Apa yang diramalkan dan apa yang dinanti-nantikan itu akhirnya datang juga. Perang “Dai Toa Senso” yang dikumandangkan oleh pemerintahhan Jepang tanggal 18 Desember 1941 di jagad raya ini selesai sudah dengan kemenangan dipihak sekutu.
Perang dunia kedua yang dicetuskan oleh dua bangsa yang berambisi, yaitu Jerman dan Jepang untuk menguasai dunia ini dengan pembagian Eropah untuk Jerman dan
Jepang dicap sebagai negara penjahat perang dan jadilah mereka sebagai tawanan perang. Perang kilat yang mereka lancarkan dengan seribu satu janji angin sorga kepada bangsa-bangsa
Pada detik-detik transisi menjelang pasukan sekutu melucuti pasukan Jepang di nusantara, waktu itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh pimpinan bangsa ndonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
Kemerdekaan yang diproklamirkan itu untuk seluruh bangsa
Peristiwa 28 Oktober 1928 adalah merupakan peletakan sendi-sendi dasar akan kemerdekaan. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia, dan diatas dasar yang kokoh kuat inilah berdirinya kemerdekaan itu, dibawah naungan Sang Saka Merah Putih dan dikawal oleh 70.000.000 rakyat Indonesia.
Kumandang proklamasi berikut dengan teksnya serta susunan pemerintahan pada awal bulan September 1945 sampai ke Matur dibawa oleh beberapa perantau yang sengaja pulang untuk mengabarkan peristiwa ini.
Kemerdekaan bukanlah hadiah dan juga bukan pemberian. Kemerdekaan di proklamirkan karena penjajahan tidak sesuai lagi dengan tuntutan prerikemanusiaan dan perikeadilan. Diamping itu apa yang dapat bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa terjajah lainnya di dunia selama terjajah oleh Belanda yang dalam sejarah selain tigaratus lima puluh tahun kecuali menghasilkan 90 % rakyat Indonesia yang buta huruf,. Demikian juga penjajahan Jepang menghasilkan kemelaratan dan kesengsaraan yang tiada taranya, justru itu penjajahan dalam bentuk apapun harus lenyap dari permukaan bumi.
Berkat gemblengan dan pompaan jiwa kebangsaan dari para pemimpin dan para perantau yang baru pulang, dengan cepat terbentuklah berbagai barisan sukarela PRI (Pemuda Republik Indonesia), “Hizbullah”, “Sabilillah”, “Sabil Muslimat”, dan banyak lagi bentuk barisan dan bahkan anak-anakpun membuat “Barisan Semut”. Semua ini mereka latih perang-perangan di lapangan hijau Matur, demikian juga pasukan palang merah. Pokoknya semua pemuda dan pemudi, anak-anak dan orang tua pun ikut berbaris dan berlatih dengan segala jenis senjata.
Tiap pagi subuh semua pemuda-pemudi, anak-anak, orang tua berbaris di lapangan hijau Matur, sebelum mereka mengadakan latihan mereka mengucapkan sumpah dengan penuh khidmad.
Kita ungkapkan disini detik-detik pertama kalinya teks proklamasi dikumandangkan di udara Matur oleh para cerdik-cendekia, yang masa itu masih dibawah todongan bayonet serdadu Jepang.
Setelah para perantau pulang ke kampung halaman yang pada umumnya ingin melihat kaum keluarga selama perang Dai Toa Senso dicetuskan seakan-akan hubungan diantara kampung halaman dengan rantau terputus. Satu dua diantara perantau ini membawa beberapa lembar teks proklamasi, dan juga ada yang membawa susunan pemerintahan pusat. Oleh mereka ini diadakan kata sepakat untuk mengumandangkan teks prklamasi ke seluruh rakyat, tapi Inyiak Palo / Angku Kapalo Nagari beliau E. Dt. Bandaro Rajo kurang yakin dan malah tidak percaya. Disamping itu beliau juga kuatir kalau-kalau hal ini mengundang malapetaka antara pasukan Jepang dengan masyarakat. Oleh sebab itu beliau menganjurkan untuk sementara kita tunggu saja perkembangannya.
Beberapa tokoh masyarakat lainnya seperti beliau bapak Ilyas Jamil, bapak Harun Al Rasyid St. Mankuto, Mirin St. Makmur, dan beberapa cerdik cendekia lainnya pergi menemui Angku Kapalo Nagari, menganjurkan agar besok seluruh umat Islam yang akan pergi shalat Idul Fitri 1 Syawal 1368 H atau tangal 2 September 1945 semuanya berkumpul dimuka balai-balai adat pasar Matur untuk bermaaf-maafan, terutama dengan Inyiak Palo, kemudian baru mereka disilahkan untuk pergi ke mesjid masing-masing atau bersembahyang jama’ah atau di lapangan hijau Matur.
Pancingan akan bermaaf-maafan antara seluruh umat itu termakan oleh Inyiak Palo, maka pada malam harinya berkumandanglah canang menyuruh sekalian umat berkumpul dulu di muka balai-balai adat Matur, kemudian baru pergi ke mesjid masing-masing. Sebaliknya para pemuka masyarakat yang telah bertekad untuk mengumandangkan teks proklamasi telah siap pula dengan segala rencana.
Besoknya pada tanggal 1 Syawal 1368 H beberapa orang pimpinan masyarakat dan pemuda telah siap siaga untuk bertindak dan berbuat apabila terjadi hal-hal yang tidak diingini, begitu selesai Inyiak Palo mengucapkan salam bermaaf-maafan, minal aidzin wal faidzin, langsung bapak Ilyas Jamil gelar Sutan Marajo naik mimbar membacakan teks proklamasi serta susunan pemerintahan di Jakarta. Kemudian diikuti dengan segala pituah dan petunjuk bahwa mulai saat ini
Polisi Jepang yang pada saat itu bermarkas / berkantor di muka pasar Matur jadi terheran-heran mendengar pekikan merdeka dari seluruh rakyat. Tapi begitu dia sampai di lapangan rakya kembali bertakbir mengumandangkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walilla ilhamd”, mengucapkan syukur puja akan kebesaran tuhan sekalian alam. Setelah shalat Idul Fitri bapak Ilyas Jamil St. Marajo dipanggil oleh polisi Jepang ke Rumah Tinggi, untuk menanyakan dan mempertanggung jawabkan peristiwa tadi pagi. Melihat gelagat tidak bersahabat dari polisi Jepang ini, bapak Harun Al Rasyid St. Mangkuto segera menghimpun pemuda dan kemudian bersama-sama mendatangi kantor polisi ini, dan oleh polisi Jepang melihat kedatangan pemuda yang begitu banyak serta menginsyafi kekalahan mereka dalam perang
Malam harinya bertempat di rumah bapak Mukhtar Buyung segera dibentuk Komite Nasional dan Koordinator Pemuda, dan lain-lain untuk menunjang kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut :
Ketua Komite Nasional : Ilyas Jamil Sutan
Sekretaris : Mirin Sutan Makmur
Koordinator pemuda : Harun Al Rasyid Sutan Mangkuto
Badan ini dibantu oleh beberapa orang pemuka masyarakat dan pemuda sebagai anggota.
Sekitar bulan Nopember 1945 jam 16.00, selagi orang kampung ramai-ramai membicarakan arti kemerdekaan, tiba-tiba dikejutkan oleh suara “bersiap . . .bersiap . . .bersiap . . .” dari arah pasar Matur ke Lurah Taganang. Suara itu berasal dari pemuda yang bernama “Almunir” sambil berlari dan dengan telanjang dada. Semua orang menjadi terkejut dan terheran-heran, sebab pemuda Almunir ini terus juga berlari sambil berteriak ke arah kampung. Semua orang kampung keluar berlari arah berlawanan dari arah pemuda Almunir yaitu menuju pasar untuk menanyakan kepada siapa saja, apa sebenarnya yang terjadi. Rupanya diluar dugaan jam 16.00 datang sebuah sedan membawa dua orang Belanda dari arah Bukittinggi menanyakan siapa yang menjadi Asisten Demang di Matur sekarang. Pemuda Almunir mendengar pertanyaan ini langsung saja berlari sambil berteriak-teriak “siap . . .!” Karuan saja sang Belanda tadi setelah melihat gelagat sang pemuda jadi balik kanan, memutar kenderaannya kembali ke Bukittinggi.
Kala pemuda Almunir terkejut melihat kedatangan Belanda yang sangat tiba-tiba, sebaliknya si Belanda ini juga terkejut melihat perilaku pemuda Almunir, lain yang ditanya lain pula yang dikerjakan. Tentu saja peristiwa ini tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Setelah mengerti duduk persoalannya, oleh ketua Komite Nasional segera diadakan hubungan dengan Balingka dan Koto Tuo untuk mencegah dan menagkap Belanda yang sedang melarikan diri ke arah Bukittinggi. Sebaliknya bapak Harun Al Rasyid menghimpun semua pemuda, menyusul ke arah Parit Panjang. Semua pemuda bersiap dengan segala perkakas, bambu runcing, parang, pedang samurai dan lain-lain. Mereka berbaris menuju jalan sempit Parit Panjang. Mereka bertekat untuk membunuh Belanda itu jika kembali lagi ke Matur. Dan pada malam harinya datanglah kurir mengabarkan bahwa Belanda yang dua orang itu sudah selesai di “belek”, dibunuh di daerah Balingka.
Berdasarkan pengalaman yang lucu itu langsung semua pemuda ditatar dan dididik oleh bapak Harun Al Rasyid, Nazar Sutan Dirajo, Aladin dan lain-lain. Setelah ada petunjuk dan penataran ini tiba-tiba datang berita dari daerah Lubuak Sawo Lubuk Basung bahwa pemuda Lubuk Basung terlibat perang hebat dengan Jepang. Sebaliknya Jepang bertahan tidak mau menyerahkan senjata, justru itu telah terjadi pertempuran untuk pertama kalinya di Agam antara pemuda dengan Jepang.
Koordinator pemuda Matur Harun Al Rasyid segera memanggil para pemuda dan dikumpulkan di lapangan hijau Matur. Ditanya satu-persatu siapakah yang ingin pergi berperang melawan Jepang ke Lubuk Sawo. Semua yang hadir mengajukan permohonan untuk diperkenankan pergi ke Lubuk Sawo. Bukan hanya pemudanya saja bahkan yang bukan lagi pemuda juga ikut. Oleh bapak Harun Al Rasyid hanya diperkenankan pemuda saja itupun dalam jumlah terbatas lebih kurang 40 orang. Melihat ini maka berhamburan pemberian dari masyarakat banyak.
Sebagai komandan peleton bertindak pemuda Sofyan Tando, bekas Hei ho Jepang, dan dibantu oleh mamaknya sendiri bernama pemuda Yosoef. Mereka berangkat dengan penuh semangat dan dengan tekad merdeka atau mati. Tapi betapa kecewanya mereka setelah berjalan semalam suntuk, sampai di Balai Akad Koto Malintang diperoleh berita bahwa Jepang-Jepang yang di Lubuk Sawo sudah “dibereskan” oleh pemuda Lubuk Basung. Kurir mengatakan tidak perlu lagi bantuan, kembali sajalah balik ke Matur. Untuk apa lagi ke Lubuk Sawo, toh semua tentara Jepang disana sudah tidak ada lagi dan senjatanya telah dirampas semua. Itulah peristiwa-peristiwa lucu yang terjadi pada awal kemerdekaan di Matur.
Secara berangsur-angsur administrasi pemerintahan mulai diatur. Bukittinggi yang berjarak 22 km dari Matur merupakan pusat peerintahan untuk Sumatera. Disnilah duduknya Gubernur Sumatera dibawah pimpinan Mr. Teuku Mhd. Hasan. Bukittinggi bukan saja ramai oleh karena pusat pemerintahan di Sumatera, tapi juga ramai oleh karena
Kabinet yang silih berganti di pusat selalu diikuti oleh rakyat banyak, demikian juga peristiwa pengkhianatan oleh PKI Muso di Madiun pada bulan September 1948 jadi catatan yang menyakitkan bagi seluruh rakyat. Susunan pemerintahan di daerahpun menjadi perhatian bagi masyarakat Matur. Dengan sendirinya Matur dengan cepat menyesuaikan diri. Wali Nagari Perang segera dibentuk dibawah pimpinan Engku mirin Sutan Makmur, demikian pula Wali Jorong Perang dan sebagainya demi untuk mempertahankan pemerintahan dan kemerdekaan.
Sebegitu jauh Matur belumlagi mengalami secara lagsung dan berhadapan dengan musuh negaranya. Mereka hanya tahu pertempuran lewat berita atau
Rakyat Matur bukan hanya cinta kepada pemimpin yang ada dipusat saja, tapi ajaran agama yang memuliakan Tuhan dan Rasul serta kedua orang tua dan guru mereka tertanam sejak lama. Oleh sebab itu tiap fatwa atau petunjuk dari guru-guru atau pemimpin pasti mereka terima tanpa ragu-ragu. Oleh sebab itu bagaimanapun meluapnya semangat jihad untukmenjaga kehormatan negara dan demi membalaskan sakit hati atas kematian bapak Bagindo Aziz Chan , tapi mereka tetap patuh dan taat kepada pemimpinnya. Rakyat Matur bersabar menerima setiap cobaan demi cinta akan pemimpin dan cinta akan kemerdekaan.
Kecintaan akan pemimpin ini terbukti sewaktu kedatangan presiden ke Bukittinggi pada bulan September 1948, seluruh rakyat keluar untuk menyambut kedatangan presiden ke lapangan udara Gadut. Terik matahari tidak menjadi soal, begitu juga saat presiden berpidato di lapangan Kantin penuh sesak dengan arus manusia sampai ke jalan raya, tidak terbendung banyaknya. Apalagi rakyat dari kampung-kampung tidak mau tau akan ketentuan dan tata tertib lalulintas, yang penting dapat melihat wajah presiden, walau setelah itu akan mati atau akan dikurung dalam bui, mereka rela.
Banyak yabg meneteskan air mata mendengar lantuanan suara Bung Karno yang penuh kecintaan akan rakyat itu. Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin dan presiden yang sangat pandai berpidato. Suara beliau bergelombang dan menggertarkan. Kata-katanya sangat sederhana dan mudah untuk dicerna oleh rakyat. Demikian juga dengan wajah beliau sangat tampan dan gagah, serta memiliki mimik yang menawan. Bila presiden berpidato sebentar-sebentar terdengar teriakan “merdeka . . .merdeka ! Memang Bung Karno jarang tandingannya berpidato. Rakyat bisa terpaku berjam-jam mendengar beliau berpidato.
Kunjungan presiden Sukarno bukan hanya sekedar singgah di kota-kota di Sumatera Barat saja, tapi beliau juga datang ke daerah-daerah pedalaman. Melihat dari dekat bagaimana keinginan rakyatnya dan sampai dimana kecintaan rakyatnya terhadap pemimpin. Demikian halnya kedatangan beliau ke Matur pada bulan September 1948 disambut dengan segala kegembiraan yang tiada taranya.
Presiden Sukarno telah lama namanya disebut-sebut. Telah lama gambarnya terlihat di brosur-brosur dan
Udara Matur yang sejak pagi dilanda hujan lebat yang bagaikan dicurahkan dari langit tidak henti-hentinya, namun rakyat yang mengalir bagaikan air bah itu tidak henti-hentinya memadati lapangan menanti kedatangan presiden. Hujan lebat dan angin barat yang bertiup kencang tidak mereka hiraukan. Mereka tidak mau meninggalkan lapangan, takut nanti bla mereka pergi berteduh atau keluar dari lapangan tidak akan dapat lagi melihat wajah pemimpin bangsa itu. Berjam-jam rakyat berjejal tanpa merasa penat dan tanpa merasa kedinginan.
Anak-anak sekolah yang sejak pukul 10.00 telah berbaris dengan pakaian rapi dan bersih, sekarang setelah dihantam hujan seluruh pakaian mereka menjadi lengket bersatu dengan kulit. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Sekitar jam 14.00 presiden sampai di Matur yang di dahului oleh barisan pengawal. Presiden turun dengan pakaian serba putih mendekati rakyat, serta dengan penuh senyum membalas tiap pekikan merdeka, berjalan tenang dan gagah di hadapan rakyat yang bagaikan lebah itu. Setelah istirahat selama 15 menit presiden menuju panggung podium untuk mulai pidato kenegaraannya. Sebelum itu di dahului dengan lagu “Indonesia Raya”, kemudian diiringi dengan lagu “Sorak Sorak Bergembira” dan seterusnya lagu “Dari Barat Sampai Ke Timur”. Semua nyanyian anak sekolah ini dipimpin oleh guru Nurbani. Presiden pun ikut bernyanyi serta ikut pula menggerak-gerakkan tangannya seperti memberikan semangat kepada anak-anak sekolah yang sedang bernyanyi.
Suatu hal yang perlu dicatat disini, jika sejak pagi subuh turun hujan bagaikan dicurahkan melanda bumi Matur, tapi begitu presiden sampai di Matur hujan bagaikan disumbat dari langit, berhenti dengan tiba-tiba. Demikian pula dengan angin kencang yang berhembus dari barat sekarang tidak ada lagi, udara cerah angin pun selesai, presiden memulai pidato kenegaraannya.
Sebelum presiden mamulai pidato terlebih dahulu beliau menyuruh seluruh rakyat lebih dekat lagi mendekati podium. Karuan saja rakyat bagaikan gelombang di lautan samudera menyerbu mendekati podium, hanya berjarak 3 meter saja dari presiden, lalu beliau berkata “cukup”. Rakyat pun berhenti 3 meter dari presiden. Protokol dan badan keamanan tidak dapat berbuat apa-apa, toh ini semua adalah keinginan presiden juga keinginan rakyat yang cinta akan presiden, yang cinta akan pemimpinnya.
Pidato yang dimulai dengan pekikan “merdeka” oleh presiden ini dijawab oleh rakyat dengan pekikan “merdeka” yang bergemuruh membahana di jagad raya ini. “Merdeka ! . . .merdeka ! . . .merdeka !” Kemudian presiden menyampaikan bahwa kepulauan Nusantara yang meliputi ribuan pulau-pulau besar dan kecil tersebut yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, itu dia Wilayah Nusantara, hak milik bangsa Indonesia dan sejak 17 Agustus 1945 telah melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang telah dicetuskan itu bukan hanya untuk Sumatera saja, bukan pula untuk Jawa saja, tapi untuk seluruh wilayah Nusantara. “Kita tidak mau kemerdekaan itu dibagi-bagi. Kita ingin merdeka 100 %, tidak 50 %, juga tidak mau 75 % atau 99 %. Kita bangsa
Kemudian presiden meneruskan, bila ada yang bertanya, bagaimanakah pendidikannya Indonesia Merdeka itu, hendaklah dijawab “all is running well”. Bagaimana dengan kebudayaan, hendalah dijawab “all is running well”. Bagaimana pemerintahan ?, hendaklah dijawab juga dengan “all is running well”. Bagaimana kebudayaan juga dijawab dengan “all is running well”. Kemudian presiden mengulangi pertanyaan tersebut satu persatu kepada rakyat yang hadir dan dengan kompak rakyat menjawab “all is running well”.
Selanjutnya presiden menjelaskan bahwa “350 tahun
Demikian antara lain pidato presiden di hadapan rakyat Matur dan sekitarnya.
Rakyat Matur melepas kembali keberangkatan presiden tercinta ke Bukittinggi dengan pekikan merdeka dan linangan air mata karena cintanya. Mereka rakyat Matur bangga akan kegagahan presidennya. Mereka bangga akan keaslian suara presiden dalam berpidato, melantunkan suara yang bergetar dan bergelombang, mempesona dan menarik. Kata demi kata diucapkan dengan penuh
Peristiwa 18 Desember 1948 sangat mengejutkan masyarakat
Namun setelah berjam-jam dan telah diberi kode untuk segera mendarat namun pesawat tetap juga berputar-putar di udara. Rakyat jadi gelisah, dan para pemimpin jadi timbul tanda tanya, apa sebenarnya, kenapa pesawat yang telah diberi kode dengan lampu itu belum uga mendarat ?. Sementara itu arus penduduk yang berbondong-bondong ke lapangan udara Gadut tidak bisa ditahan. Mereka ingin menyambut kedatangan presiden mereka. Semalam suntuk penduduk Bukittinggi tidak tidur. Mereka merasa pasti bahwa yang ada dalam pesawat yang berputar-putar di udara Bukttinggi itu tidak lain adalah presiden dan Inyiak H. Agus Salim, dua pimpinan yang mereka cintai. Oleh sebab itu rakyat terus berdesakan terus mendekati lapangan udara Gadut. Apalagi setelah tersiar kabar bahwa presiden hanya akan singgah sebentar saja di Bukittinggi kemudian melanjutan perjalanan ke
Kecintaan rrakyat akan pemimpinnya ini pasti saja diketahui oleh Belanda yang pada saat itu sedang bercokol di kota Padang, dan dapat dipastikan bahwa pesawat yang menderu-deru di udara Bukittinggi ini pasti saja berpangkalan di lapangan Tabing Padang, dan sekarang dapat diperkirakan bahwa hembusan kedatangan presiden dan rombongan pasti ulah kaki-tangan NICA. Ini juga merupakan betapa awamnya pihak dinas rahasia kita pada masa itu dan keawaman ini dipergunakan oleh kaki tangan musuh menyelundupkan berita kedatangan presiden. Demikian derasnya hembusan kedatangan presiden dan rombongan yang hanya singgah sebentar saja di Bukittinggi selaku daearah pemerintahan Sumatera sehingga rakyat sekeliling
Oleh karena itu pada pagi subuh yang sunyi dan nyaman Bukittinggi telah padat oleh penduduk yang berdatangan dari sentereo kampung yang berdekatan. Tapi . . . semua dugaan dan gambaran akan berjumpa dengan presiden itu ternyata merupakan fatamorgana belaka. Tepat jam 06.00 tiga buah bomber dengan semena-mena telah membom
Rakyat Indonesia terutama yang berada dalam kota Bukittinggi dan sekitarnya tadi malam semalam suntuk tidak tidur dikarenakan hembusan kedatangan presiden dan rombongan sama-sama berbondong-bondong ke Gadut menanti kedatangan presiden, sekarang masih dala keadaan mengantuk dan lelah karena tidak tidur, tau-tau dihantam dan dikejutkan oleh sipongang, ledakan bom dan rentetan bunyi letusan mitraliur yang dibarengi dengan pekikan dan erangan, menjadikan kota Bukittinggi centang perenang. Kematian mengintai disetiap sudut dan liku. Perang “merdeka atau mati” sekarang meminta bukti dan darma bakti putra putrinya.
Pada tanggal 18 Desember 1948 dipagi subuh yang damai di lereng lembah merapi dan singgalang dicatat dalam sejarah sebagai pagi yang kelabu, penuh dengan kengerian dan kematian atas kekejaman dan kebiadaban Belanda yang ingin hendak berkuasa kembali dibumi Indonesia tercinta ini. Perang total tidak bisa dihindarkan lagi. Belanda dengan telah sengaja menghianati perjanjian Linggar Jati. Belanda telah menghabur-hamburkan mait kepada seluruh bangsa
Peristiwa ini sangat menguntungkan sekali bagi Belanda yang hendak mencengkeramkan kuku penjajahannya kembali. Tapi mereka tidak sadar betapa pahitnya derita sengsara yang dialaminya semasa pendudukan Jepang. Mereka kembali pongah dan besar kepala melawan rakyat yang tidak bersenjata, tapi mereka juga lupa akan tekad dan sumpah “merdeka atau mati” dari seluruh bangsa
Kepala pemerintahan dan komandan militer
Perjuangan baru akan dimulai dan tidak tahu kapan akan berakhirnya. Aksi polisionil telah merobek-robek segala perjanjian. Belandalah yang akan bertanggung jawab di Mahkamah Internasional. Rakyat
Tidak ada jalan lain bagi bangsa
Setelah
Rakyat Matur yang dikenal sebagai insan-insan perantau sekarang berada di matur.
Kepala Staf Sub Komando A, Letkol Abdul Halim yang lebih populer dengan sebutan bapak Aleng adalah putera Matur, kemenakan dari Angku Lelong Dt. Mangkuto Alam, sekarang mengatur siasat dan strategi perjuangan dalam mengembangkan perang gerilya. Jadilah Matur sebagai pusat gerilya.
Atas peristiwa penghianatan atas segala perjanjian oleh Belanda ini, serta peristiwa aksi polisionil Belanda 18 Desember 1948 yang merobek-robek jantung pertahanan republik Indonesia sangat menjengkelkan pihak militer, sekurang-kurangnya pihak Sub Komando A. Karena menurut uraian “bapak Aleng”, begitu pasukan republik siap tempur, oleh pemimpin politisi diadakan perundingan dan perdamaian. Jadilah siap tempur itu menjadi siap ditempat tidak boleh meletuskan senjata. Oleh karena kita rakyat republik
Kembali kita ungkit kenangan lama setelah jatuhnya Bukittinggi ketangan Belanda. Pasukan republik menghindar ke luar
Kesemua korban houwetzer ini baru besoknya hari Sabtu baru dapat diselamatkan dan dikuburkan dimakam keluarga masing-masing. Perlu kita catat disini bahwa Mirin Sutan Makmur adalah putera daerah Matur yang sudah sejak lama, sejak masih pada jaman Belanda dengan gigih menantang penjajah. Beliau adalah orang pergerakan dari organisasi Muhammadiyah, yang sering ditangkap dalam rapat-rapat Muhammadiyah karena ucapan dan pidatonya dianggap merugikan pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu berkumandangnya proklamasi, beliau terpilih sebagai Sekretaris Komite Nasional. Beliau pemuka masyarakat yang disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Mudah-mudahan darah beliau yang tertumpah di tanah persada ini akan merupakan dharma bakti transfusi darah jayanya
Perlu kita catat disini melihat akan perjuangan dan kegigihan Alm. Mirin Sutan Makmur selagi hayat dalam mewujudkan
Setelah hantaman houwetzwer ke Matur yang memakan korban harta benda dan jiwa, sedangkan pasukan republik belum terkoordinir sebagaimana diharapkan, kembali mengaum dua buah “mustang cocor merah”. Rupanya pasukan udara mengiringi pasukan daarat menuju Matur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 Juli 1949. Maka untuk pertama kalinya terjadilah bentrokan senjata antara pasukan republik yang tidak berpengalaman dengan serdadu Belanda yang berpengalaman dan senjata lengkap serta terlatih di jalan sempit Parit Panjang. Maka tercatatlah dalam peristiwa ini seorang pemuda bernama Udin Tirai mati dalam mempertahankan kemerdekaan.
Kemudian serdadu Belanda ini meneruskan perjalanannya yang dikawal melalui udara menuju Matur. Disinipun terjadi bentrokan senjata dengan seorang “Pemuda Barisan Rakyat Sukarela” bernama Husin. Jatuhlah korban untuk hari itu dua orang pemuda yang gagah berani. Mereka telah membuktikan “merdeka atau mati”. Pasukan kita bukan saja sulit dalam menghimpun kekuatan karena jatuhnya Bukittinggi tapi juga mengalami kesulitan karena daerah terpencar-pencar tanpa penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya kecuali harus melalui hutan belantara akan memakan waktu yang cukup panjang, dalam keadaan masih mengatur atau menghimpun kembali Belanda menyerang Matur, yang tiap kedatangannya pasti diiringi dengan pesawat udara untuk melindungi pasukan darat. Untuk kedua kalinya terjadi pertempuran yang bisa disebut dengan sabotase dari pasukan republik di daerah Parit Panjang, yang mengakibatkan gugurnya seorang pemuda bernama Harun Sutan Pamenan.
Setelah Belanda berhasil membunuh Harun Sutan Pamenan, pasukan republik segera disiapkan bila nanti pasukan Belanda kembali ke Bukittinggi. Belanda pasti mengira bahwa di Matur tidak ada pasukan republik karena memang sengaja dikosongkan, dengan perhitungan nanti bila Belanda kembali oleh karena tidak ada perlawanan pasti mereka tidak dikawal dari udara. Nah kesmepatan inilah yang ditunggu oleh pasukan republik. Tapi sayangnya rencana ini tercium oleh Belanda. Mereka kembali ke Bukittinggi tidak melalui Parit Panjang yang telah disiapkan tapi mereka terus berjalan melalui Air Sumpu terus ke Panorama Baru, Pembidikan dan terus ke Kampung Pulasan. Sedangkan pasukan republik tetap siaga menanti orang yang tiadakan datang. Dalam perjalanannya ke Bukittinggi, Belanda sempat menangkap dua orang petani yaitu Mustafa gelar “Rang Kayo Mudo” dan Labai Kuna “Datuak Indo Marajo”. Dibawah todongan senjata dua petani ini terpaksa menunjukkan jalan ke Kurai.
Berdasarikan perhitungan strategi dan menghindarkan korban dari rakyat, maka kalau tadinya front boleh dikatakan di Parit Panjang maka sekarang front diperpanjang ke daerah Sungai Tanang di Durian. Di situ selalu terjadi perang kecil-kecilan. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan kemampuan senjata oleh pasukan republik, hingga pada suatu saat terjadilah pertempuran yang sangat hebat di daerah Koto Tuo. Pertempuran ini berkobar karena pasukan Belanda tidak dikawal oleh pasukan Udara. Areal pertempuran di alam terbuka ini menghendaki keberanian dan kemahiran. Pemuda Syofyan Tando putera daerah Matur Hilir bekas Hei Hoo memimpin pertempuran yang dinilai sangat hebat ini, yang berakhir dengan kematian pemuda Syofyan Yando. Sedangkan dipihak Belanda tewas 5 orang. Disamping kita bangga dengan Syofyan Tando, tapi kita kehilangan seorang pemuda yang gagah perkasa. Mereka telah pergi denga tekad ‘merdeka atau mati’.
Melihat kenyataan stand 1 – 5 ini Belanda kembali melancarkan serangan. Sekarang dengan dikawal oleh pasukan udara, dengan deikian Belanda berusaha terus untuk maju ke Matur. Namun dalam perjalanan Belanda selalu mendapat hadangan yang hebat dari pejuang-pejuang republik. Tiada sedikit korban di pihak Belanda walaupun mereka dikawal oleh “musttang cocor merah “, tapi seangat dan ala Matur memberikan dorongan kepada pasukan republik. Pertempuran sepanjang hari yang dimulai dari daerah Balingka terus sepanjang jalan, akibatnya tiap bangunan sepanjang jalan Panta, Pauah, Parit Panajng habis dibakar oleh Belanda. Pertempuran berkecamuk di Parit Panjang. Seorang pemuda Matur Hilir bernama Adnan Ilyas dari pasukan ‘Mobrig’ mati tertembak musuh. Oleh karena korban Belanda sangat banyak dibanding dengan pasukan republik maka mayat Adnan Ilyas digantung dan dibakar oleh Belanda. Inilah perang yang menghendaki pengorbanan yang tiada batas. Walaupun musuh telah mati namun dendam meraja lela dalam angkara murka penjajah Belanda. Demikian selanjutnya Belanda melanjutkan perjalanan menuju Matur, setiap jalan tiap bangunan akan jadi sasaran pembakaran oleh Belanda yang telah kematian banyak serdadunya itu.
Tatkala memasuki Matur Belanda boleh dikatakan tidak menemui perlawanan. Matur sengaja dikosongkan karena kuatir bila terjadi pertempuran di Matur maka sasaran yang akan menjadi korban tidak lain adalah rakyat. Disamping itu juga mengingat akan rapatnya rumah penduduk, jangan-jangan nantinya semua rumah penduduk itu akan jadi sasaran pembakaran. Namun Belanda yang sudah banyak kehilangan serdadunya sepanjang jalan menuju Matur telah kehilangan pertimbangan serta bertindak membabi buta saja. Akibatnya jadilah Matur sebagai lautan api. Semua bangunan rakyat yang dibangun dengan susah payah pada waktu berakhirnya tanaan paksa dan dengan uang bantuan dari
Disamping itu Belanda juga membakar bangunan pesanggerahan yang dibangun oleh jenderal Van De Bosch, diperkirakan semua bangunan yang dibakar oleh Belanda sejak dari Panta, Pauah, parit Panajng, Kampuang Tingga, dan di sekeliling pasar matur tidak kurang dari 120 buah bangunan rumah. Jadilah Matur bagai dikalahkan garuda. Rakyat tafakkur dan bermohon kepada Tuhan semoga diturunkan bantuan serta diberi kekuatan moral dalam mewujudkan Indonesia Merdeka.
Dengan hebatnya kesedihan yang melanda Matur, namun rakyat tetap yakin bahwa perjuangan
Melihat Matur telah jadi lautan api dan sekarang telah rata dengan bumi, pihak militer sub komando A menjadikan daerah Pasar atur sebagai Staf Kwartir. Semua pasukan telah selesai di konsolidasi. Semua kekuatan telah tersusun. Jika selama ini kita semua bersifat menanti, maka sekarang diatur siasat mengadakan serangan offensif ke daerah musuh. Front tidak lagi berada di sepanjang jalan antara Matur dan Sungai Tanang, tapi harus berada dalam
Analisa Jenderal Spoort untuk menghancurkan republik
Belanda yang berada di Bukittinggi ini akhirnya mengetahui juga bahwa kekuatan militer di Sumatera Tengah berpusat di Matur, justru itu mereka berkali-kali mengadakan serangan ke Matur. Tapi semau serangan itu dapat dipatahkan dalam perjalanan dan berkali-kali pula mereka melakukan bombardemen dengan pesawat udara ke Matur, namun rakyat sekarang telah terlatih dan terbiasa bagaimana cara menyelamatkan diri dari mitraliur. Boleh dikata hampir setiap hari Matur mendapat serangan dari udara. Otomatis Matur harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Pasar tempat pedagang berjual beli sekitar Matur sekarang selalu berpindah-pindah, tidak lagi menetap di suatu tempat. Minggu sekarang pasarnya di daerah Surau Luar, minggu berikutnya pindah ke Labuang, demikian seterusnya pasar yang diramaikan tiap hari Kamis itu selalu berpindah-pindah dari parak yang satu ke parak yang lain. Rakyat dapat mengikuti perkembangan ini dengan senang hati, tapi mereka tidak kuatir lagi akan serangan pasukan darat serdadu Belanda. Rakyat yakin pasukan republik
Selama Clash ke II atau Agresi ke II yang dimulai pada tanggal 18 Desember 1948 yang mana mulai pada saat itu para pemimpin yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Inyiak Agus Salim dapat ditawan oleh belanda di Jogyakarta, sedangkan Syafruddin Prawiranegara, SH yang pada saat itu berada di Sumatera Barat langsung memimpin perjuangan rakyat dengan nama PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berpusat secara berkeliling, terutama di daerah Koto Tinggi Suliki, Sulit Air, Sumpur Kudus. Juga Matur merupakan tempat berkumpul banyak pemimpin yang dicintai rakyat.
Matur yang merupakan puing-puing kebakaran selalu ramai dikunjungi oleh pemimpin bangsa
Selama Agresi ke II ini Matur hanya 3 (tiga) kali dapat dimasuki oleh Belanda, itupun mereka tidak berani bermalam. Tapi kedatangan mereka yang tiga kali itu telah menewaskan 5 pemuda harapan bangsa, sedangkan yang korban dalam tembakan houwitzer sebanyak 10 jiwa, dan tidak dapat dihitung pengorbanan harta benda, baik yang dirampas oleh serdadu Belanda maupun pengorbanan atas pembakaran rumah mereka.
Peringatan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1949 di lapangan hijau Matur, seluruh pasukan yang berada dibawah Sub Komando A telah mengadakan demonstrasi kekuatan senjata. Pada saat itulah rakyat dapat melihat betapa anggun dan agungnya pasukan Tentara Nasional Indonesia . Baru 4 tahun
Rakyat yang tadinya merasa linglung ketika Bukittinggi dapat direbut oleh Belanda sekarang bagaikan sekuntum bunga yang layu dapat siraman air hujan. Mereka kembali mendapat kepercayaan, bahwa
Memang disana-sini pada jaman revolusi itu akan terjadi beberapa kekeliruan dan kesalahan hukum. Umpamanya, bila pesawat udara musuh sedang berada di udara, oleh seseorang yang rajin mencatat kedatangan tiap pesawt itu, pasti dihubungkan dengan melihat jam tangan, dengan mengangkat lengan sebatas siku. Nah, dengan mengangkat lengan sebatas siku ini dengan mudah dapat di intimidasi dengan meng-kode pesawat yang di udara. Maka berlakulah hukum revolusi. Dibunuh dengan belek atau pisau tumpul. Revolusi dan hukum dalam masa perang memang aneh. Juga bila ada orang yang secara tidak sengaja atau bertepatan waktunya memutar-mutarkan tongkatnya, sedang deru pesawat terbang terdengar pula, maka si pemutar tongkat ini disebut dan dihukum seperti spion musuh, dan bila tuduhan ini diperkuat pula dengan saksi-saksi, jangan diharap akan hidup lagi.
Perlu juga dicatat disini, disamping rakyat bangga dengan kekuatan senjata militer mereka, juga mereka bangga akan kemampuan mengacau pasukan musuh sampai-sampai ke jantung
Kebanggaan rakyat bukan hanya sekedar ucapan, tapi juga diiringi dengan perbuatan. Mereka dengan segala senang hati menjamu tentaranya, juga mereka dengan senang hati meberikan bantuan, baik berupa makanan maupun pakaian.
Demikianlah Matur dari masa ke masa selalu terkenal akan keramah-tamahannya, kendatipun kehidupan pribadinya selalu kekurangan, namun dalam perjuangan dalam menuju
Perlu juga kita catat disini, bahwa sejak jaman pendudukan Jepang rakyat sudah terbiasa memakai baju goni atau baju kulit kayu yang disebut tarok. Demikian juga halnya pada jaman revolusi 1945 s/d 1949 rakyat sudah tidak asing lagi dengan dua jenis pakaian tadi, tapi mereka tidak merasa rendah diri, juga tidak melunturkan semangat juang mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar