Minggu, 11 Maret 2012

VI. BELANDA SEBAGAI PENJAJAH

Berkali-kali Kaum Adat meminta bantuan kepada Kompeni untuk membantunya perang menghadapi Kaum Agama, yang pada mulanya Belanda enggan untuk membantu Kaum Adat ini dikarenakan kekuatan dan jumlah serdadu mereka tidak seberapa. Tetapi setelah kaum adat berjanji untuk menyerahkan Minagkabau kepada Belanda, maka pemerintah Belanda di Batavia memperkenankan permohonan Raja Tangsir Aam dan Sutan Kerajaan Alam dan kepada residen Du Puy diberi kuasa untuk membantu Kaum Adat. Tercatatlah dalam sejarah diawal tahun 1820 Tuanku Saruaso kakak beradik dengan 14 orang penghulu menandatangani perjanjian dengan Belanda menyerahkan Minangkabau kepada Belanda. Akibatnya pertempuran menjadi meluas. Kaum Agama bukan saja menghadapi kaum adat tapi juga menghadapi serdadu Belanda. Berkecamuklah perang yang disebut dengan Perang Paderi. Tercatatlah nama Tuaku Imam Bonjol sebagai pemimpin paderi yang gagah berani. Tercatatlah nama Nagari Alahan Panjang dan Bonjol sebagai tempat bertahan paling tangguh selama perang yang berkobar selama tidak kurang dari 35 tahun.

Perang berlarut-larut ini menjadikan pemerintahan Hindia Belanda mengakui akan ketangguhan rakyat. Para opsir dan jenderal serta gubernur dan residen telah silih berganti, namun pemimpin paderi tetap itu ke itu juga. Demikian juga dengan laskarnya, tapi semangat dan perlawanan mereka tidak pernah terkalahkan. Pertahanan paderi sulit ditembus.

Letnan jendral Van De Bosh yang telah diangkat sebagai mentri jajahan dalam suratnya kepada Raja Wilhem mengakui dengan jujur bahwa perang saudara di Sumatera telah mengajarkan kepada penduduk untuk membuat benteng yang tangguh akan gempuran dari meriam. Benteng mereka terbuat dari tanah saja dan dibela dengan api senapan yang kurang kualitasnya, namun sangat sukar untuk dijatuhkan.

Setelah menteri jajahan Jenderal Van De Bosh memperhatikan perlawanan rakyat, maka ia memilai taktik baru dengan “sistem teritorial”. Satu demi satu daerah dilumpuhkan, bila perlu dipakai taktik berunding, semenrtara berunding daerah yang dituju dikepung. Demikian pula halnya tatkala merebut Matur dari tangan Paderi. Pemuka-pemuka masyarakat dan Kepala Pasukan Paderi yang ada di Matur sedikitpun tidak menyangka akan terjadi penyerbuan yang tiba-tiba ini, sebab mereka mengira bahwa perundingan masih berjalan dengan pemimpin mereka. Oleh karena ketiadaan pemimpin maka dengan mudahnya pasukan paderi di Matur dikalahkan.

Pemuka-pemuka masyarakat yang merasa dirinya tertipu dengan akal licik Belanda ini segera mengundurkan diri ke Lawang Tuo dan Andaleh. Kemudian dari sini mereka mengatur serangan balasan. Mereka membuat benteng di sebelah utara Batang Lawang. Terjadi pertempuran hebat yang memakan korban yang tidak sedikit di kedua belah pihak. Untuk memancing pasuka paderi yang bertahan di seberang Batang Lawang ini pasukan Belanda membakar habis semua bangunan dekat Surau Jaruang, suatu perkampungan sebelah timur Btang Lawang. Habislah kampung ini dimakan api, disia (dibakar) oleh Belanda. Itulah mulanya kampung tersebut dinamakan “Matur Tasia”, atau kampung yang dibakar, dibakar oleh Belanda.

Pertahanan paderi ke arah barat an Agam tuo sangatlah sulit untuk ditembus atau dikuasai oleh Belanda. Berminggu minggu pertempuran tiada hentinya, sehingga rakyat di sekitar Matur menamakan orang-orang atau pasukan paderi yang bertahan diseberang Batang Lawang itu dinamakan daerah perperangan. Lama-lama jadi “paparangan” hingga sekarang kampung tersebut jadi sebuah Jorong dengan nama Jorong “Paparangan”. Baik Kampuang Tasia maupun Paparangan masing-masingnya berstatus Jorong yang terletak di kanagarian Matur Hilir.

Setelah Matur dan kampung-kampung di sekelilingnya telah sikuasai oleh Belanda, mereka mulai menjalankan politiknya dengan segala kekerasan. Politik “Devide et Impera” jalan terus. Semua rakyat dikenakan Wajib Rodi untuk membuat jalan ke Taruian dan Palembayan untuk mendekati Bonjol. Rakyat juga membuat jalan ke Fort de Cock / Bukittinggi. Enam puluh enam (66) hari dalam setahun di untukkan hidup untuk berodi. Belasting harus pula dibayar. Matur yang non agraris diharuskan pula memiku tanggung jawab yang berat. Disamping itu rakyat Matur diharuskan pula untuk membawakan amunisi dan perlengkapan perang lainnya ke Palembayan, terus ke Bamban, Sipisang untuk merebut Bonjol. Apa boleh buat, 10 September 1932 adalah merupakan tonggak sejarah bagi Matur, terpaksa bertekuk lutut kepada Belanda.

Setelah Matur dan kampung-kampung disekitarnya benar-benar telah aman dan takluk kepada Belanda maka peraturan pajak baru yang diundangkan oleh Jenderal Van De Bosch pada tahun 1830 segera diterapkan di Matur dan sekitarnya. Sekitar tahun 1835 Matur menerapkan politik pajak baru atau politik “Cultuur Stelsel”, atau yang dikenal dengan politik “tanam paksa”. Dalam peraturannya dijelaskan bahwa seperlima dari tanah rakyat diharuskan menanam tanaman tua seperti kopi, casiavera, tebu, coklat, dan tembakau, dan bagi mereka atau rakyat yang tidak punya tanah diwajibkan menggantinya dengan kerja rodi membuat jalan selama 66 hari dalam setahun. Dalam prakteknya sering terjadi dan malah seperti disengaja, kalau dalam peraturan berbunyi seperlima dari tanah rakyat harus ditanami tanaman tua, pada prakteknya hampir seperdua dari tanah rakyat harus ditanami sesuai dengan kemauan Kontereleur .

Matur dalam menghadapi masa peralihan ini terpaksa tidak banyak cingcong. Semua tanah ditanami dengan kopi, casiavera, coklat, demikian juga tebu dan tembakau. Tiada pilihan lain. Air sebagai sumber pengairan tidak ada pula. Akibatnya seluruh parak-parak mereka ditanami saja dengan kopi, dengan suatu pengharapan semoga buahnya nanti akan mendatangkan hasil. Tapi betapa pilunya perasaan rakyat tatkala panen kopi telah mengalir ke pasaran, tidak boleh dijual begitu saja. Semua hasil kopi, gula, tebu, tembakau, casiavera harus dijual kepada Belanda. Dijual menurut harga yang telah ditentukan. Rakyat tidak berhak atas jerih payahnya. Jual beli dengan harga yang patut oleh peraturan adat tidak berlaku bagi Belanda.

Bukan hanya sekedar itu. Rakyat pribumi jangan coba-coba untuk merendang sendiri buah kopinya. Hidung-hidung “kaki tangan” Belanda setiap hari hilir mudik, keluar masuk kampung mencium kalau-kalau ada rakyat yang menumbuk kopi atau rakyat yang berani membuat kopi, pasti ditangkap saat itu juga dan di kirim ke pusat-pusat kerja paksa untuk membuat jalan atau membawa perlengkapan perang dan tidak jarang pula dijadikan ujung tombak dalam menghadapi kaum paderi bonjol.

Walau buah kopi, gula, tembakau dan casiavera telah mengaroma ke jagat raya ini, namun penduduk pribumi tetap menderita. Mereka boleh menanami tiap jengkal tanahnya, tapi mereka tidak berhak untuk menikmati buahnya. Dan walaupun rakyat ingin meminum atau sekedar mencoba nikmatnya kopi silahkan mengambil daunnya. Daun kopi ini diatur dan dikeringkan diatas pagu atau didiang sampai kering. Setelah kering daun kopi tersebut dibuat bagai daun teh. Hanya itu yang bisa dinikmati oleh kaum pribumi, hingga pada saat itu lahirlah istilah “melayu kopi daun”. Memang rakyat pribumi hanya boleh minum daun kopi. Peristiwa ini berjalan puluhan tahun lamanya. Menurut nukilan sejarah Indonesia karangan A. Moeis dan Maisir Thaib bahwa sistem cultuur stelsel ini mulai diundangkan pada tahun 1830 dan berlakuk sampai tahun 1905.

Jatuhnya Bonjol berarti berakhir pulalah perlawanan Paderi, apalagi setelah pahlawan gagah perkasa Tuanku Imam Bonjol dapat ditangkap pada saat perundingan di tahun 1838, tiada lagi rintangan bagi Belanda atau Kompeni untuk memaksa rakyat untuk melaksanakan segala macam peraturan.

Kaum adat yang pada mulanya mengundang dan menyerahkan Minangkabau kepada Belanda yang akhirnya menjadi penjajah merasa menyesal dan makan hati melihat anah buah atau anak kemenakannya dipaksa sebagai kuli untuk membuat jalan. Mereka mengutuki Belanda sebagai yang tidak tau berterima kasih. Tapi apa hendak dikata semua telah terlambat. Syukurlah dalam hal ini akibat dari rasa senasib dan sepenanggungan ini menimbulan rasa sekaum dan sekerabat, timbullah rasa kebangsaan bahwa suku Minangkabau itu apakah dari golongan agama maupun dari golongan adat adalah bersaudara, sama-sama turunan Sri Maharajo Dirajo.

Setelah “rasa air kepimbatang” dan “rasa minyak ke kuali” kaum adat dan agama berbimbing bahu untuk membangun sawah, sama-sama meneruko, membuat tali banda berkilo kilo meter panjangnya melalui pinggang pinggang ngarai serta membuat hulu banda secara primitif tanpa menggunakan semen. Semua pekerjaan itu selesai dan sampai sekarang masih tali bandar itu juga yang dimanfaatkan. Tidak terbuat dari beton, tidak mengenal semen tapi tidak terkalahkan oleh musim. Inilah keistimewaan buatan orangtua kita dulu. Semua pekerjaan ini mereka laksanakan setelah mengalami duka sengsaranya sebagai anak jajahan.

Memperhatikan hasil tanaman tua seperti kopi, tembakau, dan gula tebu itu harus dijual kepada Belanda atau Kompeni menurut harganya yang telah ditentukan oleh Belanda tidak mungkin mendatangkan keuntungan atau kesenangan bagi anak kemenakan mereka, dikemudian hari, baru timbullah jiwa kegotong royongan antara kaum adat dan kaum agama. Dimanapun tanah walaupun di atas bukit jauh dari permukaan air mereka jadikan sawah. Akbatnya mereka harus membuat tali bandar dari sumber air yang sangat jauh. Ini semua mereka lakukan untuk kebahagiaan anak kemenakan mereka dikemudian hari. Melihat kekompakan kaum adat dan kaum agama ini timbul juga keguncangan dalam tubuh pemerintaha Belanda. Untuk itu mereka berusaha untuk memecah persatuan ini dengan mengangkat beberapa pegawai yang ditugaskan untuk meneliti tanah-tanah yang subur sebagai perkebunan kopi, tembakau, tebu, dan lain-lain tanaman wajib. Kemudian rakyat tidak dibenarkan membuat persawahan melebihi waktu dari bertanam tanaman keras dengan arti, tugas pokok rakyat adalah menanam tanaman tua yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Untuk memungut pajak dan kelancaran pengawasan dari hasil tanaman tua ini, pemerintah mengangkat beberapa orang pegawai yang berasal dari penduduk pribumi yang penjilat. Mereka diberi gaji dari hasil pungutan. Semakin banyak dapat dipungut semakin besar gaji yang diperolehnya. Dengan demikian mereka berusaha untuk memperbesar cultuur stelsel dengan berbagai cara. Dalam sejarah Indonesia karangan A. Moeis dijelaskan benar sebagai berikut :

  1. Rakyat harus menyediakan seperlima dari tanahnya untuk ditanami tanaman keras sebagai tanah pemerintah, tapi dalam prakteknya sering terjadi lebih separoh tanah rakyat dikuras untuk itu

2. Mengerjakan tanah untuk tanaman keras ini harus didahulukan dari turun ke sawah

3. Harga penjualan ditentukan oleh pemerintah. Rakyat tidak dibenarkan menjual selain dari kepada Belanda atau Kompeni.

Disamping mereka harus mengolah tanah untuk kepentingan ultuur stelsel ini mereka diwajibkan untuk berodi membuat jalan dan jebatan untuk kepentingan pemerintah, kemudian dibebani pula dengan belasting atau pajak lain seperti pajak tanah, pajak rumah, dan segala macam pajak kekayaan. Akhirnya semua peraturan ini menyengsarakan rakyat, karena mereka tidaklagi beroleh kesempatan untuk mengerjakans awah. Sebaliknya pemerintah Belanda dapat mengorek keuntungan berjuta-juta Gulden untuk membangun negerinya yang selalu terendam air. Rotterdam dan Amsterdam adalah dua buah kota yang termashur di dunia karena kota ini berasal dari kota yang di dam. Pada dasaranya kedua kota ini dibangun berdasarkan cucuran keringat bangsa Indonesia jua.

Kesengsaraan tindih bertindih ini, banyak dari pemuka-pemuka masyarakat berniat untuk meninggalkan kampung halaman, bukan mereka tidak sanggup menderita tapi mereka tidak sanggup lagi melihat anak kemenakannya didera kesengsaraan dan kelaparan. Sedangkan mereka sebagai mamak atau “tungganai” kaum tidak dapat berbuat atau melepaskan mereka dari tekanan hidup ini, justru itu timbul niat untuk merantau tapi apa daya ilmu kurang pengajaran tidak, dengan apa akan diharungi penghidupan di rantau orang ?. Tapi apa boleh buat, daripada berputih mata lebih baik berputih tulang, daripada meilhat dan menanggungkan kesengsaraan sepanjang tahun lebih baik lorek dari negeri sebagai kata pantun mereka :

Karantau madang dihulu

Babuah babungo balun

Marantau kami dahulu

Daripada barodi sapanajng tahun

Belanda sebagai penjajah memang telah berhasil membangun negerinya, tapi meninggalkan sengsara yang amat sangat bagi anak jajahannya. Salahkah bila anak negeri untuk melanglang buana di jagad maya ini demi kebebasan . . . ?

Kesengsaraan yang menimpa penduduk pribumi yang sangat menyedihkan ini, Baron Van Hoevell bekas pendeta di Betawi, menyerang aturan tanam paksa ini dalam parlemen Belanda, bahwa Belanda sebagai penjajah hanya berfikir secara sepihak tanpa memikirkan nasib rakyat pribumi. Demikian juga Douwes Dekker bekas asisten residen Lebak, mengarang sebuah buku yang berjudul “Max Havelaar”. Ia mengupas secara panjang lebar buruknya sistem cultuur stelsel ini, baik ditinjau secara ekonomi maupun secara sosial politik. Nama Belanda akan hancur di mata dunia sebagai Exploatation De lhom Parlom. Manusia adalah serigala atas manusia.

Atas keberanian Baron Van Hoevell dan Douwes Dekker yang memakai nama samaran Multatuli itu, pemerintah Belanda merobah dan meninjau kembali peraturan cultuur stelsel, dengan mengadakan beberapa perobahan seperti, tanam paksa atas tebu, tembakau, merica, dan nila dicabut kembali, sedangkan tanam paksa atas kopi tetap berjalan sebagaimana sebelumnya. Malangnya nasib rakyat Matur yang telah ditetapkan sebagai penanam kopi, berarti mereka akan menderita sepanjang tahun. Selagi Belanda juga yang memerintah maka akan selam itu pula penderitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar