Minggu, 11 Maret 2012

II. ASAL USUL NAMA MATUR

Sebenarnya untuk mengungkapkan sesuatu menurut ilmu sejarah sangat diperlukan sekali banyak fasilitas atau petunjuk atau galian fosil yang memungkinkan memberikan fakta. Namun demikian sudah merupakan hukum dalam Minangkabau bahwa tiap sesuatunya yang bertalian dengan adat dan sejarah tidak mungkin kita peroleh bahan tulisan, hanya yang mungkin kita peroleh patung-patung atau tanda-tanda, fosil, atau sejenis kerangka manusia yang mungkin akan memberikan petunjuk, tapi oleh karena di Minagkabau sudah lazim cerita dari mulut ke mulut merupakan sumber dari suatu hikayat atau cerita maka hal ini dapat kita manfaatkan untuk sementara dari hal asal usul Matur. Mudah mudahan untuk masa mendaatang kita akan memperoleh data-data yang dapat meluruskan jalannya sejarah, sebagai pegangan bagi anak cucu kita dikemudian hari.

Masih di sekitar tahun 1930-an, penilis pernah melihat adanya sebuah batu mirip orang bersila yang terletak antara Jorong Laman Gadang dan Ikua Tanah. Setelah penulis meningkat dewasa walaupun batu itu terletak di tepi jalan tidak lagi penulis temui. Batu itu mirip arca Shiwa sedang duduk bersila. Penulis yakin bila batu itu dapat kita temui sekarang paasti banyak sedikitnya akan membantu kita dalam mewujudkan suatu sejarah. Namun demikian penuis telah berusaha untuk memperoleh gambaran sejarah dari orang tua-tua, serta yang patut patut. Mudah mudahan ada faedahnya.

Panakiak pisau sirauik

Ambiak galah batang lintabuang

Salodang ambiak kanyiru

Nan satitiak jadikan lauik

Nan sakapa jadikan gunuang

Alam takambang jadikan guru

Bertitik tolak dari alam takambang jadikan guru, serta pandangan yang ada hubungan dengan beberapa nama tempat/jorong, serta menyatakannya dalam bentuk tulisan.

Pada bab terdahulu telah kita uraikan, setelah lama berkelana memudikkan Batang Matur, ditemuilah sebuah dataran berpadang rumput yang subur dan nyaman. Oleh karena itu timbullah niat oleh kelompok/ rombingan untuk membuat huma dan nagari. Dipanggillah semua pemburu, besar kecil, tua muda, lelaki da perempuan untuk mendengarkan pituah dari kepala kelompok. Mereka semua duduk di padang rumput yang hijau, sedangkan kepala kelompok yang disebut juga Muncak Buru duduk bersila diatas batu besar.

Muncak Buru yang duduk diatas batu besar ini menjelaskan bahwa telah tiba masanya bagi kita untuk mebuat Huma dan Taratak, sepanjang tahun kita berkelana, anak lahir dalam perjalanan juga mati dalam perjalanan. Sudah seharusnya kita semufakat menukar kehidupan dengan bercocok tanam. Bukankah semasa di Pariangan dulu kita telah pelajari hidup berkaum dan berkerabat. Disamping itu tujuan kita berkelana selama ini ialah untuk mencari kedamaian. Rasanya sekarang hal itu telah mungkin kita peroleh. Disamping kita sepaham untuk melaksanakan Pituah Datuak Perpatiah Nan Sabatang, juga binatang buruan semakin berkurang. Oelh karena itu marilah kita obah cara kehidupan kita lagi dengan bercocok tanam seperti yang pernah dilaksanakan di Pariangan.

Setelah diperoleh kata sepakat untuk merobah cara penghidpan, maka dari anggota rombongan lalu bertanya ; “jika memang kita akan merobah cara hidup dari berburu kepada bercocok tanam, tolong jelaskan mana tanah yang akan kita olah ? ” Dengan tenang Muncak Buru menjawab ; “jika itu makasuik tuan tuan, Iko tanah” katanya. Nah, dengan kalimat yang sepatah “IKO TANAH” dari Muncak Buru itu, sampai sekarang sinonimnya tetap “iko Tanah”. Tidak pernah berubah, hingga jorongnya pun bernama “Jorong Iko Tanah”. Sedangkan tempat Muncak Buru memberi pituah tadi yang duduk bersila diatas batu bernama “BATU BASELO”. Sampai sekarang daerah tersebut bernama “Batu Baselo”. Tidak pernah lafasnya berubah, tetap bernama daerah tersebut sebagai daerah Batu Baselo.

Apakah ada hubungannya dengan arca / patung batu yang merupakan orang sedang duduk bersila sebagaimana telah kita uraikan terdahulu dengan insan Muncak Buru yang duduk bersila diatas batu itu ? Sampai dewasa ini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang. Sebaliknya kita jangan lupa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara ini pengaruh ajaran Hindu-Budha terlebih dahulu telah menjamah kehidupan manusiawi bangsa Indonesia, dan bahkan hingga sekarang masih terdapat sisa-sisa pengaruh agama Hindu tersebut, terutama pada pesta kelahiran, perkawinan, dan kematian. Jadi dengan demikian dapat kita tarik kesimpulan bahwa patung batu yang menggambarkan orang sedang duduk bersila tadi adalah merupakan prasasti pemujaan untuk kepala kelompok yang telah berjasa mencarikan tanah kedamaian guna kehidupan anak cucu mereka dikemudain hari.

Disebelah barat Batu Baselo tersebut ditemukan hamparan tanah yang sangat luas. Ditunjuklah daerah ini sebahagian daerah perkampungan untuk mendirikan perumahan bagi anak kemenakan. Dibuatlah rumah sebaris panjang, dengan pekarangan yang sangat luas disebut juga sebagai berhalaman luas. Dialek minang menjadikan halaman luas sebagai “Laman Gadang”. Dari saat itu sampai sekarang daerah tersebut bernama LAMAN GADANG. Jorongnyapun bernama Laman Gadang.

Kira-kira 200 meter dari Laman gadang ini ditemuilah sumber air bersih yang membersit dari bumi. Menurut para ahli pengairan jumlah air ini per detiknya lebih kurang 40 m3. Demikian besarnya smber air bersih ini walaupun letaknya agak jauh dibawah. Lembah ini kemudian diberi nama PINCURAN GADANG. Kesemua tempat yang disebutkan tadi mulai dari Batu Baselo, Iko Tanah, dan Laman Gadang terletak di Kenagarian Matur Hilir.

Perjalanan waktu selalu membawa perubahan, terutama bagi penduduk, yang tadinya sedikit lama-lama makin bertambah tiada terasa. Laman Gadang menjadi penuh sesak oleh penduduk. Oleh karena itu untuk keselamatan kaum, kembali kaum pengembara in mengadakan mufakat menentukan areal baru untuk digarap. Sebelum memberi petunjuk dan pituah, diingatkan lagi garis-garis adat yang akan dipakai, demikian pula jumlah suku tidak boleh berubah dari yang ada sekarang karena suku inilah kelak yang akan menentukan seseorang dengan saudaranya. Diikrarkanlah sumpah setia, selama dunia ini berkembang tidak akan menimbulkan huru-hara, tidak akan berbuat serong dalam bersaudara. Bila terjadi perselisihan pendapat atau benturan dalam menggariskan adat maka harus dicari air yang jernih, sayak yang landai, harus diperundingkan dengan yang tua-tua, disebut dalam pituah adat :

Kemanakan barajo ka mamak

Mamak barajo ka panghulu

Panghulu barajo ka mufakat

Mufakat barajo ka alue

Alue barajo ka patuik dan mungkin

Patuik dan mungkin barajo ka nan bana

Bana itulah nan manjadi rajo

Selanjutnya dipesankan dalam pituah adat :

Kaluak paku kacang balimbiang

Tampuruang lenggang lenggokkan

Baok malenggang ka surau aso

Anak dipangku kamanakan dibimbiang

Urang kampuang dipatenggangkan

Tenggang nagari jan binaso

Setelah semua yang hadir di Laman Gadang ini mendengar semua Pituah dan Petujk, dibagi dualah jumlah yang hadir dalam pertemuan itu. Sebagian “mengatur” negeri sebelah mudik, sedangkan yang separoh lagi tetap tinggal di Laman Gadang untuk mengatur negeri sebelah hilir. Yang mula katanya ialah “mengatur” karena mereka diberi hak mengatur negerinya masing-masing. Kelompok yang pergi ke sebelah mudik diharuskan mengatur negerinya sebelah mudik. Demikian juga halnya dengan yang tinggal disebelah hilir diwajibkan mengatur negerinya yang disebelah hilir. Jadi ada kelompok yang mengatur negeri disebelah mudik dan adapula kelompok yang mengatur disebelah hilir.

Demikian terjadinya “Matur Mudik” dan “Matur Hilir”. Sampai sekarang negeri sebelah mudik bernama “Kenagarian Matur Mudik” yang diperintah oleh seorang Wali Nagari. Demikian juga negeri sebelah hilir bernama “Kenagarian Matur Hilir” dan diperintah pula oleh seorang Wali Nagari.

Untuk keamanan anak kemenakan baik yang di Matur mudik maupun yang di Matur Hilir, dibuatlah parit yang panjang, mulai dari timur dekat Iko Tanah sampai ke barat ke kaki gunung Tandikat. Pekerjaan ini memakan waktu berabad-abad sampai masuknya agama Islam. Orang-orang yang tinggal disini atau negeri yang berparit panjang ini dinamailah “Parit Panjang”. Sampai sekarang daerah ini diperintah oleh seorang wali nagari dengan nama kewalian Parit Panjang.

Setelah adanya pembagian kelompok yang akan mengatur rombongan yang pergi ke sebelah mudik dan kelompok yang kesebelah hilir, demikian juga halnya rombongan yang ditetapkan mengatur negeri yang berparit panjang. Demi hari depan anak kemenakan agar hidup rukun damai lebih terjamin dikembangkanlah pertanian dan peternakan. Kalau tadinya rusa, kijang, kambing, banteng, babi, dan lainnya sebagai binatang buruan dijadikan santapan pada saat itu juga tanpa memikirkan untuk hari esok, maka sekarang semua ternak buruan harus dipelihara dan dikembang biakkan. Demikian pula pertanian, kalau tadinya hanya memakan umbi-umbian, jagung, pisang yang diperoleh secara kebetulan maupun yang ditanam bersifat sampingan maka sekarang bercocok tanam harus merupakan tujuan pokok. Apabila ternak telah dikembang biakkan dan bercocok tanam telah dikembangkan, dengan sendirinya kedamaian yang diidam idamkan oleh nenek moyang mereka sejak turun dari Benua Ruhun sampai ke lereng merapi, sekarang akan menjadi kenyataan. Kemakmuran muncul dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar