Minggu, 11 Maret 2012

VIII. MATUR BERBENAH DIRI

Setelah berakhirnya atau dicabutnya sistem pajak cultuur stelsel pada tahun 1905, Matur mulai berbenah diri dari segala segi, baik pendidikan, kesehatan, pengairan, pembangunan pasar, dan lain-lain keperluan demi untuk anak kemenakan semuanya mereka laksanakan secara bergotong royong tanpa mengharapkan imbalan jasa, baik atas tenaga maupun atas waktu yang dipergunakan.

Menurut cerita, sewaktu mendirikan rumah gadang Tuanku Lareh Sirah Mato, seluruh rakyat Matur bahkan rakyat luar pun datang untuk mengadakan pesta menghela kayu dari Data Munti dan Data Buayan. Berhari-hari bahkan bermingu-minggu pekerjaan ini dilaksanakan, berpedati pedati lepat/limping untuk para pekerja. Dan untuk menimbulkan semangat untuk bergotong royong ini diadakan berbagai macam permainan rakyat. Pada malam hari mereka “berandai” dan “bersaluang dan pada saat pesta menghela kayu menabuh “tansa” ditambah dengan “puput liolo” batang padi dan “puput tanduk”. Semua anak buah Datuk Mangkuto Alam bertindak sebagai “sipangka”, sedangkan rakyat Matur Hilir, Matur Mudik, dan Parit Panjang bertindaj sebagai pembawa semangat untuk membangun Rumah Adat Kelarasan Budi Chaniago anak Datuak Mangkuto Alam.

Masyarakat bukan hanya sekedar membangun rumah gadang saja yang bergotong royong tapi hampir mencakup segala bidang. Bergotong royong membangun mesjid, surau, langgar, membuat tali banda dan manaruko sawah, semua dilaksanakan dengan penuh semangat dan di dorong oleh hati nurani yang luhur. Mereka membuat bukan mengharapkan upah, semua diberikan sebagai tandanya anak kemenakan tidak berubah.

Bukan hanya sekadar mengejakan yang berat-berat saja kegotong-royongan ini mereka pergunakan, malah waktu turun ke sawahpun mereka bergotong royong. Demikian tingginya kesadaran mereka pada saat mereka akan pergi ke sawah, bajak dipikul di pundak, ternak kerbaupun mereka hela melalui pematang sawah orang lain. Oleh karena sudah dua tiga kali lalu di pematang sawah orang lain kebetulan pula sawah ayng pematangnya dilalui ini membajak atau menyikat, maka si pembajak dan ternak tadi dengan sukarela tanpa diminta ikut pula turun ke sawah orang iru, memberikan bantuan sekedar sejam dua, ataun membajakkan sawah orang itu sepiring dua. Setelah itu baru dia pergi untuk membajak sawahnya.

Demikian pula saat panen, menyabit dan me-irik padi, orang tidak perlu dipanggil dan sangat tabu bila minta tolong pada orang lain. Dan bukan hanya sekedar itu, meminta tolong pada orang lain pada saat memotong padi bisa menjadikan hasil panen berkurang. Mereka ke sawah cukup sekeluarga saja, tapi mereka akan membawa makanan dan nasi melebihi yang semestinya. Bila sekeluarga yang memotong itu 10 orang, mereka akan membawa makan dan nasi untuk 3 orang, sebab sudah merupakan hal yang biasa dan larang pantang untuk memberi tahu orang lain sewaktu akan memotong padi. Sebaliknya orang-orang yang lewat di pematang sawah yang sedang menyabit itu pasti singgah kemudian ikut pula mengerjakan sawah yang diperbuat oleh si empunya sawah. Bukan sekedar orang yang lewat di pematang sawah yang menyabit itu saja yang singgah tapi dari sawah bersebelahan akan turut pula membantu, tanpa diminta dan juga tidak dilarang. Oleh sebab itu si empunya sawah harus tahu untuk melebihi membawa bekal ke sawah.

Jika turun ke sawah sampai panen boleh dikata dilaksanakan dengan gotong royong secara diam-diam atau gotong royong tanpa mysyawarah, lain halnya pada saat memperbaiki tali bandar dari sawah sampai ke hulu yang pada umumnya dilaksanakan sekali setahun padi, ini semua dilaksanakan secara gotong-royong atas perintah Inyiak Palo (wali nagari) melalui canang yang disorakkan pada malam hari, bahwa orang-orang yang bersawah memakai tali banda, besok semua harus bergotong royong untuk memperbaiki tali banda itu. Dan bagi mereka yang tidak mengindahkan panggilan canang untuk bergotong royong itu pada hari itu juga dipanggil oleh opas Inyiak Palo dan si terpanggil pasti akan mengalami perintah kerja yang lebih berat . Oleh karena itu lahirlah istilah dari masyarakat banyak Jikok dituruik sagadang rantiang, bilo indak di turuik sagadang bantiang (sapi)”.

Dengan sangsi-sangsi hukum yang demikian tidak ada perintah Inyiak Palo yang tidak di laksanakan. Memang berat resiko yang ditimbulkan, tapi apapun alasan yang diberikan perintah Inyiak Palo ini bukanlah utuk kepentingan orang lain tetapi untuk kepentingan orang banyak, dalam hal ini termasuklah dirinya sendiri. Namun demikian apabila disebut gotong royong banda dan jalan, rakyat apalagi atas perintah Inyiak palo, pasti semua orang akan turun memberikan dharma baktinya. Demikian juga untuk membersihkan rumah-rumah ibadah, serta tepian tempat mandi, semua ini mereka laksanakan tanpa diperintah, tapi semuanya karena lillaahi ta’ala.

Kalau masyarakat kampung dengan cara bergotong-royong dalam berbenah diri demi untuk keindahan dan keindahan kampung halaman, maka pemerintah Belanda pun disampng pertimbangan plitik juga membuat tempattempat rekreasi sesuai dengan keindahan alam setempat. Siapa yang tidak kenal dengan keindahan dan keelokan alam Guguak endah yang memukau, Embun pagi yang mempesona, Bukit siriah pandangan sejagad serta Puncak bikik yang aduhai. . . .

Semua keindahan alam ini dimanfaatkan Belanda untuk pelancong dari dalam dan luar negeri. Matur dan sekitarnya yang berada dalam pelukan gunung singgalang dan jajaran bukit barisan yang berhawa sejuk dan nyaman ini, serta mempunyai kekayaan tanaman yang bisa mendatangkan devisa untuk pemerintahan jajahan, telah menjadikan nama Matur meng-aroma ke segenap penjuru tanah air dan bahkan sampai ke eropa berkat kopinya.

Setelah berakhirnya peraturan cultuur stelsel, secara bertahap oleh pemerintah Hindia Belanda dibangunlah Pasar Matur sesuai dengan kebutuhan masa itu. Pesanggerahan pun dibangun untuk peristirahatan para pemebsar sipil dan militer Belanda. Disamping itu rakyatpun tidak ketingalan dalam membangun perumahan dengan corak eropa. Disekeliling pasar bahkan sampai kedalam kampung, rakyat tidak lagi membuat rumah dengan corak rumah gadang atau bagonjong, tapi turut disesuaikan dengan tuntutan jaman.

Berkat adanya buah kopi, casiavera, tebu, tembakau, coklat, dan lain lain, Matur dapat berbenah diri dari bahan hasil ekspor tersebut. Sekolah-sekolah untuk bumi putera tumbuh bagai cendawan, ditumbuhkan sendiri oleh rakyat dan juga oleh Belanda. Pada tahun 1913, ANDUANG SAWIYAH istri kemenakan dari Tuanku Lareh Sirah Mato mendirikan Sekolah Kepandaian Putri. Terbuat dari bambu, beratapkan daun padi/jerami, bermodalkan sepotong jarum dan sejengkal benang. Sekolah ini berkembang dengan pesatnya berkat pengertian yang mendalam dari kaum ibu.

Setelah sekolah keputrian ini mendapat pasaran dari masyarakat, kemudian pada tahun 1916 pemerintah jajahan mendirikan “Meijesschool” yang dilanjutkan dengan pembangunan “Meijesvervolschool. Sekolah standar ini merupakan bangunan pemerintah Beanda untuk bumi putera. Sudah pasti bangunan ini berasal dari rakyat sendiri yang berasal dari pajak belasting. Kemudian menyusul bangunan sekolah swasta seperti Taman Siswa, Taman Dewasa, Optima (sekolah Opnemer Teknaar), sekolah-sekolah agama yang di sponsori oleh organisasi Muhammadiyah, menyusul perguruan Tarbiyah Islamiyah. Semua itu menjadilkan nama Matur menjadi harum di kawasan Minangkabau. Memang penghujung abad -18 dan awal abad ke-19 Matur dan Koto Gadang dikenal di kawasan Sumatera Barat sebagai daerah pencetak cerdik cendekia. Bekas pelajar Optima telah mengarungi kepulauan nusantara. Dimana-mana ada juru ukur dan teknar di Indonesia, dapat diyakini bahwa mereka itu adalah keluaran Optima Matur. Bukan sedikit pula tamatan Optima ini diperkerjakan pada perusahaan-perusahaan asing di uar negeri. Ini semua menjadikan nama Matur bertambah tenar.

Periodisasi pendidikan agama Islam di Minangkabau umumnya dan di Matur khususnya akan terdapat beberapa tingkatan sesuai dengan kehendak zaman. Periodisasi pimpinan Syekh Burhanuddin Ulakan sekitar pertengahan abad ke -16 boleh dikatakan bersifat menganjur. Dengan sistem penjinakan/menarik dari agama Hindu ke agama islam tanpa kekerasan. Syekh Burhanuddin Ulakan tidak mengembangkan perguruannya ke daerah lain, hanya siapa yang ingin mempelajari agama Islam disilahkan datang ke Ulakan. Untuk daerah lain beliau tidak membuka perguruan.

Periodisasi prapaderi jaman Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumaniak yang menambah anggota yang dikenal di kawasan Minagkabau sebagai Harimau Nan Salapan, mengajarkan agama Islam menurut mahzab Wahabbi. Harimau nan salapan mengajarkan agama Islam “Tabujua lalu tabulintang patah”. Ajaran Islam wajib hukumnya dilaksanakan, bila tidak bisa dengan lunak maka akan dilaksanakan dengan keras. Bila perlu berperang demi tegaknya Nur Illahi di kawasan Mingkabau. Pada masa prapaderi ini banyak sekali tempat-tempat untuk menuntut ilmu agama Islam. Hampir di tiap negeri dan dusun ada guru agama, khususnya untuk Matur kita kenal TUAKU ABDUL HAMID yang mengajarkan agam Islam di Mesjid Utama di Pincuran Gadang, tapi tidak dapat berbuat banyak karena kaum adat masih banyak yang senang akan perbuatan-perbnuatan yang mungkar. Agama bagi mereka hanya sekedar untuk nikah kawin saja, oleh sebab itu Matur digempur oleh Tuanku Nan Renceh.

Periodisasi yang terakhir dapatlah kita sebutkan angkatan DR. H.A. Karim Amrullah, bapak dari Buya Hamka. Angkatan beliau ini mengembangkan agama Islam bukan saja karena keahlian dalam berbagai bidang ilmu keagamaan. Juga beliau ini keras tapi bijaksana. Beliau seakan akan berkompetisi dengan DR. H. Abdullah Ahmad, Syekh Muhammad Djamil Jambek, Syekh Sulaiman Ar Rasuli, Syekh M. Jamil Jaho, dan Syekh Ibrahim Musa. Kesemua beliau-beliau ini selalu berhubungan, berkomunikasi mengajrakan agama dengan penuh kasih sayang dan dengan disiplin yang mantap. Pada angkatan beliau inilah baru ada sistem pendidikan pakai metode barat. Dengan metode ini sempurnalah segala kegiatan sekolah di Matur pada jaman Belanda. Sempurnalah Matur berbenah diri setelah melalui jaman ayng sangat panajng dan berabad abad. Baru pada awal abad ke -19 Matur selesai berbenah diri.

Kesempurnaan adanya segala fasilitas menurut pandangan kampung, telah punya sekolah yang mengajarkan ilmu umum, ilmu kejuruan, keputrian, dan ilmu agama, juga kesempurnaan ini punya resiko dan akibat. Resiko pertama ialah setamatnya dari sekolah mereka akan pergi merantau, dengan dalih untuk merobah nasib maka tinggallah yang tua-tua saja penunggu kampung. Resiko kedua, menganggap ilmu yang diperoleh di Matur baru merupakan dasar. Oleh sebab itu harus disambung. Bukankah agama juga mengajarkan ‘tuntutlah ilmu sampai kee negeri Cina’ sekalipun. Ini juga berakibat lengangnya kampung oleh muda mudi. Silahkan yang tua tua mengurus segala yang tinggal.

Oleh karena sudah terbiasa hidup di rantau, walaupun mereka juga tidak ketinggalan dalam membangun kampung halaman, tapi mereka pulang sekali-sekali merasa dirinya asing dan bila sudah seminggu dirinya berada di kampung jiwanya sudah gelisah. Lebih senang hidup di rantau, di kampung kurang enak, apalagi Belanda melihat orang rantau ini terus menyelidik kalau-kalau mereka membawa-bawa permasalahan politik dan bila sudah seminggu masih tampak juga di kampung ada harapan disuruh berodi. Inilah sebabnya mereka gelisah hidup di kampung, sedangkan di rantau orang mereka ini adalah para ambtenar yang disegani.

Selanjutnya pulangnya orang rantau ini ke kampung halaman juga membawa efek sampingan tarhadap penduduk sendiri. Sebabnya ialah perantau yang pulang ini selalu ada kelebihannya dari orang kampung sendiri. Justru segala kelebihan ini merupakan idaman bagi yang muda-muda untuk merantau. Mereka juga ingin gagah seperti perantau yang pulang ini. Mengapa lagi di kampung padahal sekolahpun sudah tamat ?, untuk disambung tidak mungkin. Maka jadilah para perantau ini sebagai magnet untuk membawa orang kampung ke rantau.

Pengawasan terhadap perantau yang baru pulang ini makin hari makin di perketat karena di Sumatera Barat sering terjadi pemberontakan. Pada tahun 1915 Perang Kamang yang tiada sedikit membawa korban bagi Belanda. Perang ini dinamakan “Perang belasting”. Rakyat Kamang kemudian menyusun tenaga, tapi oleh karena rahasia bocor yang semula direncanakan serentak di seluruh wilayah Agam, Batipuah, dan Lima Puluh Koto segera dapat dipadamkan oleh pemerintah Belanda. Perang Silungkang, yang dikenal juga dengan Perang Komunis atau Pemberontakan Komunis 1926 pemerintahan Belanda harus waspada kepada tiap pendatang baru, atau kepada perantau yang pulang kampung sebab secara berangsur-angsur kesadaran politik Bumi Putera semakin meningkat.

Berhasilnya Budi Utomo 1908 mensponsori rasa kesatuan dalam wilayah Hindia Belanda yang dibarengi dengan Sumpah Pemuda 1928, Satu Nusa Indonesia, Satu Bangsa Indonesia, Satu Bahasa Indonesia dan berkumandangnya lagi Indonesia Raya di jagad nusantara ini menjadikan pemerintah Belanda mengawasi setiap gerak para pemimpin termasuk para perantau yang pulang kampung halamannya.

Pengawasan terhadap perantau ini memang cukup beralasan karena di Matur, atau para perantau Matur yang pulang pasti akan membangun rasa persatuan dan kesatuan terhadap orang kampung. Secara berangsur-angsur para perantau ini lah yang menanamkan kesadaran politik bagi penduduk kampung. Kalau yang tadinya orang kampung beranggapan suku batak disebut sebagai “Bangsa Batak”, suku aceh sebagai “Bangsa Aceh”, dan suku lain sebagai “Bangsa” lain, tapi setelah cerdik cendekia perantau Matur pulang, menjelaskan semua rakyat Hindia Belanda adalah “Bangsa Kita”, adalah saudara kita. Kita semua adalah sama bangsa Indonesai yang ingin damai, namun lebih ingin merdeka. Para perantau secara bergantian pulang ke kampung halamannya menanamkan rasa persatuan dan kesatuan. Dengan demikian kesadaran politik penduduk Matur makin hari semakin meningkat. Sewaktu Jerman menyerang Polandia, Austria, Belanda, dan Inggris, rakyat Matur secara sadar menggikuti dan menyadari bahwa tidak lama lagi Hindia Belanda pun akan mendapat giliran pula. Untuk itu masyarakat Matur secara diam-diam selalu mengikuti perang di eropah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar