan hasil. Tapi betapa pilunya perasaan rakyat tatkala panen kopi telah mengalir ke pasaran, tidak boleh dijual begitu saja. Semua hasil kopi, gula, tebu, tembakau, casiavera harus dijual kepada Belanda. Dijual menurut harga yang telah ditentukan. Rakyat tidak berhak atas jerih payahnya. Jual beli dengan harga yang patut oleh peraturan adat tidak berlaku bagi Belanda.

Bukan hanya sekedar itu. Rakyat pribumi jangan coba-coba untuk merendang sendiri buah kopinya. Hidung-hidung “kaki tangan” Belanda setiap hari hilir mudik, keluar masuk kampung mencium kalau-kalau ada rakyat yang menumbuk kopi atau rakyat yang berani membuat kopi, pasti ditangkap saat itu juga dan di kirim ke pusat-pusat kerja paksa untuk membuat jalan atau membawa perlengkapan perang dan tidak jarang pula dijadikan ujung tombak dalam menghadapi kaum paderi bonjol.

Walau buah kopi, gula, tembakau dan casiavera telah mengaroma ke jagat raya ini, namun penduduk pribumi tetap menderita. Mereka boleh menanami tiap jengkal tanahnya, tapi mereka tidak berhak untuk menikmati buahnya. Dan walaupun rakyat ingin meminum atau sekedar mencoba nikmatnya kopi silahkan mengambil daunnya. Daun kopi ini diatur dan dikeringkan diatas pagu atau didiang sampai kering. Setelah kering daun kopi tersebut dibuat bagai daun teh. Hanya itu yang bisa dinikmati oleh kaum pribumi, hingga pada saat itu lahirlah istilah “melayu kopi daun”. Memang rakyat pribumi hanya boleh minum daun kopi. Peristiwa ini berjalan puluhan tahun lamanya. Menurut nukilan sejarah Indonesia karangan A. Moeis dan Maisir Thaib bahwa sistem cultuur stelsel ini mulai diundangkan pada tahun 1830 dan berlakuk sampai tahun 1905.

Jatuhnya Bonjol berarti berakhir pulalah perlawanan Paderi, apalagi setelah pahlawan gagah perkasa Tuanku Imam Bonjol dapat ditangkap pada saat perundingan di tahun 1838, tiada lagi rintangan bagi Belanda atau Kompeni untuk memaksa rakyat untuk melaksanakan segala macam peraturan.

Kaum adat yang pada mulanya mengundang dan menyerahkan Minangkabau kepada Belanda yang akhirnya menjadi penjajah merasa menyesal dan makan hati melihat anah buah atau anak kemenakannya dipaksa sebagai kuli untuk membuat jalan. Mereka mengutuki Belanda sebagai yang tidak tau berterima kasih. Tapi apa hendak dikata semua telah terlambat. Syukurlah dalam hal ini akibat dari rasa senasib dan sepenanggungan ini menimbulan rasa sekaum dan sekerabat, timbullah rasa kebangsaan bahwa suku Minangkabau itu apakah dari golongan agama maupun dari golongan adat adalah bersaudara, sama-sama turunan Sri Maharajo Dirajo.

Setelah “rasa air kepimbatang” dan “rasa minyak ke kuali” kaum adat dan agama berbimbing bahu untuk membangun sawah, sama-sama meneruko, membuat tali banda berkilo kilo meter panjangnya melalui pinggang pinggang ngarai serta membuat hulu banda secara primitif tanpa menggunakan semen. Semua pekerjaan itu selesai dan sampai sekarang masih tali bandar itu juga yang dimanfaatkan. Tidak terbuat dari beton, tidak mengenal semen tapi tidak terkalahkan oleh musim. Inilah keistimewaan buatan orangtua kita dulu. Semua pekerjaan ini mereka laksanakan setelah mengalami duka sengsaranya sebagai anak jajahan.

Memperhatikan hasil tanaman tua seperti kopi, tembakau, dan gula tebu itu harus dijual kepada Belanda atau Kompeni menurut harganya yang telah ditentukan oleh Belanda tidak mungkin mendatangkan keuntungan atau kesenangan bagi anak kemenakan mereka, dikemudian hari, baru timbullah jiwa kegotong royongan antara kaum adat dan kaum agama. Dimanapun tanah walaupun di atas bukit jauh dari permukaan air mereka jadikan sawah. Akbatnya mereka harus membuat tali bandar dari sumber air yang sangat jauh. Ini semua mereka lakukan untuk kebahagiaan anak kemenakan mereka dikemudian hari. Melihat kekompakan kaum adat dan kaum agama ini timbul juga keguncangan dalam tubuh pemerintaha Belanda. Untuk itu mereka berusaha untuk memecah persatuan ini dengan mengangkat beberapa pegawai yang ditugaskan untuk meneliti tanah-tanah yang subur sebagai perkebunan kopi, tembakau, tebu, dan lain-lain tanaman wajib. Kemudian rakyat tidak dibenarkan membuat persawahan melebihi waktu dari bertanam tanaman keras dengan arti, tugas pokok rakyat adalah menanam tanaman tua yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Untuk memungut pajak dan kelancaran pengawasan dari hasil tanaman tua ini, pemerintah mengangkat beberapa orang pegawai yang berasal dari penduduk pribumi yang penjilat. Mereka diberi gaji dari hasil pungutan. Semakin banyak dapat dipungut semakin besar gaji yang diperolehnya. Dengan demikian mereka berusaha untuk memperbesar cultuur stelsel dengan berbagai cara. Dalam sejarah Indonesia karangan A. Moeis dijelaskan benar sebagai berikut :

  1. Rakyat harus menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman keras sebagai tanah pemerintah, tapi dalam prakteknya sering terjadi lebih separoh tanah rakyat dikuras untuk itu

2. Mengerjakan tanah untuk tanaman keras ini harus didahulukan dari turun ke sawah

3. Harga penjualan ditentukan oleh pemerintah. Rakyat tidak dibenarkan menjual selain dari kepada Belanda atau Kompeni.

Disamping mereka harus mengolah tanah untuk kepentingan ultuur stelsel ini mereka diwajibkan untuk berodi membuat jalan dan jebatan untuk kepentingan pemerintah, kemudian dibebani pula dengan belasting atau pajak lain seperti pajak tanah, pajak rumah, dan segala macam pajak kekayaan. Akhirnya semua peraturan ini menyengsarakan rakyat, karena mereka tidaklagi beroleh kesempatan untuk mengerjakans awah. Sebaliknya pemerintah Belanda dapat mengorek keuntungan berjuta-juta Gulden untuk membangun negerinya yang selalu terendam air. Rotterdam dan Amsterdam adalah dua buah kota yang termashur di dunia karena kota ini berasal dari kota yang di dam. Pada dasaranya kedua kota ini dibangun berdasarkan cucuran keringat bangsa Indonesia jua.

Kesengsaraan tindih bertindih ini, banyak dari pemuka-pemuka masyarakat berniat untuk meninggalkan kampung halaman, bukan mereka tidak sanggup menderita tapi mereka tidak sanggup lagi melihat anak kemenakannya didera kesengsaraan dan kelaparan. Sedangkan mereka sebagai mamak atau “tungganai” kaum tidak dapat berbuat atau melepaskan mereka dari tekanan hidup ini, justru itu timbul niat untuk merantau tapi apa daya ilmu kurang pengajaran tidak, dengan apa akan diharungi penghidupan di rantau orang ?. Tapi apa boleh buat, daripada berputih mata lebih baik berputih tulang, daripada meilhat dan menanggungkan kesengsaraan sepanjang tahun lebih baik lorek dari negeri sebagai kata pantun mereka :

Karantau madang dihulu

Babuah babungo balun

Marantau kami dahulu

Daripada barodi sapanajng tahun

Belanda sebagai penjajah memang telah berhasil membangun negerinya, tapi meninggalkan sengsara yang amat sangat bagi anak jajahannya. Salahkah bila anak negeri untuk melanglang buana di jagad maya ini demi kebebasan . . . ?

Kesengsaraan yang menimpa penduduk pribumi yang sangat menyedihkan ini, Baron Van Hoevell bekas pendeta di Betawi, menyerang aturan tanam paksa ini dalam parlemen Belanda, bahwa Belanda sebagai penjajah hanya berfikir secara sepihak tanpa memikirkan nasib rakyat pribumi. Demikian juga Douwes Dekker bekas asisten residen Lebak, mengarang sebuah buku yang berjudul “Max Havelaar”. Ia mengupas secara panjang lebar buruknya sistem cultuur stelsel ini, baik ditinjau secara ekonomi maupun secara sosial politik. Nama Belanda akan hancur di mata dunia sebagai Exploatation De lhom Parlom. Manusia adalah serigala atas manusia.

Atas keberanian Baron Van Hoevell dan Douwes Dekker yang memakai nama samaran Multatuli itu, pemerintah Belanda merobah dan meninjau kembali peraturan cultuur stelsel, dengan mengadakan beberapa perobahan seperti, tanam paksa atas tebu, tembakau, merica, dan nila dicabut kembali, sedangkan tanam paksa atas kopi tetap berjalan sebagaimana sebelumnya. Malangnya nasib rakyat Matur yang telah ditetapkan sebagai penanam kopi, berarti mereka akan menderita sepanjang tahun. Selagi Belanda juga yang memerintah maka akan selam itu pula penderitaan.