Minggu, 11 Maret 2012

XII. PENGARUH PRRI

Peristiwa 20 Desember 1956 pengambilalihan kekuasaan dari tangan sipil Gubernur Ruslan Mulyoharjo oleh LetKol Ahmad Husain Komandan Resimen IV Banteng, berjal;an dengan aman tanpa pertumpahan darah di Gedung Nasional Bukittinggi.

Situasi pengambilalihan kekuasaan ini pada mulanya oleh rakyat Matur sangat tidak dihormati. Tapi oleh sebagian para pemimpin dijadikannya peristiwa ini sebagai alasan atau ketidak seimbangan anggaran biaya negara atau disebut juga perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Namun rakyat Matur yang telah lama mengenal dunia pendidikan juga para perantaunya selalu bersifat korrek, untuk sementara mereka jadikan perisrtiwa 20 Desember 1956 itu sebagai kaca perbandingan untuk masa selanjutnya.

Rakyat Matur yang hampir-hampir saja kehilangan kepercayaan kepada para pemimpin yang suka mengumbar janji selalu jadi perhatian. Mereka tidak mau lagi kehilangan tongkat sampai dua kali. Mereka selalu korrek untuk meng-iakan saja tiap ucapan para pemimpin itu. Mereka ingin bukt. Siapa saja boleh memimpin asal saja pimpinan itu benar-benar menepati janji.

Peristiwa 20 Deseber 1956 melahirkan Dewan Banteng, kemudian diikuti oleh Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Lambung Mangkurat dan Permesta. Seluruh Indonesia jadi penuh dengan segala Dewan, dan timbulnya segala dewan ini nadanya hampir saja bersamaan yaitu menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Namun Matur belum terpengaruh atas lahirnya semua dewan di Indonesia. Mereka menghendaki bukti, demikian juga halnya akan Dewan Banteng mereka rakyat Matur meminta bukti. Dan bila itu telah terbukti baru mereka akan merasa terikat atau baru akan mengakui kekuasaan itu.

Sifat korek rakyat Matur ini dengan mudah saja dapat dimaklumi oleh pemuka-pemuka masyarakat, terutama para pemimpin tingkat Kabupaten Agam. Untuk ini pihak Dewan banteng segera mendirikan Pesanggerahan yang dibakar oleh serdadu NICA pada masa revolusi. Pesanggerahan ini kemudian dijadikan kantor camat.

Melihat bangunan yang cukup megah, bahkan sampai sekarang untuk daerah Sumatera Barat boleh dikatakan bahwa kantor Camat Matur termasuk bangunan kelas satu, besar dan megah dan jauh lebih baik dari bangunan Belanda sendiri. Melihat kenyataan ini rakyat Matur cepat sekali berpartisipasi pada Dewan banteng, dan bila telah berpartisipasi berarti mudah di atur sesuai dengan nama negerinya. Mereka bukan saja mau mengatur tapi juga mau diatur asal kena caranya.

Matur yang tadinya suka hidup bergotong royong tanpa memperkirakan tenaga dan waktu yang terbuang, kemudian menjadi masyarakat apatis selanjutnya mengkomersilkan tiap jerih payah mereka. Tapi sekarang setelah melihat i’tikad baik dari Dewan Banteng dalam pembangunan daerah, sebagai realisasi tuntutan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah menjadikan rakyat Sumatera Barat tambah populer. Apalagi setelah rakyat Matur melihat adanya bangunan Kantor Camat, jembatan Air Sumpu, jembatan Bukit Sirih dan jembatan Tanjung Lurah - Air Katik. Demikian pula pembangunan Ulu Bandar telah banyak yang ditangani, jadilah Dewan Banteng disenangi oleh raakyat, terutama Matur.

Secara jujur kita harus berani mengakui terjadinya jiwa apatis pada masyarakat selama ini tidak lain karena banyaknya janji-janji yang diobral oleh mereka yang menamakan diri pemimpin . Tapi sekarang mereka tidak melihat lagi janji-janji kosong itu, jadi tiadalah salahnya bila masyarakat sekarang mau saja diajak bergotong royong untuk memperbaiki tali bandar. Bergotong royong untuk mebersihkan jalan-jalan dan tempat-tempat ibadah serta i’tikad baik dari pemimpin. Mereka sekali lagi mau pula di atur. Yang penting tau caranya.

Setelah Kepala Staf Sipil Mayor Syofyan Ibrahim menghambur uang Rp. 1.000.000,- untuk tiap daerah tingkat II se-Sumatera Barat untuk segala jenis pembangunan dalam daerah masing-masing, jadilah Dewan Banteng tambah populair di mata masyarakat banyak. Mereka tidak perduli uang dari mana itu, yang penting bagi rakyat ialah bahwa negerinya sekarang telah dapat perhatian dan tambah lama tambah bagus berkat adanya pembangunan dari berbagai sektor. Akibatnya melangitlah nama Ahmad Husain di mata rakyat Sumbar. Dipuja dan dipuji tidak ketingglan rakyat Matur pun memuji tindakan Ahmad Husain dengan Dewan Bantengnya itu.

Tuntutan rakyat Matur agar memperoleh sebuah rumah sakit segera di realisir oleh Dewan Banteng dengan sebuah bangunan terletak di daerah Sasok Sitarung Matur Mudik. Sebagai bukti tanda terima kasih rakyat kepada Dewan Banteng maka rakyatpun mau pula disuruh untuk bergotong-royong membuat jalan ke rumah sakit tersebut sepanjang 2 km. Mereka menginsyafi bahwa pembangunan bukanlah tugas orang-seorang tapi adalah tugas seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercermin dalam falsafah negara, ‘dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat’.

Rakyat Indonesia mencintai pemimpinnya yang jujur. Demikian juga halnya rakyat Matur mencintai tiap pemimpin yang telah memberikan darma baktinya untuk bangsa, terutama terhadap Bapak Hatta rakyat Matur sangat hormat sekali. Tapi betapa kecewanya mereka setelah rakyat Matur mendengar bahwa beliau menarik diri dari kursi wakil presiden. Rakyat jadi terharu dan seribu tanda tanya berkunang-kunang dimata dan pikiran rakyat. Kenapa bapak Hatta yang begitu mereka hormati dan cintai meninggalkan kursi kepresidenan selagi bangsa Indonesia butuh akan pemimpin yang jujur. Apalagi kemerdekaan yang direbut dengan darah dan nyawa itu belum lagi diisi dengan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sukarno-Hatta bagi rakyat Matur adalah dua tokoh Nasional yang mereka harapkan untuk membimbing bangsa Indonesia ke pintu gerbang kebahagiaan. Tapi sekarang dua proklamator, “Dwi tunggal” yang telah sama-sama diagungkan, dicintai dengan segenap jiwa raga itu, bertolak belakang. Jadilah dwi yang tunggal, tanggal oleh permainan politik tinggi. Rakyat Matur walau seribu kali berharap akan utuhnya kembali dua pemimpin bangsa itu, namun sejarah menghendaki lain. Dengan sendirinya rakyat Matur jadi berfikir lain pula. Sedangkan pemimpin yang diharapkan mempersatukan rakyat lagi tidak mau bersatu apalagi kita rakyat biasa ini dimana mungkin akan bersatu, mungkin akan bersatu, bukankah peribahasa nenek moyang mereka pernah enyebut, bila guru kencing berdiri, maka murid kencing berlari. Inilah tanda-tanda kehancuran persatuan dan kesatuan. Rakyat juga pandai menilai walau sekedar politik kedai kopi.

Rakyat Matur selalu mengikuti perkembangan situasi nasional dengan membaca beberapa harian yang terbit di Padang dan Jakarta. Haluan, Penerangan, dan harian Nyata adalah surat kabar Sumbar. Demikian pula dengan harian Indonesia Raya dari Jakarta selalu mereka ikuti, tapi semua bacaan itu tidak lain menambah panasnya situasi nasional. Mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, dan juga mereka tidak mendalami apa yang tersirat dibalik berita itu, namun mereka hanya melulu habis saja apa yang ditulis oleh masing-masing surat kabar itu. Akibatnya persatuan nasional sedang terancam. Namun rakyat Matur pada saat itu masih meyakini bahwa bila “dwi tunggal” Soekarno-Hatta kembali berbimbing bahu dalam mengatasi situasi nasional pastilah segala kekuatiran itu tidak akan terjadi. Masyarakat matur percaya dan pasti mau mengikuti akan ajaran nasehat kedua pemimpin ini. Mereka tau jiwa nasionalis kedua pemimpin bangsa itu, tapi jeritan rakyat Matur itu hanya sekedar jeritan di kedai kopi. Tapi suatu hal yang perlu kita catat disini , walau cara rakyat itu berfikir jauh dari jangkauan politik tinggi namun mereka berani melahirkan secara terang-terangan diuka umum. Walau itu bukanlah makanan mereka tapi mereka merasa berkewajiban selaku rakyat yang sadar akan arti persatuan dan kesatuan.

Kecintaan rakyat akan pemimpin serta tanggalnya dwi tunggal itu, semua ini di ekspos oleh para politikus. Dewan Banteng yang tadinya namanya telah melangit sekarang meningkat namanya setelah adanya tiga tuntuntan mereka yaitu :

1. Utuhkan kembali Dwi tunggal Soekarno-Hatta

2. Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945

3. Singkirkan PKI ari pemerintahan

Tiga tuntutan Dewan Banteng ini kemudian melahirkan PRRI, yaitu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, mendapat tanggapan positif bagi seluruh masyarakat Sumbar, tidak kecuali Matur.

Keutuhan Dwi tunggal Soekarno-Hatta sudah lama dikehendaki rakyat Indonesia, termasuk Matur walau hanya dalam ucapan politik kedai kopi, hanya itu. ‘Hanya dua tokoh nasional ini yang bisa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang kebahagiaan’, demika\ian kata mereka. Jangan sebut yang lain, hanya Soekarno-Hatta, titik. Begitulah rakyat Matur menilai kedua pemimpin bangsa Indonesia ini.

Terjadinya keretakan Dwi tunggal Soekarno-Hatta disebut-sebut oleh rakyat Matur karena kita tidak lagi berpijak kepada Undang-Undang Dasar ’45. Bukankah kita itu namanya telah menyalahi sumpah “sekali merdeka tetap merdeka’ yang diiringi dengan sumpah ‘merdeka atau mati’. Apa itu semua kalau bukan untuk mempertahankan proklamasi ’45 dan Undang-Undang Dasar ’45. Ingat, tiap jengkal bumi Indonesia ini telah disirami oleh darah pemudanya. Sekarang setelah kita merdeka dengan seenaknya saja meninggalkan prinsip-prinsip perjuangan ’45 itu, kutuk akan tiba dari Tuhan yang berani melanggar akan sumpahnya. Demikian rakyat menilai tuntutan Dewan Banteng pasal kedua itu.

Rakyat Matur yang telah lama menganut agama Islam dengan segala senang hati menerima tuntutan Dewan Banteng agar PKI, Partai Komunis Indonesia disingkirkan dari pemerintahan. Mereka menyokong tanpa reserve tuntutan ini, agar manusia-manusia yang tidak mengenal adanya Tuhan itu menyingkir dari pemerintahan dan bahkan bila perlu harus enyah dari muka bumi.

Rakyat Matur sangat benci terhadap komunis, apalagi setelah mempelajari penghianatan mereka pada bulan September 1948 yang menikam negara RI dari belakang. Untunglah pada saat itu bapak Hatta cepat bertindak. Justru karena itu pula nama bapak Hatta bagaikan malaikat dari langit bagi rakyat Matur dan kepada beliau diharapkan sangat untuk memimpin bangsa Indonesia demi kesatuan dan persatuan.

Lahirnya PRRI ditengah-tengah gelombang nasional dianggap oleh rakyat yang cinta damai dan cinta akan persatuan dan kesatuan serta cinta akan agama Islam dengan menjunjung tinggi falsafah negara Pancasila. Kedatangan PRRI adalah justru untuk menyelamatkan negara dari kehancuran, kalaulah tri tuntutannya dimengerti oleh pusat. Begitulah pendirian rakyat Matur yang ada dikampung menyokong perjuangan PRRI.

Tiap perbuatan menanggung resiko, juga tiap pembicaraan meminta bukti. Demikianlah juga lahirnya PRRI, menghendaki pengorbanan untuk mempertahankan. Tapi rakyat tidak menghendaki adanya perang saudara, karena perang saudara adalah merupakan suatu aib dan menyimpang dari ajaran hikmah kebijaksanaan perwakilan. Tapi apa hendak dikata baik di daerah yang telah begitu berani melahirkan ultimatum 5 kali dua puluh empat jam, maupun pusat tanpa pertimbangan demi untuk keselamatan rakyat, sama-sama telah mengakhiri lahirnya PRRI ini dengan menghunus senjata masing-masing. Timbullah perang, kacaulah persatuan dan kesatuan, mana kawan dan mana lawan, sungguh sulit kalau untuk melukiskannya. Masing-masing pihak mengemukakan kebenarannya. Mereka saling menuduh, rakyat Matur jadi terharu, dan perang tidak bisa di elakkan lagi.

Atur yang tadinya lengang karena penduduknya yang terkenal sebagai “perantau minded”, sekarang telah pulang kampung. Ramailah kembali atur. Tiada pembicaraan selain dari memperkatakan situasi nasional dan situasi perang. Padang telah jatuh ke tangan APRI.

PRRI tidak mungkin lahir kalaulah tuntuan Dewan Banteng di seluruh Indonesia di sikapi dengan hati nurani. Kenapa Aceh memberontak ? Kenapa Jawa Barat memberontak ? Begitu juga kenapa ada Dewan Banteng ?, Dewan Gajah, Dewan Lambung Mangkurat, serta Permesta ?. Kalaulah ini disikapi oleh pusat dengan ‘kepala dingin’ pasti tidaklah lahir Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia yang disingkat PRRI.

Daerah tidak menginginkan perang. Tapi pusat, begitu PRRI di umumkan langsung mem-bombardir Bukittinggi dan Padang, baik dari laut, udara dan darat. Pasukan pemerintah langsung bergerak cepat. Riau dalam satu minggu jatuh. Jambi dan Palebang menyerah tanpa perlawanan. Sedangkan kota Padang tidak ada pasukan reguler kecuali Sungai Penuh dan Pesisir Selatan. Sedangkan Bukittinggi dipertahankan oleh Brimob dibawah komando Komisaris Besar Sadel Bareg dan dibantu oleh pasukan Korps Mahasiswa yang tidak terlatih. Namun mereka memiliki disiplin yang tinggi lagi berani.

Begitulah akhirnya sejak di umumkan PRRI bulan Pebruari 1958. Tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Mei pusat pemerintahan PRRI, Bukittinggi jatuh ketangan pemerintah pusat. Praktis seluruh kota seperti Padang, Padang Panjang , Solok, Payakumbuh telah jatuh ke pemerintah pusat. Tentara PRRI mundur ke pinggir kota dengan catatan akan terus mengadakan perlawanan secara gerilya dan sesuai dengan instruksi Kolonel Dahlan Jambek bahwa perang gerilya seperti menghadapi Belanda pada agresi ke II. Semua kota satu persatu akan kita rebut. Rakyat tak perlu kuatir. Yang jelas seluruh kota kita kosongkan dan rakyat yang tidak mampu berperang melawan kezaliman pemerintah pusat ikut mengungsi dan mengosongkan kota, itu namanya juga sudah ikut berjuang.

Masyarakat Sumbar yang selama ini telah merasakan bahwa Dewan Banteng tidak main-main dan memang telah menunjukkan i’tikad baiknya dengan sendirinya rakyat mematuhi dan mengikuti ajakan para pemimpin Dewan Banteng. Mereka mengosongkan kota dan ikut mengungsi. Maka ramailah seluruh perkampungan di Sumatera Tengah tiada kecuali Matur yang juga merupakan jalur perhubungan antara Kamang yang dijaga ketat oleh Brimob dibawah komando Kombes Sadel Bareg, sedangkan di Balingka pasukan Kompi mawar dari Korps Mahasiswa yang sangat berdisiplin.

Matur bagaikan kota “De-yure” karena perantau dan pengungsi telah memadati Matur. Pegawai pulang anak-beranak dan para mahasiswa membuka sekolah penampung, baik untuk tingkat SMP maupun tingkat SMA. Jadi Matur memang benar-benar De-Yure, aman dan tak terjangkau oleh tentara pusat.

Para perantau yang pulang kampung segera menyesuaikan diri, karena untuk ditampung jadi pegawai atau bergabung dengan instansi lain juga tidak mungkin, maka satu-satunya jalan ialah menyesuaikan diri dengan berdikari sesuai dengan kemampuan masing-masing apakah jadi petani atau pedagang. Tapi mereka tetap gembira menunggu perkembangan dengan satu harapan semoga perang saudara ini segera berakhir.

Di Matur tidak ada pasukan reguler dan juga tidak ada markas markas korps mahasiswa. Yang ada hanya Komando Vak atau semacam KMK. Sekedar untuk menerima dan mengirim laporan ke pusat pemerintahan kabupaten atau ke dinas-dinas terkait sesuai dengan situasi. Matur hanya diramaikan oleh penduduk asli yang selama ini merantau, sekarang pulang kampung.

Pada tanggal 5 Juli 1958 presiden Soekarno mengumumkan kembali ke UUD ’45 yang disebut dengan Dekrit 5 Juli. Rakyat Matur menyambut gembira Dekrit 5 Juli ini, tapi sayang tidak di ikuti dengan kembalinya Dwi tinggal Soekarno-hatta dan diikuti pembentukan Dewan Pertimbangan Agung yang anggotanya berjumlah 46 orang, anatra lain para tokoh PKI seperti DN Aidit, Nyoto, Siau Giok Tjan, Sujono Atmo, dan dilanjutkan dengan pembentukan DEPERNAS juga anggotanya banyak dari orang-orang PKI seperti Ir. Sakirman, Tjao Sik Iend. Ke semuanya itu disimak dan di pelajari oleh Masyarakat Matur apalagi oleh para pemimpin PRRI. Sekarang jelas bahwa pemerintah pusat telah di monopoli oleh kaum atheis, yang dibenci dan dicela oleh rakyat yang agamis. Namun sebegitu jauh Matur masih aman dan tidak terganggu oleh pasukan pusat.

Pada peringatan 17 Agustus hari proklamasi 1958 diperingati dengan meriah. Para pemuda mengadakan bermacam pertandingan olah raga, dan pada malam harinya diadakan pertunjukan sandiwara dengan berbagai atraksi untuk menghibur para pengungsi maupun para prajurit PRRI yang selalu tabah menahan tiap serangan ke arah Matur. Situasi Matur memang dalam keadaan de-yure merdeka tapi selalu dalam keadaan waspada, sebab tentara pusat selalu berusaha untuk merebut Matur. Tapi selalu gagal karena alam perbukitan merupakan benteng buatan Tuhan. Mulai dari front Balingka, Pintu Angin, Jajang Batang, Bukit Kapanasan, dijaga ketat pasukan sukarela dan pasukan Korps Mahasiswa yang lebih populer dengan sebutan Korps Mawar. Dibawah komando Lettu Ucin yang berasal dari pasukan elite nasional RPKAD tidak heran bila pasukan ini disegani oelh lawan dan kawan. Mereka muda-muda dan terpelajar, dan memang mereka berasal dari mahasiswa dibantu juga oleh beberapa pasukan reguler yang berasal dari bebrapa batalion yang telah menyerah.

Sekarang timbul tanda tanya bagi kita, kenapa Matur harus dipertahankan sedemikian rupa ? Tiada lain karena Matur berada di garis yang sangat strategis, baik ditinjau dari segi militer, ekonomi, dan politik Matur merupakan garis persimpangan yang sangat ideal. Oleh sebab itu Matur harus direbut dari PRRI dengan segala resiko. Bila Matur jatuh, kabupaten Pasaman, yang disebut sebut sebagai kabupaten yang ‘pas-aman’ dengan jatuhnya Matur Pasaman akan terancam dan akan mudah di kuasai oleh tentara pusat. Demikian juga front kamang dan front Palupuh akan mudah dikuasai oleh pusat.

Sebaliknya bagi PRRI adalah merupakan kunci terakhir dan juga harus dipertahankan oleh pasukan PRRI dengan segala resiko. Akibatnya pada tanggal 1 Mei 1959 terjadilah pertempuran di seluruh front, Balingka, Pintu Angin, Janjang Batang, dan Bukit Kapanasan selama lima hari lima malam tiada hentinya terdengar rentetan senjata otomatis berkumandang di jagad raya. Pasukan PRRI, dibantu benteng alami, sedangkan pusat dibantu oleh pesawat mustang dan tembakan kanon yang tiada henti-hentinya.

Pada tanggal 5 Mei 1959 pasukan PRRI sangat kelelahan karena pasukan cadangan sedang berada di ‘lembah anai’ dibawah koando mayor Johan sedang bertempur pula dengan ABRI. Akibatnya pasukan PRRI tak punya cadangan, maka front berangsur ke titik nadir yaitu di pendakian Batang Kasiak menjelang Matur. Di sinilah komandan kompi Banteng reiders, Lettu Muslim tewas. Akibatnya seluruh pasukan reiders jadi marah dan tanpa memperdulikan korban pasukan reiders terus maju dan maju, dan membakari seluruh rumah di tepi jalan. Maka Matur jadi lautan api

Pada jam 17.30 WIB tanggal 5 Mei 1959, setelah bertempur sejak tanggal 1 Mei 1959, matur jatuh ke tangan tentara pusat. Ratusan rumah jadi puing dibakar. Apa boleh buat , perang menghendaki pengorbanan yang tiada batas. Tamatlah sudah riwayatmu Matur yang cinta damai. Matur silahkan meratapi diri bak bunyi hadis melayu :

Rumah gadang basandi perak

Dima lah angin ka dapek lalu

Antah kok di liang gririk lantai

Hati bimbang tasingkok tidak

Silah urang nan ka tau

Antah kok urang nan marasai

Babunyi badia dibukik kalung

Tandonyo parang ka manjadi

Bapasan kami rang kampuang

Sadang sansai nagari kini

Aie bangih padang si busuak

Aie rimbo bajalan malam

Hati bangih dapek dibujuak

Hati ibo ramuak didalam

3 komentar:

  1. Bagus sekali...dan klu masih ada tlg di posting lagi...ini bagus utk kita

    BalasHapus
  2. Bagus sekali...dan klu masih ada tlg di posting lagi...ini bagus utk kita

    BalasHapus
  3. Mohon maaf sebelumnya, bisa gak minta no hp bapak, saya ada penelitian mengenai PRRI di nagari matur

    BalasHapus