Minggu, 11 Maret 2012

X. MATUR BEREVOLUSI

Apa yang diramalkan dan apa yang dinanti-nantikan itu akhirnya datang juga. Perang Dai Toa Senso yang dikumandangkan oleh pemerintahhan Jepang tanggal 18 Desember 1941 di jagad raya ini selesai sudah dengan kemenangan dipihak sekutu.

Perang dunia kedua yang dicetuskan oleh dua bangsa yang berambisi, yaitu Jerman dan Jepang untuk menguasai dunia ini dengan pembagian Eropah untuk Jerman dan Asia untuk Jepang berakhir dengan tragis sekali. Pada tanggal 14 Agustus 1945 kota-kota besar di Jepang seperti Hirosima dan Nagasaki serta Tokyo hancur luluh lantak akibat bom atom yang maha dahsyat. Bom ini untuk pertama kali diledakkan dibumi yang mengakibatkan pemerintahan Jepang bertekuk lutut menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

Jepang dicap sebagai negara penjahat perang dan jadilah mereka sebagai tawanan perang. Perang kilat yang mereka lancarkan dengan seribu satu janji angin sorga kepada bangsa-bangsa Asia berakhir dibawah ujung bayonet jengki-jengki sekutu.

Pada detik-detik transisi menjelang pasukan sekutu melucuti pasukan Jepang di nusantara, waktu itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh pimpinan bangsa ndonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh proklamator yaitu Sukarno dan Hatta pemimpin bangsa Indonesia yang jauh hari telah mempersiapkan diri menghadapi tiap kemungkinan pada tanggal 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia ke seluruh dunia.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang melintasi empat samudera dan empat benua, mengarungi jagad raya. Pekikan merdeka atau mati meng-halilintar memenuhi setiap kehidupan. “Merdeka atau mati” merupakan simponi yang berkumandang dari tiap helaan nafas pemuda Indonesia, mereka lebih rela mati daripada dijajah lagi. “Kami bangsa Indonesia cinta damai, tapi lebih cinta akan kemerdekaan”. Oleh sebab itu barang siapa yang ingin mencoba-coba menganggu kemerdekaan yang telah diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945 itu akan berhadapan dengan pemuda-pemuda bangsa Indonesia yang rela berkorban dengan apapun, dan siap bertempur kapanpun. Kemerdekaan tidak akan dibagi-bagi. Bangsa Indonesia ingin kemerdekaan 100 %, “Sekali merdeka tetap merdeka”. Kemerdekaan ini tidak akan dilepaskan lagi, walaupun nyawa sekalipun taruhannya, mereka tidak peduli. Kemerdekaan sekarang tidak sama lagi dengan peristiwa-peristiwa Tuanku Imam Bonjol yang terkenal dengan Perang Paderi juga tidak sama dengan peristiwa Perang Diponegoro maupun Perang Aceh dibawah pimpinan Teuku Umar. Perang sekarang bila ada yang mencoba mengganggu kemerdekaan Indonesia Itu akan berhadapan serentak dengan seluruh pemuda di kepulauan Indonesia.

Kemerdekaan yang diproklamirkan itu untuk seluruh bangsa Indonesia, tidak lagi bersifat lokal atau daerah, tapi seluruh kepulauan Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau itu adalah satu bangsa.

Peristiwa 28 Oktober 1928 adalah merupakan peletakan sendi-sendi dasar akan kemerdekaan. Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa yaitu Indonesia, dan diatas dasar yang kokoh kuat inilah berdirinya kemerdekaan itu, dibawah naungan Sang Saka Merah Putih dan dikawal oleh 70.000.000 rakyat Indonesia.

Kumandang proklamasi berikut dengan teksnya serta susunan pemerintahan pada awal bulan September 1945 sampai ke Matur dibawa oleh beberapa perantau yang sengaja pulang untuk mengabarkan peristiwa ini.

Kemerdekaan bukanlah hadiah dan juga bukan pemberian. Kemerdekaan di proklamirkan karena penjajahan tidak sesuai lagi dengan tuntutan prerikemanusiaan dan perikeadilan. Diamping itu apa yang dapat bagi bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa terjajah lainnya di dunia selama terjajah oleh Belanda yang dalam sejarah selain tigaratus lima puluh tahun kecuali menghasilkan 90 % rakyat Indonesia yang buta huruf,. Demikian juga penjajahan Jepang menghasilkan kemelaratan dan kesengsaraan yang tiada taranya, justru itu penjajahan dalam bentuk apapun harus lenyap dari permukaan bumi.

Berkat gemblengan dan pompaan jiwa kebangsaan dari para pemimpin dan para perantau yang baru pulang, dengan cepat terbentuklah berbagai barisan sukarela PRI (Pemuda Republik Indonesia), “Hizbullah”, “Sabilillah”, “Sabil Muslimat”, dan banyak lagi bentuk barisan dan bahkan anak-anakpun membuat “Barisan Semut”. Semua ini mereka latih perang-perangan di lapangan hijau Matur, demikian juga pasukan palang merah. Pokoknya semua pemuda dan pemudi, anak-anak dan orang tua pun ikut berbaris dan berlatih dengan segala jenis senjata. Ada yang membawa parang, bambu runcing, pedang samurai dan entah apa saja senjata lainnya. Pokoknya asal bisa dibawa akan dipergunakan oleh rakyat, demi cinta kepada kemerdekaan.

Tiap pagi subuh semua pemuda-pemudi, anak-anak, orang tua berbaris di lapangan hijau Matur, sebelum mereka mengadakan latihan mereka mengucapkan sumpah dengan penuh khidmad.

Kita ungkapkan disini detik-detik pertama kalinya teks proklamasi dikumandangkan di udara Matur oleh para cerdik-cendekia, yang masa itu masih dibawah todongan bayonet serdadu Jepang.

Setelah para perantau pulang ke kampung halaman yang pada umumnya ingin melihat kaum keluarga selama perang Dai Toa Senso dicetuskan seakan-akan hubungan diantara kampung halaman dengan rantau terputus. Satu dua diantara perantau ini membawa beberapa lembar teks proklamasi, dan juga ada yang membawa susunan pemerintahan pusat. Oleh mereka ini diadakan kata sepakat untuk mengumandangkan teks prklamasi ke seluruh rakyat, tapi Inyiak Palo / Angku Kapalo Nagari beliau E. Dt. Bandaro Rajo kurang yakin dan malah tidak percaya. Disamping itu beliau juga kuatir kalau-kalau hal ini mengundang malapetaka antara pasukan Jepang dengan masyarakat. Oleh sebab itu beliau menganjurkan untuk sementara kita tunggu saja perkembangannya.

Beberapa tokoh masyarakat lainnya seperti beliau bapak Ilyas Jamil, bapak Harun Al Rasyid St. Mankuto, Mirin St. Makmur, dan beberapa cerdik cendekia lainnya pergi menemui Angku Kapalo Nagari, menganjurkan agar besok seluruh umat Islam yang akan pergi shalat Idul Fitri 1 Syawal 1368 H atau tangal 2 September 1945 semuanya berkumpul dimuka balai-balai adat pasar Matur untuk bermaaf-maafan, terutama dengan Inyiak Palo, kemudian baru mereka disilahkan untuk pergi ke mesjid masing-masing atau bersembahyang jama’ah atau di lapangan hijau Matur.

Pancingan akan bermaaf-maafan antara seluruh umat itu termakan oleh Inyiak Palo, maka pada malam harinya berkumandanglah canang menyuruh sekalian umat berkumpul dulu di muka balai-balai adat Matur, kemudian baru pergi ke mesjid masing-masing. Sebaliknya para pemuka masyarakat yang telah bertekad untuk mengumandangkan teks proklamasi telah siap pula dengan segala rencana.

Besoknya pada tanggal 1 Syawal 1368 H beberapa orang pimpinan masyarakat dan pemuda telah siap siaga untuk bertindak dan berbuat apabila terjadi hal-hal yang tidak diingini, begitu selesai Inyiak Palo mengucapkan salam bermaaf-maafan, minal aidzin wal faidzin, langsung bapak Ilyas Jamil gelar Sutan Marajo naik mimbar membacakan teks proklamasi serta susunan pemerintahan di Jakarta. Kemudian diikuti dengan segala pituah dan petunjuk bahwa mulai saat ini Indonesia telah merdeka dan terlepas dari segala bentuk penjajahan, dan barang siapa yang berani coba-coba menghalangi kemerdekaan yang telah dikumandangkan ini pasti mereka akan digilas oleh roda revolusi. Rakyat Indonesia yang lebih kurang 70 juta jiwa banyaknya itu serentak bangun membela kemerdekaan yang telah di proklamirkan ini. Merdeka , , , merdeka . . .sekali merdeka tetap merdeka . . .!”.

Polisi Jepang yang pada saat itu bermarkas / berkantor di muka pasar Matur jadi terheran-heran mendengar pekikan merdeka dari seluruh rakyat. Tapi begitu dia sampai di lapangan rakya kembali bertakbir mengumandangkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar walilla ilhamd”, mengucapkan syukur puja akan kebesaran tuhan sekalian alam. Setelah shalat Idul Fitri bapak Ilyas Jamil St. Marajo dipanggil oleh polisi Jepang ke Rumah Tinggi, untuk menanyakan dan mempertanggung jawabkan peristiwa tadi pagi. Melihat gelagat tidak bersahabat dari polisi Jepang ini, bapak Harun Al Rasyid St. Mangkuto segera menghimpun pemuda dan kemudian bersama-sama mendatangi kantor polisi ini, dan oleh polisi Jepang melihat kedatangan pemuda yang begitu banyak serta menginsyafi kekalahan mereka dalam perang asia timur raya, dengan penuh keramahan mereka mempersilahkan bapak Ilyas Jamil untuk meninggalkan ruangan kantor polisi. Jepang tidak sempat berbuat apa-apa kecuali mendengar secara langsung dari pemuka masyarakat Matur bahwa Indonesia sekarang ini telah merdeka dan siap untuk berperang sampai titik darah penghabisan.

Malam harinya bertempat di rumah bapak Mukhtar Buyung segera dibentuk Komite Nasional dan Koordinator Pemuda, dan lain-lain untuk menunjang kemerdekaan dengan susunan sebagai berikut :

Ketua Komite Nasional : Ilyas Jamil Sutan Marajo

Sekretaris : Mirin Sutan Makmur

Koordinator pemuda : Harun Al Rasyid Sutan Mangkuto

Badan ini dibantu oleh beberapa orang pemuka masyarakat dan pemuda sebagai anggota.

Sekitar bulan Nopember 1945 jam 16.00, selagi orang kampung ramai-ramai membicarakan arti kemerdekaan, tiba-tiba dikejutkan oleh suara “bersiap . . .bersiap . . .bersiap . . .” dari arah pasar Matur ke Lurah Taganang. Suara itu berasal dari pemuda yang bernama “Almunir” sambil berlari dan dengan telanjang dada. Semua orang menjadi terkejut dan terheran-heran, sebab pemuda Almunir ini terus juga berlari sambil berteriak ke arah kampung. Semua orang kampung keluar berlari arah berlawanan dari arah pemuda Almunir yaitu menuju pasar untuk menanyakan kepada siapa saja, apa sebenarnya yang terjadi. Rupanya diluar dugaan jam 16.00 datang sebuah sedan membawa dua orang Belanda dari arah Bukittinggi menanyakan siapa yang menjadi Asisten Demang di Matur sekarang. Pemuda Almunir mendengar pertanyaan ini langsung saja berlari sambil berteriak-teriak “siap . . .!” Karuan saja sang Belanda tadi setelah melihat gelagat sang pemuda jadi balik kanan, memutar kenderaannya kembali ke Bukittinggi.

Kala pemuda Almunir terkejut melihat kedatangan Belanda yang sangat tiba-tiba, sebaliknya si Belanda ini juga terkejut melihat perilaku pemuda Almunir, lain yang ditanya lain pula yang dikerjakan. Tentu saja peristiwa ini tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Setelah mengerti duduk persoalannya, oleh ketua Komite Nasional segera diadakan hubungan dengan Balingka dan Koto Tuo untuk mencegah dan menagkap Belanda yang sedang melarikan diri ke arah Bukittinggi. Sebaliknya bapak Harun Al Rasyid menghimpun semua pemuda, menyusul ke arah Parit Panjang. Semua pemuda bersiap dengan segala perkakas, bambu runcing, parang, pedang samurai dan lain-lain. Mereka berbaris menuju jalan sempit Parit Panjang. Mereka bertekat untuk membunuh Belanda itu jika kembali lagi ke Matur. Dan pada malam harinya datanglah kurir mengabarkan bahwa Belanda yang dua orang itu sudah selesai di “belek”, dibunuh di daerah Balingka.

Berdasarkan pengalaman yang lucu itu langsung semua pemuda ditatar dan dididik oleh bapak Harun Al Rasyid, Nazar Sutan Dirajo, Aladin dan lain-lain. Setelah ada petunjuk dan penataran ini tiba-tiba datang berita dari daerah Lubuak Sawo Lubuk Basung bahwa pemuda Lubuk Basung terlibat perang hebat dengan Jepang. Sebaliknya Jepang bertahan tidak mau menyerahkan senjata, justru itu telah terjadi pertempuran untuk pertama kalinya di Agam antara pemuda dengan Jepang.

Koordinator pemuda Matur Harun Al Rasyid segera memanggil para pemuda dan dikumpulkan di lapangan hijau Matur. Ditanya satu-persatu siapakah yang ingin pergi berperang melawan Jepang ke Lubuk Sawo. Semua yang hadir mengajukan permohonan untuk diperkenankan pergi ke Lubuk Sawo. Bukan hanya pemudanya saja bahkan yang bukan lagi pemuda juga ikut. Oleh bapak Harun Al Rasyid hanya diperkenankan pemuda saja itupun dalam jumlah terbatas lebih kurang 40 orang. Melihat ini maka berhamburan pemberian dari masyarakat banyak. Ada yang memberikan pisau, sarung, kopiah, deta, galembong, cincin, dan entah apa lagi, sungguh banyak. Semua ini menjadi milik yang pergi ke lubuk sawo memerangi Jepang. Itu merupakan tanda antusias dari masyarakat banyak yang cinta kemerdekaan.

Sebagai komandan peleton bertindak pemuda Sofyan Tando, bekas Hei ho Jepang, dan dibantu oleh mamaknya sendiri bernama pemuda Yosoef. Mereka berangkat dengan penuh semangat dan dengan tekad merdeka atau mati. Tapi betapa kecewanya mereka setelah berjalan semalam suntuk, sampai di Balai Akad Koto Malintang diperoleh berita bahwa Jepang-Jepang yang di Lubuk Sawo sudah “dibereskan” oleh pemuda Lubuk Basung. Kurir mengatakan tidak perlu lagi bantuan, kembali sajalah balik ke Matur. Untuk apa lagi ke Lubuk Sawo, toh semua tentara Jepang disana sudah tidak ada lagi dan senjatanya telah dirampas semua. Itulah peristiwa-peristiwa lucu yang terjadi pada awal kemerdekaan di Matur.

Secara berangsur-angsur administrasi pemerintahan mulai diatur. Bukittinggi yang berjarak 22 km dari Matur merupakan pusat peerintahan untuk Sumatera. Disnilah duduknya Gubernur Sumatera dibawah pimpinan Mr. Teuku Mhd. Hasan. Bukittinggi bukan saja ramai oleh karena pusat pemerintahan di Sumatera, tapi juga ramai oleh karena kota Padang masih berada di tangan NICA / Belanda. Dengan sendirinya para pencinta kemerdekaan dengan segala kesadaran mengungsi ke Bukittinggi. Matur yang tidak begitu jauh dari pusat pemerintahan Sumatera bertambah cepat matang dalam situasi dan kondisi. Pemuda-pemuda dengan cepat mendaftarkan diri dalam berbaai bentuk barisan, yang kemudian menjadi TNI, Tentara Republik Indonesia.

Kabinet yang silih berganti di pusat selalu diikuti oleh rakyat banyak, demikian juga peristiwa pengkhianatan oleh PKI Muso di Madiun pada bulan September 1948 jadi catatan yang menyakitkan bagi seluruh rakyat. Susunan pemerintahan di daerahpun menjadi perhatian bagi masyarakat Matur. Dengan sendirinya Matur dengan cepat menyesuaikan diri. Wali Nagari Perang segera dibentuk dibawah pimpinan Engku mirin Sutan Makmur, demikian pula Wali Jorong Perang dan sebagainya demi untuk mempertahankan pemerintahan dan kemerdekaan.

Sebegitu jauh Matur belumlagi mengalami secara lagsung dan berhadapan dengan musuh negaranya. Mereka hanya tahu pertempuran lewat berita atau surat kabar yang terbit di Bukittinggi. Bukittinggi adalah kota De Jure untuk Sumatera. Padang Panjang merupakan kedudukan TNI resimen VI dibawah pimpinan Kamal Mustafa., sedangkan Lubuk Alung merupakan garis demarkasi selalu saja terjadi pertempuran kecil-kecilan. Demikian juga kota Padang tiap malam pasti dikerayangi oleh para gerilya Indonesia. Belanda semakin tidak aman dan selalu saja terjadi bentrokan senjata dengan para gerilya, apalagi setelah terbunuhnya Walikota Padang bapak Bagindo Aziz Chan, para pemuda pasti saja tidak senang akan peristiwa ini, semangat pemuda jadi meluap-luap dan benci amat sangat kepada Belanda, oleh sebab itu mereka menjadi nekad untuk membunuhi para Belanda. Rakyat Sumatera Barat sangat menyayangi pimpinan mereka. Terbunuhnya bapak Walikota Padang Bagindo Aziz Chan merupakan satu-satunya pimpinan teladan dan sangat dihormati oleh Pemuda, menjadikan darah mereka mendidih. Jiwa dan semangat pemuda menjadi terpanggil untuk membalas kematian pimpinannya. Tiada heran pada saat itu banyak para pemuda yang mendaftarkan diri sebagai barisan sukarela, berjuang di garis depan. Tiada kecuali pemuda Matur banyak yang mendaftarkan diri sebagai pejuang di garis depan. Permintaan mereka ini tentu saja ditolak oleh para pimpinan militer, karena untuk berjuang itu tidak cukup hanya dengan semangat saja, tapi diperlukan pengetahuan dan teknik perang.

Rakyat Matur bukan hanya cinta kepada pemimpin yang ada dipusat saja, tapi ajaran agama yang memuliakan Tuhan dan Rasul serta kedua orang tua dan guru mereka tertanam sejak lama. Oleh sebab itu tiap fatwa atau petunjuk dari guru-guru atau pemimpin pasti mereka terima tanpa ragu-ragu. Oleh sebab itu bagaimanapun meluapnya semangat jihad untukmenjaga kehormatan negara dan demi membalaskan sakit hati atas kematian bapak Bagindo Aziz Chan , tapi mereka tetap patuh dan taat kepada pemimpinnya. Rakyat Matur bersabar menerima setiap cobaan demi cinta akan pemimpin dan cinta akan kemerdekaan.

Kecintaan akan pemimpin ini terbukti sewaktu kedatangan presiden ke Bukittinggi pada bulan September 1948, seluruh rakyat keluar untuk menyambut kedatangan presiden ke lapangan udara Gadut. Terik matahari tidak menjadi soal, begitu juga saat presiden berpidato di lapangan Kantin penuh sesak dengan arus manusia sampai ke jalan raya, tidak terbendung banyaknya. Apalagi rakyat dari kampung-kampung tidak mau tau akan ketentuan dan tata tertib lalulintas, yang penting dapat melihat wajah presiden, walau setelah itu akan mati atau akan dikurung dalam bui, mereka rela.

Banyak yabg meneteskan air mata mendengar lantuanan suara Bung Karno yang penuh kecintaan akan rakyat itu. Bung Karno adalah satu-satunya pemimpin dan presiden yang sangat pandai berpidato. Suara beliau bergelombang dan menggertarkan. Kata-katanya sangat sederhana dan mudah untuk dicerna oleh rakyat. Demikian juga dengan wajah beliau sangat tampan dan gagah, serta memiliki mimik yang menawan. Bila presiden berpidato sebentar-sebentar terdengar teriakan merdeka . . .merdeka ! Memang Bung Karno jarang tandingannya berpidato. Rakyat bisa terpaku berjam-jam mendengar beliau berpidato.

Kunjungan presiden Sukarno bukan hanya sekedar singgah di kota-kota di Sumatera Barat saja, tapi beliau juga datang ke daerah-daerah pedalaman. Melihat dari dekat bagaimana keinginan rakyatnya dan sampai dimana kecintaan rakyatnya terhadap pemimpin. Demikian halnya kedatangan beliau ke Matur pada bulan September 1948 disambut dengan segala kegembiraan yang tiada taranya.

Presiden Sukarno telah lama namanya disebut-sebut. Telah lama gambarnya terlihat di brosur-brosur dan surat kabar tapi melihat secara langsung baru sekarang. Oleh sebab itu seluruh rakyat tua-muda, besar-kecil datang pagi-pagi sekali memenuhi lapangan hijau Matur menanti kedatangan pemimpin yang sangait dicintai ini.

Udara Matur yang sejak pagi dilanda hujan lebat yang bagaikan dicurahkan dari langit tidak henti-hentinya, namun rakyat yang mengalir bagaikan air bah itu tidak henti-hentinya memadati lapangan menanti kedatangan presiden. Hujan lebat dan angin barat yang bertiup kencang tidak mereka hiraukan. Mereka tidak mau meninggalkan lapangan, takut nanti bla mereka pergi berteduh atau keluar dari lapangan tidak akan dapat lagi melihat wajah pemimpin bangsa itu. Berjam-jam rakyat berjejal tanpa merasa penat dan tanpa merasa kedinginan.

Anak-anak sekolah yang sejak pukul 10.00 telah berbaris dengan pakaian rapi dan bersih, sekarang setelah dihantam hujan seluruh pakaian mereka menjadi lengket bersatu dengan kulit. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Sekitar jam 14.00 presiden sampai di Matur yang di dahului oleh barisan pengawal. Presiden turun dengan pakaian serba putih mendekati rakyat, serta dengan penuh senyum membalas tiap pekikan merdeka, berjalan tenang dan gagah di hadapan rakyat yang bagaikan lebah itu. Setelah istirahat selama 15 menit presiden menuju panggung podium untuk mulai pidato kenegaraannya. Sebelum itu di dahului dengan lagu “Indonesia Raya”, kemudian diiringi dengan lagu “Sorak Sorak Bergembira” dan seterusnya lagu “Dari Barat Sampai Ke Timur”. Semua nyanyian anak sekolah ini dipimpin oleh guru Nurbani. Presiden pun ikut bernyanyi serta ikut pula menggerak-gerakkan tangannya seperti memberikan semangat kepada anak-anak sekolah yang sedang bernyanyi.

Suatu hal yang perlu dicatat disini, jika sejak pagi subuh turun hujan bagaikan dicurahkan melanda bumi Matur, tapi begitu presiden sampai di Matur hujan bagaikan disumbat dari langit, berhenti dengan tiba-tiba. Demikian pula dengan angin kencang yang berhembus dari barat sekarang tidak ada lagi, udara cerah angin pun selesai, presiden memulai pidato kenegaraannya.

Sebelum presiden mamulai pidato terlebih dahulu beliau menyuruh seluruh rakyat lebih dekat lagi mendekati podium. Karuan saja rakyat bagaikan gelombang di lautan samudera menyerbu mendekati podium, hanya berjarak 3 meter saja dari presiden, lalu beliau berkata “cukup”. Rakyat pun berhenti 3 meter dari presiden. Protokol dan badan keamanan tidak dapat berbuat apa-apa, toh ini semua adalah keinginan presiden juga keinginan rakyat yang cinta akan presiden, yang cinta akan pemimpinnya.

Pidato yang dimulai dengan pekikan “merdeka” oleh presiden ini dijawab oleh rakyat dengan pekikan “merdeka” yang bergemuruh membahana di jagad raya ini. Merdeka ! . . .merdeka ! . . .merdeka !” Kemudian presiden menyampaikan bahwa kepulauan Nusantara yang meliputi ribuan pulau-pulau besar dan kecil tersebut yang luasnya dari Sabang sampai Merauke, itu dia Wilayah Nusantara, hak milik bangsa Indonesia dan sejak 17 Agustus 1945 telah melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Kemerdekaan yang telah dicetuskan itu bukan hanya untuk Sumatera saja, bukan pula untuk Jawa saja, tapi untuk seluruh wilayah Nusantara. “Kita tidak mau kemerdekaan itu dibagi-bagi. Kita ingin merdeka 100 %, tidak 50 %, juga tidak mau 75 % atau 99 %. Kita bangsa Indonesia yang mendiami gugusan dari Sabang sampai Merauke itu ingin merdeka 100 %. Dan bila ada yang berniat untuk menguranginya akan kita hadapi dengan segala kemampuan, harta nyawa sekalipun akan menjadi taruhan, kita rela berkorban. Kami cinta damai . . . tapi lebih cinta kemerdekaan . Oleh sebab itu kepada rakyat selalu saya pesankan agar siap membela kemerdekaan yang telah kita canangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sekarang saya ingin bertanya kepada saudara-saudara, maukah saudara-saudara diberikan kemerdekaan sebanyak 50 %, 75 %, 90 % ?”. Semuanya dijawab dengan tidak. kami mau merdeka 100 %”, jawab rakyat yang hadir pada saat itu.

Kemudian presiden meneruskan, bila ada yang bertanya, bagaimanakah pendidikannya Indonesia Merdeka itu, hendaklah dijawab “all is running well”. Bagaimana dengan kebudayaan, hendalah dijawab “all is running well”. Bagaimana pemerintahan ?, hendaklah dijawab juga dengan “all is running well”. Bagaimana kebudayaan juga dijawab dengan “all is running well”. Kemudian presiden mengulangi pertanyaan tersebut satu persatu kepada rakyat yang hadir dan dengan kompak rakyat menjawab “all is running well”.

Selanjutnya presiden menjelaskan bahwa “350 tahun Indonesia dijajah oleh bangsa Belanda, mereka hanya mewariskan 90 % rakyat Indonesia buta huruf. Begitu juga mereka memboyong lebih dari 90 % kekayaan alam Indonesia ke negeri Belanda. Sedangkan rakyat Indonesia hanya berputih mata melihat kekayaannya diangkut ke negeri terendam laut itu. Demikian juga pada masa penjajahan Jepang telah menghancur lumatkan sendi-sendi kkemanusiaan, mewariskan kemiskinan dan kemelaratan tiada taranya. Oleh sebab itu semua bentuk penjajahan harus enyah dari muka bumi. Proklamasi yang kita kumandangkan adalah untuk seluruh rakyat Indonesia dari Sabang samapai Merauke dan bukan untuk satu kaum atau suku saja, tapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Ya Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Nusa Tenggara, Irian, kesemua itu adalah satu bangsa Indonesia, satu keluarga, . . . keluarga Indonesia. Mereka tidak mau dipisah-pisah, diceraikan, mereka bersatu untuk membela kemerdekaan. ‘Bersatu teguh, bercerai runtuh’. Oleh sebab itu perteguhlah persatuan dan kesatuan, Insya Allah, Allah bersama kita”.

Demikian antara lain pidato presiden di hadapan rakyat Matur dan sekitarnya.

Rakyat Matur melepas kembali keberangkatan presiden tercinta ke Bukittinggi dengan pekikan merdeka dan linangan air mata karena cintanya. Mereka rakyat Matur bangga akan kegagahan presidennya. Mereka bangga akan keaslian suara presiden dalam berpidato, melantunkan suara yang bergetar dan bergelombang, mempesona dan menarik. Kata demi kata diucapkan dengan penuh gaya dan pesona. Rakyat Matur mencintai sampai ke hati atas segala-galanya milik Bung Karno. Rakyat Matur mendoakan semoga beliau selamat kembali ke Jogya dan selamat memimpin bangsa Indonesia samapi ke tangga kemakmuran. Amiin.. . .

Peristiwa 18 Desember 1948 sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat yang berada dalam kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan di Sumatera. Pada malam hari pada tanggal 18 Desember 1948 hari terang bulan, udara sejuk dipelukan Merapi dan Singgalang ini dikejutkan oleh deru pesawat udara yang tiada henti-hentinya berputar-putar di udara Bukittinggi, putaran mana juga sampai ke Matur. Pada saat itu desas-desus bahwa bapak Presiden dan Inyiak H. Agus Salim akan singgah di Bukittinggi dalam perjalanannya ke India, oleh sebab itu timbul dugaan bahwa pesawat yang selalu berputar-putar di udara Bukittinggi itu tidak melihat kode lapangan atau lapangan sama sekali tidak terlihat dari udara. Untuk itu seluruh mobil-mobil yang ada dalam kota sama-sama pergi ke lapangan untuk menerangi lapangan yang kelak di darati oleh pesawat kepala negara.

Namun setelah berjam-jam dan telah diberi kode untuk segera mendarat namun pesawat tetap juga berputar-putar di udara. Rakyat jadi gelisah, dan para pemimpin jadi timbul tanda tanya, apa sebenarnya, kenapa pesawat yang telah diberi kode dengan lampu itu belum uga mendarat ?. Sementara itu arus penduduk yang berbondong-bondong ke lapangan udara Gadut tidak bisa ditahan. Mereka ingin menyambut kedatangan presiden mereka. Semalam suntuk penduduk Bukittinggi tidak tidur. Mereka merasa pasti bahwa yang ada dalam pesawat yang berputar-putar di udara Bukttinggi itu tidak lain adalah presiden dan Inyiak H. Agus Salim, dua pimpinan yang mereka cintai. Oleh sebab itu rakyat terus berdesakan terus mendekati lapangan udara Gadut. Apalagi setelah tersiar kabar bahwa presiden hanya akan singgah sebentar saja di Bukittinggi kemudian melanjutan perjalanan ke India. Khawair tidak akan melihat wajah presidennya inilah mereka mendesak terus mendekati lapangan udara. Semua alat negara menjadi kewalahan menahan arus rakyat ini.

Kecintaan rrakyat akan pemimpinnya ini pasti saja diketahui oleh Belanda yang pada saat itu sedang bercokol di kota Padang, dan dapat dipastikan bahwa pesawat yang menderu-deru di udara Bukittinggi ini pasti saja berpangkalan di lapangan Tabing Padang, dan sekarang dapat diperkirakan bahwa hembusan kedatangan presiden dan rombongan pasti ulah kaki-tangan NICA. Ini juga merupakan betapa awamnya pihak dinas rahasia kita pada masa itu dan keawaman ini dipergunakan oleh kaki tangan musuh menyelundupkan berita kedatangan presiden. Demikian derasnya hembusan kedatangan presiden dan rombongan yang hanya singgah sebentar saja di Bukittinggi selaku daearah pemerintahan Sumatera sehingga rakyat sekeliling kota dan sekitarnya yang berdekatan dengan Bukittinggi seperti dikomando untuk menyongsong kedatangan presiden dan ingin mendengar wejangan serta nasehat beliau.

Oleh karena itu pada pagi subuh yang sunyi dan nyaman Bukittinggi telah padat oleh penduduk yang berdatangan dari sentereo kampung yang berdekatan. Tapi . . . semua dugaan dan gambaran akan berjumpa dengan presiden itu ternyata merupakan fatamorgana belaka. Tepat jam 06.00 tiga buah bomber dengan semena-mena telah membom kota kesayangan Bukittinggi. Tembakan mitraliur dan dengan segala ledakan dahsyat telah menghancurkan segala ketenangan dan harapan rakyat. Belanda telah melaksanakan aksi polisionalnya yang kedua, sedangkan pihak republik menyebutnya sebagai “agresi militer kedua” terhadap jantung pemerintahan baik Jogjakarta maupun atas kota Bukittinggi sebagai pusat pemerintahan Sumatera.

Rakyat Indonesia terutama yang berada dalam kota Bukittinggi dan sekitarnya tadi malam semalam suntuk tidak tidur dikarenakan hembusan kedatangan presiden dan rombongan sama-sama berbondong-bondong ke Gadut menanti kedatangan presiden, sekarang masih dala keadaan mengantuk dan lelah karena tidak tidur, tau-tau dihantam dan dikejutkan oleh sipongang, ledakan bom dan rentetan bunyi letusan mitraliur yang dibarengi dengan pekikan dan erangan, menjadikan kota Bukittinggi centang perenang. Kematian mengintai disetiap sudut dan liku. Perang “merdeka atau mati” sekarang meminta bukti dan darma bakti putra putrinya.

Pada tanggal 18 Desember 1948 dipagi subuh yang damai di lereng lembah merapi dan singgalang dicatat dalam sejarah sebagai pagi yang kelabu, penuh dengan kengerian dan kematian atas kekejaman dan kebiadaban Belanda yang ingin hendak berkuasa kembali dibumi Indonesia tercinta ini. Perang total tidak bisa dihindarkan lagi. Belanda dengan telah sengaja menghianati perjanjian Linggar Jati. Belanda telah menghabur-hamburkan mait kepada seluruh bangsa Indonesia. Rakyat yang tidak bersalah dan tidak berpengalaman melindungi diri dalam perang moderen telah jadi umpan peluru. Sebaliknya rakyat yang tidak dilindungi oleh senjata-senjata mutakhir itu sekarang jadi panik serta berlarian tidak tentu arah.

Peristiwa ini sangat menguntungkan sekali bagi Belanda yang hendak mencengkeramkan kuku penjajahannya kembali. Tapi mereka tidak sadar betapa pahitnya derita sengsara yang dialaminya semasa pendudukan Jepang. Mereka kembali pongah dan besar kepala melawan rakyat yang tidak bersenjata, tapi mereka juga lupa akan tekad dan sumpah “merdeka atau mati” dari seluruh bangsa Indonesia.

Kepala pemerintahan dan komandan militer kota Bukittinggi segera mengeluarkan pengumuan bahwa Belanda telah mulai menteror rakyat dengan kebiadabannya. Untuk itu kepada seluruh rakyat Indonesia yang cinta akan kemerdekaan supaya menyingkir ke luar kota, dan barang siapa yang berani menghianati perjuangan suci kemerdekaan itu akan digilas oleh revolusi bangsa sendiri. Kemudian oleh komandan militer Bukittinggi, seluruh proyek-proyek vital dibumi hanguskan demikian juga bagunan Hotel Merdeka juga dibumi hanguskan. Bukittinggi jadi lautan api. Rakyat merintih menahan sakit hati. Rakyat tidak meratapi kematian sanak saudaranya, tapi mereka meratapi kesengsaraan yang harus dilalui oleh Indonesia merdeka yang baru berusia tiga athun itu.

Perjuangan baru akan dimulai dan tidak tahu kapan akan berakhirnya. Aksi polisionil telah merobek-robek segala perjanjian. Belandalah yang akan bertanggung jawab di Mahkamah Internasional. Rakyat Indonesia cinta damai, . . . tapi mereka lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu dimana-mana diseluruh pelosok tanah air di kawasan Nusantara yang disebut oleh Belanda pada jaman dahulu sebagai “Nederland Indie” atau daerah Hindia Belanda itu, rakyat sekarang sedang diuji keampuhan dan kesanggupan dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah dikumandangkan sejak tanggal 17 Agustus 1945. Rakyat Indonesia bertekad bulat Merdeka atau mati.

Tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi musuh yang memiliki perlengkapan senjata serba moderen ini selain dengan mengadakan perang gerilya. Taktir mundur dan maju akan segera diatur. Oleh sebab itu biarkan saja kota itu untuk sementara dikuasai, tapi secara bertahap satu demi satu kota itu akan direbut. Belanda yang tersebar luas di seluruh kota akan kalang kabut nanti membagi tenaganya dalam menghadapi perang gerilya dari rakyat. Bangsa Indonesia tidak mungkin mengadakan perlawanan frontal secara terbuka, tapi taktik gerilya akan menghancurkan seluruh benteng pertahanan Belanda itu. Ini semua akan kita buktikan . . .

Setelah kota Buittinggi dapat diduduki oleh serdadu Belanda, berkat bantuan bomber dan mustangnya, rakyat menyingkir keluar kota, terutama derah-daerah yang dianggap aman dan ada persawahannya, karena bagaimanapun juga hebatnya perang namun perut tidak kenal kompromi. Justru itu penuh sesaklah Matur dan Palembayan oleh arus pengungsi. Para pengungsi ini tidak saja datang dari Bukittinggi, tapi juga berasal dari padang dan Padang Panjang. Ramailah Matur, padatlah palembayan oleh bangsa Indonesia yang ingin merdeka.

Rakyat Matur yang dikenal sebagai insan-insan perantau sekarang berada di matur. Ada yang pulang karena kehidupan dirantau tidak menguintungkan lagi. Ada yang pulang untuk berjuang dengan saudara-saudaranya. Ada juga yang pulang karena perhubungan dengan daerah rantaunya terputus, namun kesemuanya itu menjadikan negeri Matur yang elok permai itu tampak bergairah karena padat oleh penduduk dan pendatang. Jadilah daerah Matur sebagai daerah “basis” baik pemerintahan darurat maupun daerah militer.

Kepala Staf Sub Komando A, Letkol Abdul Halim yang lebih populer dengan sebutan bapak Aleng adalah putera Matur, kemenakan dari Angku Lelong Dt. Mangkuto Alam, sekarang mengatur siasat dan strategi perjuangan dalam mengembangkan perang gerilya. Jadilah Matur sebagai pusat gerilya.

Atas peristiwa penghianatan atas segala perjanjian oleh Belanda ini, serta peristiwa aksi polisionil Belanda 18 Desember 1948 yang merobek-robek jantung pertahanan republik Indonesia sangat menjengkelkan pihak militer, sekurang-kurangnya pihak Sub Komando A. Karena menurut uraian “bapak Aleng”, begitu pasukan republik siap tempur, oleh pemimpin politisi diadakan perundingan dan perdamaian. Jadilah siap tempur itu menjadi siap ditempat tidak boleh meletuskan senjata. Oleh karena kita rakyat republik Indonesia selalu menjunjung tinggi etika perjuangan dan tidak ingin menghianati perjanjian sekalipun dengan musuh, kita terpaksa menahan hati untuk tetap patuh. Oleh karena tidak ada perang maka oleh para pemimpin politisi Indonesia diadakan “Rasionalisasi Militer”. Banyak anak buah militer terkena B.III atau di pensiunkan. Maksudnya tidak lain karena alasan keuangan. Bukan hanya itu, karena perang tidak ada maka pasukan dikirim ke garis belakang untuk dilatih dan disekolahkan. Peristiwa ini pasti saja menguntungkan pihak musuh, dan pada saat yang menguntungkan musuh ini disaat itu mereka melancarkan serangan dengan membabi buta. Akibatnya kocar-kacirlah rakyat tanpa komando. Jadilah rakyat Indonesia sebagai bulan-bulanan peluru musuh. Selanjutnya kata bapak Aleng; “bila kita telah siap dengan segala konsolidasi dan siap tempur lagi maka pemimpin politik kebali berunding dan tiap perundingan pasti mempersempit daerah republik. Demikianlah halnya. Mula pertama garis demarkasi untuk kota Padang terletak dekat Tabing. Kemudian digusur akibat perundingan ke daerah Pasar Usang. Seterusnya ke Lembah Anai. Berunding dan perundingan ini pasti dilaksanakan oleh para pemimpin politik, sedangkan pihak militer tidak dimintai pertimbangannya”. Demikian antara lain keterangan bapak Aleng. Demikian juga halnya sewaktu pertumbuhan TNI. Setelah mengalami berbagai tempaan dan penderitaan lulus dalam berbagai cobaan dan dalam keadaan siap siaga, siap tepur, terdengar pula berita penghentian tembak-menebak. Kesemuanya itu menguntungkan pihak musuh.

Kembali kita ungkit kenangan lama setelah jatuhnya Bukittinggi ketangan Belanda. Pasukan republik menghindar ke luar kota pada umumnya mereka terpisah dari pasukan induknya. Justru itu merupakan kewajiban komandanlah untuk menyusun anak buahnya. Semua pasukan yang terkena B.III dipanggil kembali, demikian juga para pemuda yang sedia berkorban untuk tanah air tercinta untuk dididik dan dilatih. Oleh karena memanggil dan mengumpulkan serta mendidik pemuda itu memakan waktu, maka Matur untuk pertama kalinya mengalami cobaan. Darah para syuhada dan pahlawan telah megalir membasahi Matur ketika mendapat kiriman “houwetzer” dari Bukittinggi. Selama lebih kurang 3 jam tembakan houwetzer menghantam Matur. Maka tercatatlah korban jiwa yang mati pada saat itu seperti Mirin gelar Sutan Makmur, ‘wali nagari perang’ Matur Hilir, serta Nursyam satu kelaurga 9 jiwa putra Matur Hilir, dan lain-lain.

Kesemua korban houwetzer ini baru besoknya hari Sabtu baru dapat diselamatkan dan dikuburkan dimakam keluarga masing-masing. Perlu kita catat disini bahwa Mirin Sutan Makmur adalah putera daerah Matur yang sudah sejak lama, sejak masih pada jaman Belanda dengan gigih menantang penjajah. Beliau adalah orang pergerakan dari organisasi Muhammadiyah, yang sering ditangkap dalam rapat-rapat Muhammadiyah karena ucapan dan pidatonya dianggap merugikan pemerintah Hindia Belanda. Sewaktu berkumandangnya proklamasi, beliau terpilih sebagai Sekretaris Komite Nasional. Beliau pemuka masyarakat yang disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Mudah-mudahan darah beliau yang tertumpah di tanah persada ini akan merupakan dharma bakti transfusi darah jayanya Indonesia merdeka. Dan kepada Allah kita panjatkan do’a semoga seluruh amalan beliau diterima di sisinya. Juga untuk semua korban yang berjatuhan kita serahkan kepada Tuhan.

Perlu kita catat disini melihat akan perjuangan dan kegigihan Alm. Mirin Sutan Makmur selagi hayat dalam mewujudkan Indonesia merdeka, sewajarnyalah pemerintah daerah memberikan gelar kehormatan sebagai pahlawan daerah. Demikian juga sampai sekarang kuburan beliau tidak terawat sebagai layaknya karena keluarga beliau bukanlah orang berpunya. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya ? . . .

Setelah hantaman houwetzwer ke Matur yang memakan korban harta benda dan jiwa, sedangkan pasukan republik belum terkoordinir sebagaimana diharapkan, kembali mengaum dua buah “mustang cocor merah”. Rupanya pasukan udara mengiringi pasukan daarat menuju Matur. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 14 Juli 1949. Maka untuk pertama kalinya terjadilah bentrokan senjata antara pasukan republik yang tidak berpengalaman dengan serdadu Belanda yang berpengalaman dan senjata lengkap serta terlatih di jalan sempit Parit Panjang. Maka tercatatlah dalam peristiwa ini seorang pemuda bernama Udin Tirai mati dalam mempertahankan kemerdekaan.

Kemudian serdadu Belanda ini meneruskan perjalanannya yang dikawal melalui udara menuju Matur. Disinipun terjadi bentrokan senjata dengan seorang “Pemuda Barisan Rakyat Sukarela” bernama Husin. Jatuhlah korban untuk hari itu dua orang pemuda yang gagah berani. Mereka telah membuktikan “merdeka atau mati”. Pasukan kita bukan saja sulit dalam menghimpun kekuatan karena jatuhnya Bukittinggi tapi juga mengalami kesulitan karena daerah terpencar-pencar tanpa penghubung antara satu daerah dengan daerah lainnya kecuali harus melalui hutan belantara akan memakan waktu yang cukup panjang, dalam keadaan masih mengatur atau menghimpun kembali Belanda menyerang Matur, yang tiap kedatangannya pasti diiringi dengan pesawat udara untuk melindungi pasukan darat. Untuk kedua kalinya terjadi pertempuran yang bisa disebut dengan sabotase dari pasukan republik di daerah Parit Panjang, yang mengakibatkan gugurnya seorang pemuda bernama Harun Sutan Pamenan.

Setelah Belanda berhasil membunuh Harun Sutan Pamenan, pasukan republik segera disiapkan bila nanti pasukan Belanda kembali ke Bukittinggi. Belanda pasti mengira bahwa di Matur tidak ada pasukan republik karena memang sengaja dikosongkan, dengan perhitungan nanti bila Belanda kembali oleh karena tidak ada perlawanan pasti mereka tidak dikawal dari udara. Nah kesmepatan inilah yang ditunggu oleh pasukan republik. Tapi sayangnya rencana ini tercium oleh Belanda. Mereka kembali ke Bukittinggi tidak melalui Parit Panjang yang telah disiapkan tapi mereka terus berjalan melalui Air Sumpu terus ke Panorama Baru, Pembidikan dan terus ke Kampung Pulasan. Sedangkan pasukan republik tetap siaga menanti orang yang tiadakan datang. Dalam perjalanannya ke Bukittinggi, Belanda sempat menangkap dua orang petani yaitu Mustafa gelar “Rang Kayo Mudo” dan Labai Kuna “Datuak Indo Marajo”. Dibawah todongan senjata dua petani ini terpaksa menunjukkan jalan ke Kurai.

Berdasarikan perhitungan strategi dan menghindarkan korban dari rakyat, maka kalau tadinya front boleh dikatakan di Parit Panjang maka sekarang front diperpanjang ke daerah Sungai Tanang di Durian. Di situ selalu terjadi perang kecil-kecilan. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan kemampuan senjata oleh pasukan republik, hingga pada suatu saat terjadilah pertempuran yang sangat hebat di daerah Koto Tuo. Pertempuran ini berkobar karena pasukan Belanda tidak dikawal oleh pasukan Udara. Areal pertempuran di alam terbuka ini menghendaki keberanian dan kemahiran. Pemuda Syofyan Tando putera daerah Matur Hilir bekas Hei Hoo memimpin pertempuran yang dinilai sangat hebat ini, yang berakhir dengan kematian pemuda Syofyan Yando. Sedangkan dipihak Belanda tewas 5 orang. Disamping kita bangga dengan Syofyan Tando, tapi kita kehilangan seorang pemuda yang gagah perkasa. Mereka telah pergi denga tekad ‘merdeka atau mati’.

Melihat kenyataan stand 1 – 5 ini Belanda kembali melancarkan serangan. Sekarang dengan dikawal oleh pasukan udara, dengan deikian Belanda berusaha terus untuk maju ke Matur. Namun dalam perjalanan Belanda selalu mendapat hadangan yang hebat dari pejuang-pejuang republik. Tiada sedikit korban di pihak Belanda walaupun mereka dikawal oleh “musttang cocor merah “, tapi seangat dan ala Matur memberikan dorongan kepada pasukan republik. Pertempuran sepanjang hari yang dimulai dari daerah Balingka terus sepanjang jalan, akibatnya tiap bangunan sepanjang jalan Panta, Pauah, Parit Panajng habis dibakar oleh Belanda. Pertempuran berkecamuk di Parit Panjang. Seorang pemuda Matur Hilir bernama Adnan Ilyas dari pasukan ‘Mobrig’ mati tertembak musuh. Oleh karena korban Belanda sangat banyak dibanding dengan pasukan republik maka mayat Adnan Ilyas digantung dan dibakar oleh Belanda. Inilah perang yang menghendaki pengorbanan yang tiada batas. Walaupun musuh telah mati namun dendam meraja lela dalam angkara murka penjajah Belanda. Demikian selanjutnya Belanda melanjutkan perjalanan menuju Matur, setiap jalan tiap bangunan akan jadi sasaran pembakaran oleh Belanda yang telah kematian banyak serdadunya itu.

Tatkala memasuki Matur Belanda boleh dikatakan tidak menemui perlawanan. Matur sengaja dikosongkan karena kuatir bila terjadi pertempuran di Matur maka sasaran yang akan menjadi korban tidak lain adalah rakyat. Disamping itu juga mengingat akan rapatnya rumah penduduk, jangan-jangan nantinya semua rumah penduduk itu akan jadi sasaran pembakaran. Namun Belanda yang sudah banyak kehilangan serdadunya sepanjang jalan menuju Matur telah kehilangan pertimbangan serta bertindak membabi buta saja. Akibatnya jadilah Matur sebagai lautan api. Semua bangunan rakyat yang dibangun dengan susah payah pada waktu berakhirnya tanaan paksa dan dengan uang bantuan dari wesel pos, sekarang telah rata dengan bumi akibat dibakar oleh serdadu NICA yang telah kehilangan akal.

Disamping itu Belanda juga membakar bangunan pesanggerahan yang dibangun oleh jenderal Van De Bosch, diperkirakan semua bangunan yang dibakar oleh Belanda sejak dari Panta, Pauah, parit Panajng, Kampuang Tingga, dan di sekeliling pasar matur tidak kurang dari 120 buah bangunan rumah. Jadilah Matur bagai dikalahkan garuda. Rakyat tafakkur dan bermohon kepada Tuhan semoga diturunkan bantuan serta diberi kekuatan moral dalam mewujudkan Indonesia Merdeka.

Dengan hebatnya kesedihan yang melanda Matur, namun rakyat tetap yakin bahwa perjuangan Indonesia merdeka pasti akan tercapai. Rata semua bangunan oleh api bukanlah melemahkan perjuangan, justru menebalkan iman mereka untuk meneruskan perjuangan itu. Semua rakyat yang rumahnya telah terbakar atau yang tidak sempat dimamah api di sekeliling pasar Matur menyingkir ke kampung-kampung untuk selanjutnya memulai usaha perjuangan.

Melihat Matur telah jadi lautan api dan sekarang telah rata dengan bumi, pihak militer sub komando A menjadikan daerah Pasar atur sebagai Staf Kwartir. Semua pasukan telah selesai di konsolidasi. Semua kekuatan telah tersusun. Jika selama ini kita semua bersifat menanti, maka sekarang diatur siasat mengadakan serangan offensif ke daerah musuh. Front tidak lagi berada di sepanjang jalan antara Matur dan Sungai Tanang, tapi harus berada dalam kota Bukittinggi itu sendiri. Pasukan-pasukan yang bermarkas di Matur telah diatur dan diberi asrama. Bermacam nama dan jenis senjata mereka. Ada Kompi Barayun, Kompi Singgalang, Kompi Gajah Mada, kompi Tundra, Kompi Bakapak serta banyak lagi barisan yang siap bertempur menunggu komando. Inilah hasil konsolidasi. Belanda jangan coba-coba lagi untuk datang ke Matur. Pasukan republik sekarang telah mempunyai senjata berat dan sanggup untuk bertempur dalam keadaan bagaimanapun.

Analisa Jenderal Spoort untuk menghancurkan republik Indonesia dalam tempo tiga minggu adalah khalayan belaka, malah makin hari tentara republik makin sepurna dan makin berkembang. Belanda yang berada dalam kota bagaikan berada dalam bara panas yang sewaktu-waktu dan setiap saat jiwa mereka terancam. Berkali-kali Bukittinggi dapat serangan, baik siang maupun malam hari dari berbagai jurusan. Inilah hasil konsolidasi dari Divisi IX Sub Komando A, yang kepala stafnya adalah bapak Aleng putra daerah Matur Hilir.

Belanda yang berada di Bukittinggi ini akhirnya mengetahui juga bahwa kekuatan militer di Sumatera Tengah berpusat di Matur, justru itu mereka berkali-kali mengadakan serangan ke Matur. Tapi semau serangan itu dapat dipatahkan dalam perjalanan dan berkali-kali pula mereka melakukan bombardemen dengan pesawat udara ke Matur, namun rakyat sekarang telah terlatih dan terbiasa bagaimana cara menyelamatkan diri dari mitraliur. Boleh dikata hampir setiap hari Matur mendapat serangan dari udara. Otomatis Matur harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Pasar tempat pedagang berjual beli sekitar Matur sekarang selalu berpindah-pindah, tidak lagi menetap di suatu tempat. Minggu sekarang pasarnya di daerah Surau Luar, minggu berikutnya pindah ke Labuang, demikian seterusnya pasar yang diramaikan tiap hari Kamis itu selalu berpindah-pindah dari parak yang satu ke parak yang lain. Rakyat dapat mengikuti perkembangan ini dengan senang hati, tapi mereka tidak kuatir lagi akan serangan pasukan darat serdadu Belanda. Rakyat yakin pasukan republik Indonesia akan mampu menghadapi tiap serangan dari Belanda.

Selama Clash ke II atau Agresi ke II yang dimulai pada tanggal 18 Desember 1948 yang mana mulai pada saat itu para pemimpin yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Inyiak Agus Salim dapat ditawan oleh belanda di Jogyakarta, sedangkan Syafruddin Prawiranegara, SH yang pada saat itu berada di Sumatera Barat langsung memimpin perjuangan rakyat dengan nama PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) yang berpusat secara berkeliling, terutama di daerah Koto Tinggi Suliki, Sulit Air, Sumpur Kudus. Juga Matur merupakan tempat berkumpul banyak pemimpin yang dicintai rakyat.

Matur yang merupakan puing-puing kebakaran selalu ramai dikunjungi oleh pemimpin bangsa Indonesia karena rakyatnya sungguh-sungguh dalam membaktikan dirinya pada Indonesia merdeka. Walaupun penghidupan boleh dikata makan nasi sekali sehari, dan bahkan ada yang makan nasi sekali tiga hari, namun bila kedatangan pemimpin mereka rela memberikan apa saja demi untuk keselamatan dan kesenangan pemimpin yang mereka cintai.

Selama Agresi ke II ini Matur hanya 3 (tiga) kali dapat dimasuki oleh Belanda, itupun mereka tidak berani bermalam. Tapi kedatangan mereka yang tiga kali itu telah menewaskan 5 pemuda harapan bangsa, sedangkan yang korban dalam tembakan houwitzer sebanyak 10 jiwa, dan tidak dapat dihitung pengorbanan harta benda, baik yang dirampas oleh serdadu Belanda maupun pengorbanan atas pembakaran rumah mereka.

Peringatan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1949 di lapangan hijau Matur, seluruh pasukan yang berada dibawah Sub Komando A telah mengadakan demonstrasi kekuatan senjata. Pada saat itulah rakyat dapat melihat betapa anggun dan agungnya pasukan Tentara Nasional Indonesia . Baru 4 tahun Indonesia merdeka, namun mereka telah punya perlengkapan senjata otomatis. Rakyat bangga akan kemampuan tentara mereka dan rakyat yakin paling lambat pada tahun 1950 ibu kota Sumatera Bukittinggi akan dapat direbut kembali dari NICA Belanda.

Rakyat yang tadinya merasa linglung ketika Bukittinggi dapat direbut oleh Belanda sekarang bagaikan sekuntum bunga yang layu dapat siraman air hujan. Mereka kembali mendapat kepercayaan, bahwa Indonesia merdeka itu bukanlah merupakan impian saja lagi, tapi sudah dapat dipastikan kemerdekaan itu pasti tiba. Coba saja bayangkan yang telah berkali memasuki Matur sekarang tidak punya kemampuan lagi, kendatipun para serdadu ini dikawal oleh dua pesawat mustang, namun mereka tidak sanggup lagi menerobos benteng pertahanan TNI.

Memang disana-sini pada jaman revolusi itu akan terjadi beberapa kekeliruan dan kesalahan hukum. Umpamanya, bila pesawat udara musuh sedang berada di udara, oleh seseorang yang rajin mencatat kedatangan tiap pesawt itu, pasti dihubungkan dengan melihat jam tangan, dengan mengangkat lengan sebatas siku. Nah, dengan mengangkat lengan sebatas siku ini dengan mudah dapat di intimidasi dengan meng-kode pesawat yang di udara. Maka berlakulah hukum revolusi. Dibunuh dengan belek atau pisau tumpul. Revolusi dan hukum dalam masa perang memang aneh. Juga bila ada orang yang secara tidak sengaja atau bertepatan waktunya memutar-mutarkan tongkatnya, sedang deru pesawat terbang terdengar pula, maka si pemutar tongkat ini disebut dan dihukum seperti spion musuh, dan bila tuduhan ini diperkuat pula dengan saksi-saksi, jangan diharap akan hidup lagi.

Perlu juga dicatat disini, disamping rakyat bangga dengan kekuatan senjata militer mereka, juga mereka bangga akan kemampuan mengacau pasukan musuh sampai-sampai ke jantung kota dan ke dalam barak-barak musuh, tiap malam sering terjadi bentrokan senjata dalam kota Bukittinggi. Demikian pula pada siang hari, pemuda Pado Api, putra daerah Lurah Taganang membawa oleh-oleh telinga dan telunjuk Belanda dan pada hari berikutnya ada pula yang membawa mata Belanda. Ini semua adalah hukum revolusi, kendatipun musuh itu sudah mait, toh masih di sakiti lagi dengan memotong bagian dari tubuh musuhnya dan potongan itu dibawa dan diberikan kepada seseorang sebagai kenangan, dan juga sebagai oleh-oleh dari kota.

Kebanggaan rakyat bukan hanya sekedar ucapan, tapi juga diiringi dengan perbuatan. Mereka dengan segala senang hati menjamu tentaranya, juga mereka dengan senang hati meberikan bantuan, baik berupa makanan maupun pakaian.

Demikianlah Matur dari masa ke masa selalu terkenal akan keramah-tamahannya, kendatipun kehidupan pribadinya selalu kekurangan, namun dalam perjuangan dalam menuju Indonesia merdeka mereka rela berkorban, bila saja, dan apa saja. Oleh sebab itu walaupun Matur dipenuhi dengan para pengungsi dari kota, tidak akan kita dengar ada orang mati kelaparan. Ini semua berkat adanya pengertian dari anggota masyarakat dan tingginya kesadaran mereka antara sesama manusia.

Perlu juga kita catat disini, bahwa sejak jaman pendudukan Jepang rakyat sudah terbiasa memakai baju goni atau baju kulit kayu yang disebut tarok. Demikian juga halnya pada jaman revolusi 1945 s/d 1949 rakyat sudah tidak asing lagi dengan dua jenis pakaian tadi, tapi mereka tidak merasa rendah diri, juga tidak melunturkan semangat juang mereka.

Matur telah memberikan apa yyng ada pada mereka, baik harta, benda, maupun darah putera mereka yang gugur sebagai kusuma bangsa. Indonesia telah merdeka, mereka sekarang menanti dengan penuh harap, apakah merdeka itu di iringi dengan kemakmuran dan kebahagiaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Semoga sekali merdeka tetap merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar