Minggu, 11 Maret 2012

I. MENCARI KEDAMAIAN

SI BUNGSU SRI MAHARAJO DIRAJO yang turun dari benua Ruhun menetap di pulau Perca, mencari tempat ketinggian hasrat hati hendak mencari kedamaian, memuja “sang hyang” sesuai dengan peradapan dan kepercayaab masa itu. Nenek moyang Sri Maharajo Dirajo menurut keterangan Ibnu Said (orang Arab) dan Ferrand (orang Prancis) berasal dari suatu dataran tinggi di pusat Asia yang letaknya disebelah barat laut negeri Cina, karena diperangi dan di desak oleh bangsa Hun undurlah mereka ke daerah yang lebih aman untuk menyelamatkan diri dan nyawa mereka, sehingga akhirnya sampailah mereka ke India Belakang.

Dala tambo tambo Minagkabau selalu akan kita jumpai Gurindam

Dari mano atitiak palito

Dibaliak telong nan batali

Dari mano asa niniak kito

Dari puncak gunung merapi

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas bahwa kedatangan Sri Maharajo Dirajo ketempat ketinggian adalah untuk mencari kedamaian karena telah merasakan pahitnya hidup mengembara sejak mulai dari dataran tinggi pusat Asia. Melalui sungai Malween dan Meekong serta diburu-buru oleh bangsa Hun, menyebabkan mereka ingin mencari tempat yang aman. Mereka menyembah batu, juga menyembah gunung. Gunung merapi merupakan tempat pemujaan, disini mereka merasa aman jauh dari musuh dan huru-hara.

Mengenai gunung Merapi ini menurut bapak M.Rasyid Manggis dalam bukunya “Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya” halaman 17 antara lain belia nukilkan :

Sesungguhnya di Sumatera tengah ada gunung yang lebih tinggi dari gunung Merapi, seperti gunung Kerinci dengan puncak inderapuranya yang 3.800 meter itu. Tetapi guung Merapi yang tingginya 2.891 meter adalah menjadi lambang sejarah, bukan karena ia menjulang di tengah tengah Sumatera tengah saja tetapi oleh karena kesanalah gelar historis Dt. Sari Maharajo mulai ditemui dan sampai sekarang gelar historis itu tetap ada di Pariangan dan di Pariangan ini pula mereka melakukan penyembahan sesuai dengan kepercayaan masa itu.

Kepercayaan kepada dewa-dewa yang masih dianut oleh suku bangsa India masih mempengaruhi jalannya pemujaan di lereng / di puncak gunung Merapi ini. Oleh sebab itu bila tiba saatnya pemujaan kepada sang hyang, binatang hasil buruan seperti kijang, rusa, domba, dan lain-lainnya dipersembahkan kepada dewa-dewa yang menurut hemat mereka bertempat diam di puncak gunung Merapi.

Anggota utama dalam rombongan Sri Maharajo Dirajo adalah Suri Dirajo yang dalam tambo disebut juga dengan Seri Paduka Berhala, diam di gunung Merapi dalam gua batu, dibukit yang tidak berangin, dilurah yang tidak berair, tempat Buaya Hitam Kuku, tempat Sirangkak nan mendengking.

Keturunan Suri Dirajo lah yang memberi nama Para Hiyangan, terambil dari nama Sang Hyang, kemudian fonetis jadi tutur kata Pariangan. Gelar Datuk Suri Dirajo masih dipakai sampai sekarang dalam Luhak Nan Tigo.

Kerukunan dan kedamaian yang selalu didambakan oleh rombongan Sri Maharajo Dirajo sejak dari Tanah Basa (India belakang) sekarang telah berpadu dengan kesuburan lembah Merapi yang berhawa sejuk lagi nyaman, dengan siraman matahari tiap pagi, menjadikan rombongan ini hidup bahagia, bumi senang, padi menjadi, ternak pun berkembang biak. Habis musim berganti tahun, rombongan yang tadinya kecil kini telah bertambah besar. Lalu dibuat mufakat untuk membuat huma dan teratak untuk tempat diam anak kemenakan, oleh Suri Dirajo yang kemudian bergelar Datuak, pandang jauah dilayangkan, pandang dakek ditukiakkan, dicari padang yang datar berhawa sejuk serta mendapat siraman matahari sepanjang hari, ditemuilah suatu tempat dan diberi nama Para Hiyangan (asal kata Sang Hyang) lama-lama jadi Pariangan. Di pariangan inilah Cupak mulai di papek, Padang mulai diukua, digaris adat yang akan dipakai.

Penghidupan yang rukun damai ini bersandarkan kepada mata pencaharian berburu binatang liar dan menangkap ikan. Laki-laki yang kuat perkasa lebih senang pergi berburu, sedangkan mereka yang tua-tua dan para wanita lebih bergairah hidup bercocok tanam, menanam umbi umbian dan jagung, pisang dan lain sebagainya sesuai dengan peradaban masa itu. Oleh karena kehidupan pada pokoknya dari hasil buruan, tidak jarang pula terjadi perpindahan penduduk ditentukan oleh padatnya binatang buruan. Darah pengelana yang diwariskan oleh nenek moyang mereka Sri Maharajo Dirajo dengan Datuak Suri Dirajo kembali mempengaruhi jalan hidup mereka, terutama bagi yang muda perkasa.

Oleh karena perlembangan penduduk, tidak jarang pula terjadi selisih paham antara satu kelompok dengan kelompok lainnya terutama sola adat dan pembagian rezeki. Untuk menghindarkan pertumpahan darah, masing-masing kelompok mencari medan buruan bagai bertolak belakang. Bila kelompok yang satu ke arah timur, maka kelompok yang lain ke arah barat. Dengan hidup berkelompok sepaham dan sehaluan ini bukan saja mudah diatur baik mengenai adat maupun pembagaian rezeki, tapi akan lebih terjamin bila ada musuh yang akan menyerang menghindar dari serangan musuh. Walaupun mereka ini telah mewarisi darah pengelana, tapi juga mewarisi darah cinta damai. Darah cinta damai inilah yang menghela Niniak orang Minangkabau dari Dataran Tinggi Pusat Asia, namun perkembangan penduduk yang membawa dua aliran dari dua legislatornya, Datuak Ketemangguangan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang menimbulkan perbenturan antara dua cara berfikir; aristokratis dan demokratis, yang sewaktu waktu bisa menimbulkan pertengkaran yang hebat dan tak jarang pula terjadi pertumpahan darah. Dan untuk menghindarkan perbenturan inilah banyak dari pemuka-pemuka masyarakat pergi kembali berkelana mencari tempat yang aman dan damai.

Sebagaimana telah kita uraikan bahwa kehidupan banyak ditentukan oleh hasil buruan, sebagian dari penduduk Priangan ini berkelana ke arah timur, Tabek Patah, lalu terus ke daerah IV Angkek serta ke arah Gaduik dan Palupuah. Mereka berkelana tidak mengenal waktu dan kurun zaman. Yang penting hidup aman serta hasil buruan yang padat atau mencari ikan sebagai sumber kehidupan. Sebahagian dari rombongan yang ke Palupuah ini terus menghilirkan Batang Masang, akhirnya mereka menetap di Silareh Aia, Padang Gantiang, Gudang dan Kayu Pasak. Disana mereka membuat huma dan Nagari. Tersebutlah Koto Alam, Gumarang, dan Palembayan. Sedangkan rombongan yang di Gaduik terus menurun ke Sawah Dangkal kemudian memudiki Sungai Batang Matur.

Setalah lama berkelana disini kepala rombongan melihat sebuah dataran hijau selalu dapat siraman matahari, timbullah niat untuk membangun huma dan nagari sesuai dengan garis adat yang pernah mereka terima dari nenek moyangnya Sri Maharajo Dirajo dan Datuak Suri Dirajo, dengan berlandaskan paham demokratis yang digariskan oleh Datuak Perpatiah Nan Sabatang. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

1 komentar:

  1. CASINO - Las Vegas - Mapyro
    Casino Address: 군포 출장마사지 3400 North Center Street 남원 출장안마 S, 통영 출장마사지 Las 경상북도 출장샵 Vegas, NV 89109. Country Of Interest: 김천 출장샵 Country Of Origin: United States.

    BalasHapus