Minggu, 11 Maret 2012

XI. MATUR BAGAI ORANG SAKIT

Siapa saja yang berhenti sejurus dimuka pilar Guguak Pandan dengan memandang keliling alam terbuka jiwanya akan menjerit, dadanya akan berdebar penuh gemuruh melihat keelokan panorama yang memukau ini. Angin bertiup lemah membelai menebarkan benih pikiran baru di seluruh alam Minangkabau yang dilalui garis khatulistiwa. Tiada lagi terdengar rentetan dan desingan peluru, juga tiada lagi kita dengar suara pesawat udara, juga tiada lagi terdapat asap mengepul pekat akibat dibakar. Hanya cericit burung pipit yang terdengar terbang dari pimping ke pimping lainnya. Itulah Matur sekarang, sunyi dari segala-galanya. Semua pasukan divisi IX Sub Komando A telah kembali ke kota, demikian pula dengan para pengungsi telah kembali ke kampung halamannya masing-masing, tiada kecuali putra Matur yang telah mewarisi darah perantau sejak nenek moyang mereka kembali melanglang buana di perantauan. Mereka yakin hanya dengan pergi merantaulah nasib mereka akan berubah. Hanya dengan merantau itulah nantinya Matur bisa dibangun kembali.

Matur yang telah rata dimamah api sebagai warisan revolusi melihat dengan lesu, dengan apa harus dimulai, semua kekuatan telah dikerahkan secara berlipat ganda, mulai sejak jaman “saudara tua” menginjakkan kaki pertama disambung dengan revolusi yang selalu berkobar, menghenaki pengorbanan berlipat ganda, justru itu semua kekuatan telah terkuras dalam masa yang sangat panjang dan untuk membangunnya kembali harus dimulai dari awal lagi. Untuk itu diperlukan sekali seorang pemimpin yang mampu membangkitkan semangat rakyat, tapi orang yang tergolong pemimpin itu juga telah pergi merantau, juga dengan satu tekad untuk membangun dari rantau. Sunyilah Matur dari cerdik cendekianya. Tingallah Matur dengan para pensiunan dan anak-anak sekolah. Bertahun hal ini berjalan dengan tiada terasa waktu yang telah dilewati. Menginjak tahun ke empat baru ada satu dua orang yang memulai membangun puing-puing kebakaran sebagai tempat tinggal.

Dalam membangun kembali Matur terjadi gambaran yang sangat memilukan dan menyeihkan. Jiwa kegotong-royongan yang tadinya telah mendarah daging ditiap helaan nafas putera Matur, bukan saja bergotong-royong dalam melaksanakan pekerjaan yang berat-berat tapi juga bergotong-royong dalam pekerjaan yang ringan-ringan, hilang lenyap bersama derap langkah ‘saudara tua’. Hilang lenyap dengan sipongang letusan otomatis revolusi, rakyat Matur tidak lagi memperlihatkan kegotong-royongan dalam bentuk apapun. Mereka telah mulai memperhitungkan secara komersial tiap tenaga dan waktu yang dipergunakan. Mereka tidak perduli apakah itu pekerjaan untuk masyarakat banyak ataukah pekerjaan itu untuk kaumnya sendiri. Memotong padi yang selama ini oleh nenek moyang mereka yang dianggap pantang memberitahu bila akan menyabit sekarang menjadi kebalikan. Bila ada yang akan menyabit padi dicari orang yang mau di upahkan dengan cara potong persen, maka disebutlah dengan 10 (sepuluh) keluar 1 (satu), dengan arti setiap 10 kambut padi yang di panen maka 1 kambut untuk si pemanen atau pelaksana. Hal ini berlarut-larut sampai sekarang memulangkan padi harus dipahkan menurut versi Matur, semua tergantung jauh dan dekatnya sawah.

Demikian juga halnya bergotong-royong untuk memperbaiki tepian tempat mandi, membersihkan mesjid, surau dan langgar atau tempat ibadat lainnya. Semangat gotong-royong hilang lenyap bersama derap sepatu saudara tua. Mereka sangat enggan sekali pergi atau mengeluarkan tenaga cuma-cuma walaupun yang di gotong-royongkan itu untuk kepentingan mereka. Secara jujur harus diakui bila ada permintaan dari Wali Nagari agar rakyat kampung spaya keluar bergotong-royong membersihkan jalan ketepian dan seterusnya ketempat tempat ibadat, yang datang hanya beberapa orang saja.

Perlu kita garis bawahi disini, pada waktu akan meresmikan pemakaian balai-balai adat Matur 30 April 1978 dimintalah tenaga gotong-royong dari tiga nagari yang berhak atas balai-balai. Bukan hanya itu juga dibawah balai-balai atau tingkat pertama balai-balai yang akan berfungsi sebagai kantor Wali Nagari Matur Hilir, Matur Mudik, dan Parit Panjang , namun yang datang untuk bergotong-royong tidak lebih dari lima orang saja, dan akhirnya di upahkanlah orang membersihkan pekarangan ini dengan upah Rp. 3000,- . Alangkah memalukan . . .

Sedangkan untuk bergotong-royong untuk kepentingan umum mereka enggan apalgi untuk bergotong royong untuk kepentingan seseorang. Justru itu pembangunan akibat kebakaran dalam masa revolusi sangat lamban sekali. Mereka yang kena musibah berusaha sendiri membangun rumahnya. Dari anggota masyarakat jangan diharapkan apa-apa.

Mereka anggota masyarakat seakan-akan kemerekaan yang di proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu dan yang telah dipertahankan dengan darah dan nyawa itu tidak perlu di isi dengan semangat membangun. Mereka seakan-akan berfikir sekedar merebut kemerdekaan itu saja tugas dan tanggung jawab sedang untuk membangun terserah kepada pemerintah. Ini suatu anggapan yang keliru. Kemerekaan menghendaki pengisian. Justru dari pengisian kemerdekaan itulah akan kita peroleh kemakmuran bagi seluruh rakyat. Tugas dan tanggng jawab mengisi kemerdekaan itulah tugas dan tanggung jawab tiap warga negara Indonesia. Bukankah tujuan kemerdekaan itu untuk menuju masyarakat adil dan makmur . . . ?

Demikian juga halnya dalam membangun berbagai sekolah. Matur dikenal sebagai masyarakat pendidikan minded. Sama-sama berlomba-lomba mengantarkan anaknya agar diterima sebagai murid pada sekolah-sekolah yang ada di Matur. Tapi oleh karena ruang pendidikan terbatas mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk membangun sekolah. Demikian halnya sampai sekarang tidak sebuah SMP pun yang dibangun oleh pemerintah. Semua SMP yang ada di Matur, semuanya adalah bagunan dari rakyat Matur sendiri. Pemerintah baru dapat memberikan bantuan bersifat rehabilitasi gedung-gedung sekolah, kecuali bangunan gedung SD inpress yang merupakan penjatahan untuk seluruh wilayah Indonesia. Lain daripada itu Matur boleh bangga karena belum satu gedung sekolahpun dibangun oleh pemerintah.

Bila daerah lainnya ditingkat II se Sumatera Barat telah memperoleh gedung SMP standar dengan biaya Rp. 49.000.000,- maka Matur boleh menggigit jari melihat kenyataan ini. Walaupun Matur dalam dunia pendidikan di kawasan Minagkabau tercatat sebagai imam atau sponsor atau tertua dalam dunia pendidikan yaitu 1 Oktober 1871 di Matur telah ada sekolah Government, sedangkan daerah lain baru setelah tahun 1920 ada memiliki sekolah, tapi Matur tidak merasa kecil hati. Malah dengan segala kemampuannya selalu berusaha untuk menambah gedung dan meningkatkan penidikan anak kemenakannya, tapi adalah diluar dugaan dan diluar aturan permainan rasanya bila dengan tiba-tiba saja SKKP negeri yang dibangun oleh Anduang Sawiyah pada tahun 1913 di pindah lokasikan saja ke daerah Koto Tuo, IV Koto, tanpa meminta pertimbangan dari masyarakat Matur itu sendiri. Sedangkan Koto Tuo itu sendiri tidak bergairah akan dunia pendidikan. Rasanya Matur sangat dirugikan, ini terbukti dengan terjadinya peledakan murid pada tahun ajaran 1977 sebanyak 85 orang, berikutnya pada tahun ajaran 1978 sebanyak 119 orang tamat SD tidak tertampung. Ini semua adalah akibat dipindahkannya SKKP Negeri Matur ke daerah Koto Tuo IV Koto.

Perlu sangat kita kemukakan disini, kenapa daerah lain memperoleh bantuan dibuatkan gedung SMP standar dengan biaya Rp. 49.000.000,-. Apakah Matur tidak boleh dikategorikan sebagai tetua didalam pendidikan di kawasan Minagkabau, atau Matur itu harus pula bersedia untuk menjadi manusia buta huruf karena sudah cukup lama mengenal dunia pendidikan. Peristiwa penghapusan SKKP negeri Matur ini membawa efek samping bagi masyarakat. Mereka jadi apatis, untuk apa lagi membangun segala toh akhirnya setelah kita selesai membuat gedung cukup permanen akan dipindahkan pula ke daerah lain.

Hal ini sangat berbahaya. Tanggung jawab pemerintahlah sekarang untuk membangkitkan semangat gotong-royong yang telah terluka akibat kecerobohan pemindahan SKKP ini. Berkali-kali Wali Nagari dan pejabat utama mengundang rakyat untuk mengadakan rapat sehingga terbentuklah Panitia Penanggulangan Pendidikan di kecamatan Matur. Namun rakyat yang hatinya telah terluka tidak mau memenuhi panggilan ini. Mereka semua menuntut agar SKKP Negeri Matur dikembalikan ke Matur. Jika tidak terserah apakah pemerintah itu mau rakyatnya buta huruf. Demikian sulitnya pemuka masyarakat sekarang dalam membangkitkan semangat gotong-royong terhadap anggota masyarakat. Mereka menilai tiap usaha yang dibuat di Matur, tapi mereka jangan diharap untuk mau memberika bantuan secara cuma-cuma atau bergotong-royong.

Demikian juga halnya selesai revolusi fisik 1945 – 1949, masyarakat Matur cepat tau perkembangan sosial politik yang terjadi di tanah air. Kabinet silih berganti, pemerintah jatuh bangun, selalu diamati dan di telusuri oleh pemuka-pemuka masyarakat, sesuai permainan tingkat pusat jadi medan debat di kedai-kedai kopi. Akibatnya Matur terombang ambing dalam menuju masyarakat ail dan makmur.

Bangunan secara perorangan telah mulai satu demi satu memperlihatkan wajahnya. Sekeliling pasar Matur sekarang telah berdiri bangunan perumahan rakyat yang dibangun menurut kemampuan mereka masing-masing. Demikian juga halnya pembangunan sekolah-sekolah. Semua pembangunan pada pokoknya dibangun oleh perantau Matur melalui wesel pos. Sedangkan rakyat yang ada di kampung boleh dikata tidak ada berpenghasilan, karena semua tanaman kopi mereka telah dibabat atau dimusnahkan ats perintah “saudara tua” dalam memenuhi kebutuhan perang Asia Timur Raya. Maka rimbalah parak bekas tanaman kopi. Demikian juga halnya persawahan rakyat tidak pula bertambah karena semua putra mereka sekarang berada pula di perantauan dalam berbagai kepentingan, baik merantau sebagai pelajar atau mahasiswa atau perantau selaku insan mencarikan ‘perut yang tidak berisi punggung yang tidak tertutup’.

Timbullah jiwa apatis dalam bentuk gotong royong, serta banyaknya masyarakat yang bersifat menonton tidak lain juga disebabkan janji-janji para pemimpin pada jaman revolusi, bahwa seluruh pengorbanan dan kehancuran akibat revolusi itu akan diganti oleh pemerintah. Tapi sekarang setelah berjalan sekian tahun tidak satupun diantara para pemimpin yang berumbar janji-janji itu muncul. Jangankan bantuan yang akan diperoleh, malah makam wali nagari perang mereka sendiri Mirin Sutan Makmur yang mati kena tembakan Howitzer telah merimba, tidak pernah jadi perhatian. Sedangkan famili dari almarhum adalah orang-orang melarat ttidak mampu merawatnya.

Semangat gotong-royong yang melorot ini telah menjadikan Matur bertambah suram. Jalan-jalan kampung tidak terpelihara dan terawat, demikian juga jalan-jalan ke tempat ibadah dan ke tepian. Apalagi banyaknya putra daerah yang pergi merantau tinggallah rumah mereka. Akibat rumah tinggal, jadilah alam sekitar itu merimba, maka bertambah angkerlah jadinya Matur bagi perantau yang pulang sekali-sekali. Disamping itu pemuka-pemuka masyarakat yang tinggal di kampung boleh dikata tidak dapat berbuat banyak karena persooalan mereka itu sendiri tidak kalah pula pahitnya. Apalagi para pemuka ini justru telah terlibat pula dalam kegiatan politik, maka jadilah perantau sebagai “persatean”, bersatu dalam aturan lidi sate.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar