Minggu, 11 Maret 2012

VI. PENGARUH PADERI

Kerajaan Minagkabau yang berpusat di Pagaruyuang Tanah Datar sedang mengalami masa suram karena banyak para pembesar yang melengahkan kewajibannya. Kaum bangsawan lebih banyak menghabiskan waktunya di arena perjudian dan menyabung ayam. Penduduk yang mengakunya telah beragama Islam namun jiwa mereka belum bisa dilepaskan dari pengaruh agama Hindu dan Budha.

Melihat kenyataan yang menyedihkan ini, sekitar tahun 1803 tiga orang putra minangkabau kembali dari tanah suci Mekkah yaitu HAJI MISKIN, HAJI SUMANIK, dan HAJI PIOBANG. Ketiga haji ini merasa terharu. Hati nurani mereka bagai diiris dengan sembilu melihat para pembesar di minangkabau seperti berlomba lomba membuat keonaran dan kemungkaran. Mereka bertiga mengambil mufakat dan keputusan untuk memasukkan ajaran Islam mereka menurut paham WAHABI. Bila tidak bisa dengan cara yang lunak maka mereka akan melaksanakannya dengan cara yang keras. Selanjutnya akan berusaha untuk menjaga dengan segala kekuatan kemurnian agama terutama di pusat kerajaan di Pagaruyuang.

Setelah berusaha dengan segala cara untuk menyadarkan para pemimpin tidak berhasil, maka ketiga orang haji ini mencari para pengikut terutama kepada para pemimpin di kampung-kampung mereka tanamkan iman keislaman. Maka tercatatlah pada jaman pra-padri nama-nama Tuanku Nan Renceh dari Kamang, Tuanku Lubuak Aua dari Canduang, Tuanku Barapi dari Bukit Canduang, Tuanku Ladang Laweh, Tuanku Padang Lua, Tuanku Galuang dari Sungai Puar, dan Tuanku Biaro dari Kapau.

Delapan alim yang didadanya telah membara api fanatisme serta kejengkelan yang tidak tertahankan melihat tingkah laku para pemipin yang mengaku dirinya sebagai pemimpin rakyat, tapi telah berbuat menyesatkan dan membawa rakyat kelembah kehancuran, akhirnya telah mengobarkan perang saudara di kawasan minangkabau antara Kaum Adat dan Kaum Agama yang terkenal dalam sejarah Perang Paderi dari tahun 1803 sampai tahun 1838 dan delapan nama-nama alim tersebut diatas tercatat dalam sejarah sebagai HARIMAU NAN SALAPAN.

MATUR DISERANG PADERI

Dalam buku perang paderi tulisan Muhammad Rajab cetakan kedua penerbit Balai pustaka menulis : “Tuanku Nan Renceh dengan beratus-ratus pengikutnya tidak sabar lagi melihat kemunafikan rakyat, terutama dalam daerah Luhak Agam di awal abad ke 18 melakukan serangan serentak ke daerah-daerah Tilatang, Padang tarab, Canduang, dan Ujuang Guguak. Semua kampung mereka kalahkan melalui peperanan yang banyak memakan korban, dan bagi kampung yang mereka kalahkan diharuskan membayar upeti 400 ringgit. Setelah itu Tuanku Nan Renceh segera menggempur Agam Tuo secara keseluruhan, kemudian menyerang Matur dan semua kampung di sekitar Matur dengan mudah dapat dikuasai oleh pasukan Tuanku Nan Renceh. Matur oleh karena tidak memberikan perlawanan tidak diwajibkan membayar upeti, kecuali seluruh kampung yang telah dikuasai oleh pasukan Tuanku nan Renceh diharuskan memelihara jenggot dan mencukur habis rambut di kepala. Disamping itu kepada seluruh penduduk tidak diperbolehkankan memakan sirih, merokok, berjudi, menyabung ayam, minum tuak, dan siapa yang melangar larangan ini akan dihukum mati”.

Matur yang tidak menyangka akan mendapat serangan tiba-tiba dari pasukan Tuanku Nan Renceh dengan mudah dapat dikuasai. Para alim ulama dengan segala pengikutnya orang-orang “siak” bersorak sorai atas kemenangan kaum agama ini. Mereka kaum agama ini kembali mengajak seluruh masyarakat untuk bertobat dan jangan coba-coba untuk melawan atau mengingkari perintah, oleh karena itu ramailah kembali mesjid dan surau. Mesjid utama di Pincuran Gadang bagaikan sempit untuk menampung umat. Begitu juga Surau Tinggi di Matur Katiak, Mesjid Aia Sumpu, Surau Jaruang Kampuang Tasia. Semua mesjid dan surau mereka ramaikan, ramai karena takut pada Tuanku Nan Renceh dan pengikutnya. Para parewa secara terang-terangan tidak berani lagi mengadakan segala kemungkaran, tapi secara sembnyi sembunyi mereka mengadakan sabung ayam ke daerah Koto di seberang Batang Matur, ke Linjau, ke Santua, sehingga pada saat itu lahir istilah “Sumbayang bawakatu, Bajudi bakutiko”.

Sebaliknya para Tuanku dan Imam yang diangkat dan ditunjuk untuk mengawasi roda pemerintahan di Negeri yang dikuasai oleh kaum agama tidak kurang pula aibnya pada mereka. Banyak pula diantara para Tuanku dan Imam menjadikan kesempatan ini sebagai balas dendam, membuat peraturan sewenang-wenang, dan bila kaum adat yang telah takluk tidak memenuhi segala tuntutan yang berlebihan ini maka mereka dianggap sebagai pembangkang pada Tuanku Nan Renceh. Oleh sebab itu bentrokan secara kecil-kecilan sering terjadi antara pengikut Tuanku Nan Renceh dengan Kaum Adat. Lama-lama peristiwa kepincangan atau penyalahgunaan wewenang yang diberikan oleh Guru Besar agama Islam ini sampai juga ke telinga Tuanku Nan Renceh, tapi situasi sudah gawat, mau tidak mau perang antara Kaum Adat dengan Kaum Agama jadi merupakan perang terbuka. Maka berkecamuklah perang, satu sama lain bertahan dengan segala kemampuan. Hanya kelebihan kaum agama mereka terpimpin dan punya pimpinan yang benar-benar menghadap musuh ini sebagai musuh agama. Sedangkan kaum adat tidak punya pemimpin. Mereka berperang hanya karena mempertahankan kebiasaan menyabung ayam, berjudi dan minum tuak. Dengan demikian mereka semakin terdesak dan dikejar kejar oleh kaum agama kemana saja mereka lari. Akhirnya kaum adat terpaksa meminta bantuan ke Padang kepada tentara Inggris, kemudian kepada tentara Kompeni Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar