Minggu, 11 Maret 2012

IV. BATAGAK NAGARI

Berdasarkan pengertian Adat Nan Dipakai serta Pusako Nan Bajawek, setelah meresapnya agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lahirlah pada masa itu “Adat Basandi Syarak”, Syarak Basandi Kitabullah”. “Syarak Berkata”, Adat Memakai”. Agar kalimat-kalimat ini benar-benar tercermin dalam kehidupan sehari-hari dan oleh karena anak kemenakan telah berkembang biak, maka dibentuklah suatu susunan Nagari yang akan diwariskan kepada anak cucu dikemudian hari.

Suatu Nagari, atau syarat-syarat suatu Nagari terdiri dari 5 (lima) dasar pokok, yaitu :

  1. Mesjid

2. Balai-balai

3. Pasar nan Rami

4. Labuah nan Golong

5. Tapian Tampek Mandi

Untuk diketahui secara garis besarnya apa hikmahnya syarat-syarat tadi bagi suatu nagari, ada baiknya kita uraikan satu persatu :

1. MESJID

Mesjid adalah merupakan sumber ilham dan inspirasi, tempat alim ulama mengembangkan kitab, mengaji halal dan haram. Mendalami hukum-hukum syariat, tempat menela’ah firman dan hadist.

Menurut tarikh, pada zaman Rasulullah saw, mesjid juga berfungsi sebagai markas besar angkatan perang, staf kwartir tempat menyusun strategi, teknik dan politik, tempat mengatur dan menyusun pemerintahan dalam menuju masyarakat adil dan makmur, serta taqwa kepada Allah swt. Telah menjadi fitrah setiap insan di Minagkabau memegang teguh kalimat sakti “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah” tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Syarak Bakato Adat Memakai. Oleh karena itu fungsi mesjid tidak bisa dipisahkan lagi dari adat. Keduanya “bagaikan aur dengan tebing, bagaikan ikan dengan air”. Justru apabila kita teliti dengan cermat di Minagkabau adat dan agama bagaikan mata panah yang sama kuat dan kencang larinya. Oleh sebab itu fungsi mesjid sangat besar artinya dalam menghambakan diri kepada Allah swt.

2. BALAI-BALAI

Balai-balai atau ada juga yang menyebutnya balairung, adalah merupakan lambang demokrasi tempat Niniak Mamak bersidang mengadakan musyawarah. Mewakli anak kemenakan dalam menyuarakan hati nurani orang banyak, tempat melahirkan pendapat dan perasaan, demi kepentingan anak kemenakan.

Balai-balai berfungsi sebagai gedung Dewan Perwakilan Rakyat, disini Tali Nan Tigo Sapilin yaitu : “Ninik Mamak”, “Alim Ulama”, dan “Cadiak Pandai” mengadakan sidangnya, mengatur pemerintahan, tempat para diplomat untuk menguji siasat dalam menjalankan pola politik luar dan dalam negeri.

Di balai-balai ini tercermin demokrasi, paham Budi Chaniago, mewarnai kehidupan orang banyak, karena demokrasi harus membersit dari bumi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dijelaskan dalam pituah adat :

Kaluak paku kacang balimbiang

Tampuruang lenggang lenggokkan

Bao malenggang ka surau aso

Anak dipangku kamanakan dibimbiang

Urang kampuang dipatenggangkan

Tenggang nagari jan binaso

Para pemimpin yang disebut Tali Tigo Sapilin menginsyafi benar akan arti kata Pusaka, sebagaimana dijelaskan oleh Bapak Prof. Mr. Nasroen dalam bukunya “Dasar Falsafah Adat Minangkabau” halaman 67, sebagai berikut :

“Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat, jika bulat boleh diglongkan dan jika pipih boleh dilayangkan “

Di balai-balai ini akan tercermin jiwa demokrasi yang sesungguhnya dalam menegakkan kedaulatan rakyat.

3. LABUAH NAN GOLONG

Labuah dan golong ialah jalan yang terpelihara baik untuk menghubungkan suatu kampung dengan kampung lainnya, suatu nagari dengan nagari lainnya. Karenanya labuah atau jalan ini harus terpelihara baik oleh masyarakat setempat. Disinilah lahirnya kalimat “Batoboh” atau gotong royong atas dasar rasa tanggung jawab bersama. Labuah nan golong bukan sekedar alat penghubung antar kampung, nagari dan daerah saja. Labuah juga berfungsi sebagai jalur antar daerah pada masa sebelum muda mudi mengenal permainan bola kaki yang pakai tiang gawang. Labuah juga dimanfaatkan sebagai lapangan oleh raga, tempat muda mudi gerak badan.

Pada jaman dahulu pemuda-pemuda belum mengenal permainan bola kaki seperti sekarang. Pada saat itu permainan hanya bersifat kesenangan belaka dan cara bermainnya-pun jauh berbeda. Permainan ini dinamakan “Sepak Raga”. Sebuah bola yang dibuat dari rotan beranyam sedemikian indahnya bundar hampir seperti bola kulit juga dan cara bermainnya ialah sekelompok pemuda membuat lingkaran, atau berdiri dalam jarak yang sama dan dalam jumlah yang tiada batas. Satu diantaranya berdiri di tengah tengah lingkaran tadi sebagai “janang” atau tukang bagi bola. Para pemain ini pada mulanya menerima kiriman bola dari janang, kemudian mengirim lagi pada si pembagi bola. Demikian seterusnya, bola dari kaki atau dari satu pemuda ke pemuda lainnya. Dengan gaya sped\sifik, siapa yang tidak dapat menyambbut bola kiriman dengan kakinya, akan riuhlah gelak tawa. Jadi permainan ini tidak pakai gawang, juga tidak ada kalah atau menang. Permainan ini semata untuk gelak tawa dan senda gurau.

Hjadi Labuah Nan Golong disamping berfungsi sebagai urat nadi perekonomian masyarakat, juga merupakan gambaran dari kesejahteraan rakyat.

4. PASAR NAN RAMI

Pasar nan rami oleh para pedagang dan petani, oleh penjual dan pembeli, merupakan lambang dari perekonomian yang kuat. “Jual beli pada yang terang, berharga atas patut”. Artinya barang yang dijual harus jelas asal usulnya, tidak barang curian atau rampasan dan bukan pula emas sepuhan. Semua harus terang dan jelas, demikian pula mengenai harga, harus berdasarkan suka sama suka. Tidak ada pemaksaan, tidak ada calo atau agen, langsung berharga dan pembeli mereka yang membutuhkan. Itu yang dimaksud dengan “berjual beli pada yang terang dan berharga atas yang patut”.

Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta daya beli itu seimbang, maka pemerintah dalam hal ini harus menjaga kestabilan harga. Demikian pula tentang kebutuhan pokok kehidupan masyarakat banyak di drop ke pasar bebas oleh pemerintah. Dengan demikian baru dapat kita katakan Rakyat Sehat Negara Kuat, tercermin dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak lagi mengeluh akan kebutuhan harian. Ramai dan lengangnya pasar adalah merupakan barometer bagi pemerintah tentang kehidupan masyarakat banyak. Oleh karena itu kestabilan harga harus djaga sepanjang jaman, karena pasar adalah lambang kegiatan ekonomi.

5. TAPIAN MANDI

Kesehatan adalah merupakan faktor utama dalam kehidupan manusia. Peribahasa Minagkabau menyebutkan “Hilang Bangso Dek Indak Ba Ameh, Hilang Rono Dek Panyakik”. Bangsa yang tidak memiliki cadangan emas peredaran uang tidak ada artinya sama sekali di mata dunia. Itu sebabnya kalimat “hilang bangsa karena tidak ada emas” demikian juga kalimat “hilang rono dek panyakik”. Oleh sebab itu para pemimpin berusaha terus untuk menjadikan Tepian Mandi sebagai sumber kesehatan.

Di tepian mandi orang akan ‘bersuci” dan “berlanir”, tempat membersihkan segala kotoran, hanya dengan menjaga kebersihanlah adanya terjamin kesehatan suatu bangsa. Oleh sebab itu tepian mandi harus dijaga kebersihannya, dan merupakan syarat mutlak untuk suatu Nagari. Tanpa tepian dan tanpa air manusia akan mati.

Setelah mengeahui syarat-syarat sah berdirinya suatu nagari menurut alur adat, maka pemuka-pemuka masyarakat Matur, apakah itu pemuka masyarakat Matur Hilir ataupun pemuka masyarakat Matur Mudik ataupun Parit Panjang, bersatu hati untuk memenuhi segala persyaratan tersebut. Mereka bergotong royong dengan sepenuh hati.

Untuk membuktikan sumpah setia di Laman Gadang oleh nenek moyang orang Matur tatkala masa pembagian kelompok yang akan mengatur negeri Matur di Mudik, di Hilir, dan Parit Panjang serta untuk menjaga keharmonisan keluarga, maka pada saat itu mereka memutuskan untuk mendirikan pasar cukup satu saja. Demikian juga balai-balai adat cukup satu untuk ketiga nagari tersebut.

Walaupun menurut struktur pemerintahan pada jaman Belanda, maupun pada jaman Republik Indonesia dewasa ini, ketiga negeri tersebut berdiri sendiri-sendiri, disebut dengan Kewalian Matur Hilir, Kewalian Matur Mudik, dan Kewalian Parit Panjang, namun dalam struktur adat mereka hanya satu. Ini dapat dibuktikan dengan :

  1. Adat dari ketiga nagari itu sama, menganut paham Budi Chaniago, Barajo kepada mufakat, Mufakat barajo kepada Alur dan Patut, Patut barajo kepada benar dan Benar itulah Raja.
  2. Jumlah suku dan nama-nama suku sama yaitu : Sikumbang, Chaniago, dan Tanjung. Bila mereka sesuku atau dalam arti lain Sikumbang Matur Hilir pasti bersaudara / badunsanak dengan Sikumbang Matur Mudik dan Parit Panjang. Demikian pula halnya dengan suku suku lainnya.

Orang sesuku tidak boleh kawin, atau kawin sepesukuan dianggap tabu oleh adat dan oleh masyarakat. Sampai demikian jauh sumpah setia di Laman Gadang sampai saat ini masih dipelihara. Jumlah suku tidak bertambah juga tidak berkurang, sebagaimana Gurindam adat :

Ramo ramo sikumbang jadi

Katik endah pulang bakudo

Patah tumbuah hilang baganti

Namun suku sabanyak itu juo

3. Pasar yang ramai merupakan barometer kekuatan ekonomi masyarakat Matur, atau masyarakat tiga negeri tersebut sampai sekarang masih tetap satu. Dari pasar yang satu inilah perdagangan anak negeri diatur sejak dari dahulu

  1. Balai-balai yang merupakan medan pertemuan dan mufakat oleh Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai dari tiga negeri hanya satu saja kita temui dan memang satu pula yang ada. Dari ketiga negeri yang ada mempunyai Mamak sebanyak 90 (sembilan puluh) orang. Disebut dengan Ninik Mamak 90 (sembilan puluh) Dikato, dan Ninik Mamak inilah yang mengatur anak kemenakan dari ketiga negeri diatas, berhimpun di balai-balai yang satu ini.

Kecuali itu, persyaratan lainnya seperti mesjid, tepian mandi, dan labuah nan golong pada masing-masing negerii sudah punya sendiri-sendiri. Di Matur Hilir sendiri sudah ada 7 (tujuh) mesjid, dan di Matur Mudik ada 3 (tiga) mesjid. Kecuali di Parit Panjang, sesuai dengan jumlah penduduk dan besarnya negeri maka mesjid disini hanya 1 (satu) saja. Mesjid tertua dari seluruh mesjid yang ada sekarang ini ialah mesjid utama terletak di Pincuran Gadang. Disinilah kitab mulai dikembang, ajaran Islam mulai difatwakan keseluruh anak negeri disekitar penghujung abad ke XVII oleh beliau TUANKU ABDUL HAMID.

Oleh karena balai-balai dan pasar sudah mereka dirikan bersama-sama secara gotong royong, walaupun masih jauh dari persyaratan dan kebutuhan sebagaimana mestinya, tapi mereka sudah merasa bangga karena telah memiliki segala persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu negeri. Oleh sebab itu banyak penduduk negeri yang berlomba-lomba untuk mencari tempat tinggal di dekat pasar dan balai-balai. Mereka menginsyafi bahwa tnggal di dekat pasar dan balai-balai inilah banyak berhimpun pemuka pemuka masyarakat, sebagai pusat budaya, dan kehidupan sosial tercermin.

Lama kelamaan urbanisasi ini menjadikan suatu kampung jadi lengang dan ada yang ditinggal oleh penduduknya, sehingga ada sebuah kampung di dekat Laman Gadang bernama KAMPUANG TINGGA. Penduduk kampung ini telah mengadakan urbanisasi ke dekat pasar dan balai-balai, sehingga tinggallah kampung mereka karena ditinggalkan oleh penduduknya, maka sampai sekarangpun nama kampung itu tetap “Kampuang Tingga”. Sebahagian dari penduduk yang mengelilingi pasar Matur dan Guguak Pandan berasal dari Kampuang Tingga ini. Itulah yang menjadi asal nama Kampuang Tingga ini. Peristiwa ini baru saja terjadi di pertengahan abad ke 18.

Dalam masa yang sangat panjang, berkat usaha dan pandangan hidup yang mereka warisi secara turun-temurun, walaupun pasar dan balai-balai belum memenuhi segala persyaratan tapi kehidupan sosial telah berjalan dengan tenang dari waktu ke waktu, sehingga lama-kelamaan masyarakat yaang tadinya primitif sekrang telah berbudaya dan mulai hidup mewah. Mereka seakan-akan lupa betapa pahit dan getirnya nenek moyang mereka “Manaruko”, membuat tali banda, mendirikan kampuang dan perumahan. Walaupun pada saat itu ajaran Islam sudah setengah abad menguasai persendian kehidupan masyarakat Minangkabau, suatu ajaran yang mengatur kehidupan baik secara individu maupun secara bermasyarakat, tapi mereka mengamalkan ajaran Islam itu tidak lebih sebagai mesin saja. Mereka lebih senang dan tertarik untuk berbuat mungkar seperti menyabung ayam, minum tuak, dan berjudi.

Kemenangan yang dimiliki dengan ilmu segala tanggung ini menimbulkan dekadensi moral yang menyedihkan. Para parewa lebih senang berbuat keonaran dan akan bangga membuat kegaduhan serta huru-hara, sehingga hubungan antara suatu negeri dengan negeri yang lainnya menjadi terganggu, bahkan keamanan harta benda seseorang menjadi tidak terjamin. Pemuka-pemuka Islam yang mereka panggil “Tuanku” suatu gelar kehormatan tidak berdaya untuk menghadapi sikap sebagian parewa ini. Mereka menghormati para Tuanku ini, tapi dibelakang Tuanku ini mereka berbuat mungkar. Perayaan hari-hari besar Islam seperti Maulid nabi, Idul fitri, dan lain-lainnya mereka isi dengan segala kemunafikan. Mereka membuka gelanggang tempat menyabung ayam, berjudi, minum tuak dan lain sebagainya. Begitulah cara mereka merayakan hari besar Islam ini.

Guru-guru besar agama Islam makan hati dan tidak berdaya melihat cara parewa dan penduduk ini merayakan hari besar Islam. Dihadapan para Tuanku dan masyarakat mereka terpekur seakan akan semua ajaran yang diberikan oleh para guru agama ini benar-benar menyusup ke relung hati mereka. Mereka mengiyakan dan mengamini tiap fatwa dari sang guru, tapi terbelakang sedikit saja, mereka berbuat sesuka hati. Lama-kelamaan orang-orang siak dan para pelajar sekolah agama jadi berpisah dan terpisah dengan kehidupan masyarakat banyak. Mereka lebih banyak berada di surau dan mesjid, tawaddu’ menghambakan diri kepda Allah swt. Mereka tidak hiraukan lagi kehidupan secara duniawi, tidak ambil pusing lagi dengan perbuatan anak negeri.

Akibat adanya jurang pemisah dari dua golongan insan Minagkabau ini, yang satu fanatik dan benar-benar dengan segala ketulusan dan keikhlasann menghambakan diri pada Allah dan satu lagi menjadikan agama sebagai pelengkap dalam kehidupan atau sekedar untuk menjawab tanya tentang cara hidup dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar