Pada tahun 1869 terusan
Keinginan hendak merantau dari hidup berpanjang tahun untuk berodi ini akhirnya sampai ke telinga Tuanku Laras, beliau LELONG TUANKU LAREH GELAR DATUAK MANGKUTO ALAM, juga oleh rakyat beliau digelari TUANKU LAREH SIRAH MATO. Baik secara langsung maupun tidak langsung Tuanku Lareh Sirah Mato ini dapat merasakan betapa pahitnya hidup yang dialami rakyatnya. Beliau menginsyafi keburukan dan ke brutalan penjajah. Banyak anak negerinya yang mati kelaparan, banyak pula yang kena fitnah yang kemudian dihukum dan akhirnya dikirim ke pusat-pusat kerja paksa membuat jalan dan jembatan. Hati beliau menjerit, jiwa memberontak, tapi apa daya kesatuan dan persatuan tidak dapat diperoleh. Politik pecah belah selalu dipompakan oleh Belanda. Belanda sangat pandai mengeruk di air keruh, tiap perselisihan antar anak negeri dipergunakan oleh Belanda untuk kepentingan politiknya.
Akhirnya Tuanku Lareh Sirah Mato ini berpendapat, kebrutalan penjajah ini harus diatasi dengan segala kepandaian. Jika anak negeri dibiarkan tetap bodoh Belanda pasti dengan mudah mencucuk hidung mereka sebagaimana halnya mencucuk hidung kerbau. Oleh karena itu pemuka-pemuka masyarakat yang berniat untuk merantau untuk sementara beliau larang. Bukan berarti tidak boleh, tapi beliau melarang justru mengingat ilmu apa yang bisa diandalkan di rantau nanti. Jadi jika ingin merantau juga hendaknya lengkapkan dulu ilmu di dada. Demikian nanti hidup di rantau orang tidak hanya hidup menjadi kuli, minimal mereka yang ingin merantau ini harus memiliki ilmu tulis baca. Hanya dengan ilmu tulis baca inilah akan kita ketahui situasi dunia. Hanya dengan tulis baca inilah kita akan memperoleh ilmu, baik ilmu tata negara maupun ilmu politik. Oleh karena itu bagi yang ingin merantau diperlukan syarat pandai membaca dan menulis.
Saran dan pendapat Tuanku Lareh Sirah Mato iini bukan tidak ada benarnya, tapi juga punya resiko karena sebegitu jauh di Minangkabau belum ada sekolah untuk anak pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang ada di Fort de Cock teruntuk untuk bagi anak-anak Belanda dan anak-anak pegawai ambtenaar saja. Oleh karena itu ucapan Tuanku Lareh ini mempunyai resiko, dan apabila tidak dipenuhi bukan tidak mungkin merupakan titik balik bagi rakyat. Rakyat bisa saja menganggap Tuanku Lareh sebagai penghalang, dengan suatu tujuan demi kepentingan politik cultuur stelsel. Tapi beliau menyadari titik balik ini. Oleh karena itu dengan segala kesanggupan beliau menghadap pada asisten demang meminta agar di Matur dibuka atau diadakan sekolah untuk pribumi. Belanda akan malu nantinya dimata dunia bila rakyat kami tetap bodoh, sedangkan tuan di negeri kami telah berhasil dalam banyak hal, baik dalam menghentikan perang saudara maupun dalam devisa, oleh sebab itu tuan harus bertanggung jawab untuk mencerdikkan kami dengan jalan memberikan kami sebuah sekolah lengkap dengan gurunya.
Konon menurut cerita, sewaktu mendengar tuntutan dan permohonan Tuanku Laras ini , asisten demang mukanya merah demikian juga dengan telinganya karena dia selaku yang dipertuan seakan-akan didikte oleh anak jajahannya. Tapi mengingat pengaruh Tuanku Laras ini terhadap rakyat dan juga akan keberanian Tuanku Laras ini, bagaimanapun merahnya muka Belanda ini namun lebih merah lagi matanya Tuanku Laras ini. Tidak salah bila rakyat menggelari beiau dengan Lareh Sirah Mato.
Disamping itu Tuanku Laras juga memsaukkan rasa kepada Belanda, bahwa dengan mengalirnya buah kopi, kulit manis, gula tebu, dan tembakau ke pasar matur, ini berarti Belanda membutuhkan tenaga, sekurang-kurangnya tenaga kerani yang akan menimbang dan membayar kopi rakyat, sedangkan rakyat kami belum tau tulis baca. Kami yakin bila rakyat kami telah bisa tulis baca berarti rakyat secara langsug akan membantu Belanda dalam menumpuk buah kopi dan segala macam keperluan Belanda. Untuk itu kami meminta kepada pemerintah agar di Matur diadakan sekolah untuk pribumi.
Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politik, akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1871 didirikanlah sebuah sekolah “Gouverment” di Matur yang didirikan atas dasar dan karsa beliau Lelong Gelar Tuanku Lareh Datuak Mangkuto Alam atau disebut juga dengan Lareh Sirah Mato. Sekolah gouvernment di Matur ini termasuk kualifikasi klas II di Minagkabau dengan masa belajar sampai dengan kelas V.
Dengan adanya sekolah gouvernment ini maka terbukalah mata rakyat dan makin terbukalah kesempatan untuk pergi merantau. Makin jelas dan teranglah bahwa akibat kebodohan selama ini dengan mudah saja Belanda dapat mengalahkan penduduk. Melalui pintu sejarah mereka dapat mengetahui jajaran Bukit Barisan sungguh panjang dan lebih panjang dan luas dari kepulauan nusantara ini yang pada saat itu disebut Hindia Belanda. Rakyat mulai berfikir bahwa Hindia Belanda itu tidak lain tanah air mereka, kalaulah selama ini perlawaan terkoordinir secara kesatuan janganlah sampai ke darat, ditengah laut saja Belanda itu sudah dapat dikalahkan, Tapi oleh karena kebodohan mereka tidak tau bahwa anak jajahan yang mereka sebut inlander itu adalah sanak saudara mereka sendiri.
Setelah melalui masa pendidikan di sekolah gouvernment selama
Dikaratau kito baladang
Ditanam pario sarato taruang
Marantau buan bahati gadang
Dek sangsaro hiduik dikampuang
Mereka melanglang buana di perantauan bukan hanya sekedar mencarikan perut yang tidak berisi, atau punggung tidak tertutup, tetapi mereka merantau memang karena terpaksa derita sengsara oleh cultuur stelsel serta tidak tahan melihat kemelaratan kaum keluarga yang dibebani segala kewajiban politik penjajah.
Oleh karena sistem cultuur stelsel itu bukan hanya berlaku untuk Matur saja, tapi berlaku di seluruh Hindia Belanda, jadi kemanapun kita pergi dibumi Nusantara ini pasti kita akan menemui peraturan itu. Pajak dibayar, rodi dilaksanakan, kecuali bagi mereka yang dapat bekerja sebagai pegawai Belanda jadi ambtenar atau kerani, yang pada pokoknya asal bekerja dengan Belanda mereka dapat dibebaskan wajib rodi. Demikian juga dengan peraturan wajib pajak belasting mereka akan dapat prioritas atau fasilitas, atau dibebaskan sama sekali dari tuntutan dari berbagai jenis pajak. Hal ini dengan sengaja dibuat oleh pemerintah Belanda dengan tujuan agar ujung tombak perbedaan hidup antar rakyat jajahan itu semakin menyolok dan apabila ini dipelihara terus maka selama itulah persatuan dan kesatuan antar rakyat jajahan tidak diperoleh.
Oleh karena ilmu yang dibawa oleh perantau Matur ini sampai dengan kelas
Oleh karena
Akibat dari ilmu tau baca tulis ini bisa menyenangkan orang tua dan kaum kerabat, sedangkan sekolah untuk menampung penduduk tidak cukup, maka secara bertahap Matur mulai mengenal dunia pendidikan dari bermacam ragam perguruan, tapi pada waktu itu dengan satu tujuan, tamat sekolah pergi merantau, kemudian mengirimkan wesel pos setiap bulan.
Memang pada saat itu pegawai-pegawai ambtenaar sengaja untuk disenangkan. Kehidupannya jauh lebih baik dan terhormat, sekurang-kurangnya terhormat menurut pandangan masyarakat . Lama-lama tujuan yang tadinya pergi merantau disebabkan tekanan hidup di kampung, baik oleh kemiskinan maupun oleh kerja paksa, tapi akhirnya merantau adalah objek penting. Apalagi setalah adanya perantau yang pulang sekali setahun pada hari baik bulan baik. Mereka menurut pandangan orang kampung cukup gagah, memakai sepatu yang mengkilap dan baju yang tidak patah strikaannya, menyebabkan semua orang kampung ingin jadi perantau. Jadi perantau bukan saja di dorong oleh kehidupan di kampung, tapi ingin merobah nasib sebagaimana yang telah dilakukan oleh perantau terdahulu. Jadilah rakyat Matur sebagai “perantau minded”dan jadilah insan Matur sebagai pegawai pemerintahan yang akan menerima gaji tiap bulan. Lebih dari itu mereka tidak dikenakan lagi wajib rodi.
Secara sepintas lalu mereka yang jadi pegawai Belanda berhasil dalam karirnya, demikian juga mereka berhasil membantu kaum keluarganya, bukan saja anak kemenakan saja yang disekolahkan dimana si pegawai tadi bekerja, tapi yang dikampungpun mereka asuh dan biayai secara kontinyu supaya terus bersekolah. Demikian pula halnya dalam membantu pembangunan, terutama bangunan rumah untuk anak kemenakan, mereka berusaha di rantau. Uang dikirim pulang untuk dipergunakan, baik untuk rumah anak maupun untuk rumah kemenakan. Tidak jarang pula para perantau mengirimkan uang untuk memagang sawah, membeli ternak, sedangkan mereka dirantau sendiri tidak membeli atau membuat rumah. Mereka di rantau hanya menyewa rumah petak atau sebuah rumah yang dipandang layak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar