Minggu, 11 Maret 2012

VII. RAKYAT MATUR SEBAGAI PERANTAU

Pada tahun 1869 terusan Suez dibuka untuk segala macam pelayaran, akibatnya selat malaka semakin ramai dan penting bagi pelayaran antar benua. Oleh karena itu Aceh semakin penting artinya dimata dunia, bukan saja Aceh memiliki kekayaan alam saja sebagai bahan ekspor, tapi juga semua kapal seakan-akan terpaksa harus berhenti dahulu di pulau We untuk menambah bahan bakar dan air minum. Justru itu banyak dari masyarakat pribumi terutama masyarakat Matur untuk merantau ke tanah Aceh. Walaupun mereka disana akan menjadi kuli, namun dirasa lebih mendingan daripada dijajah oleh Belanda.

Keinginan hendak merantau dari hidup berpanjang tahun untuk berodi ini akhirnya sampai ke telinga Tuanku Laras, beliau LELONG TUANKU LAREH GELAR DATUAK MANGKUTO ALAM, juga oleh rakyat beliau digelari TUANKU LAREH SIRAH MATO. Baik secara langsung maupun tidak langsung Tuanku Lareh Sirah Mato ini dapat merasakan betapa pahitnya hidup yang dialami rakyatnya. Beliau menginsyafi keburukan dan ke brutalan penjajah. Banyak anak negerinya yang mati kelaparan, banyak pula yang kena fitnah yang kemudian dihukum dan akhirnya dikirim ke pusat-pusat kerja paksa membuat jalan dan jembatan. Hati beliau menjerit, jiwa memberontak, tapi apa daya kesatuan dan persatuan tidak dapat diperoleh. Politik pecah belah selalu dipompakan oleh Belanda. Belanda sangat pandai mengeruk di air keruh, tiap perselisihan antar anak negeri dipergunakan oleh Belanda untuk kepentingan politiknya.

Akhirnya Tuanku Lareh Sirah Mato ini berpendapat, kebrutalan penjajah ini harus diatasi dengan segala kepandaian. Jika anak negeri dibiarkan tetap bodoh Belanda pasti dengan mudah mencucuk hidung mereka sebagaimana halnya mencucuk hidung kerbau. Oleh karena itu pemuka-pemuka masyarakat yang berniat untuk merantau untuk sementara beliau larang. Bukan berarti tidak boleh, tapi beliau melarang justru mengingat ilmu apa yang bisa diandalkan di rantau nanti. Jadi jika ingin merantau juga hendaknya lengkapkan dulu ilmu di dada. Demikian nanti hidup di rantau orang tidak hanya hidup menjadi kuli, minimal mereka yang ingin merantau ini harus memiliki ilmu tulis baca. Hanya dengan ilmu tulis baca inilah akan kita ketahui situasi dunia. Hanya dengan tulis baca inilah kita akan memperoleh ilmu, baik ilmu tata negara maupun ilmu politik. Oleh karena itu bagi yang ingin merantau diperlukan syarat pandai membaca dan menulis.

Saran dan pendapat Tuanku Lareh Sirah Mato iini bukan tidak ada benarnya, tapi juga punya resiko karena sebegitu jauh di Minangkabau belum ada sekolah untuk anak pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang ada di Fort de Cock teruntuk untuk bagi anak-anak Belanda dan anak-anak pegawai ambtenaar saja. Oleh karena itu ucapan Tuanku Lareh ini mempunyai resiko, dan apabila tidak dipenuhi bukan tidak mungkin merupakan titik balik bagi rakyat. Rakyat bisa saja menganggap Tuanku Lareh sebagai penghalang, dengan suatu tujuan demi kepentingan politik cultuur stelsel. Tapi beliau menyadari titik balik ini. Oleh karena itu dengan segala kesanggupan beliau menghadap pada asisten demang meminta agar di Matur dibuka atau diadakan sekolah untuk pribumi. Belanda akan malu nantinya dimata dunia bila rakyat kami tetap bodoh, sedangkan tuan di negeri kami telah berhasil dalam banyak hal, baik dalam menghentikan perang saudara maupun dalam devisa, oleh sebab itu tuan harus bertanggung jawab untuk mencerdikkan kami dengan jalan memberikan kami sebuah sekolah lengkap dengan gurunya.

Konon menurut cerita, sewaktu mendengar tuntutan dan permohonan Tuanku Laras ini , asisten demang mukanya merah demikian juga dengan telinganya karena dia selaku yang dipertuan seakan-akan didikte oleh anak jajahannya. Tapi mengingat pengaruh Tuanku Laras ini terhadap rakyat dan juga akan keberanian Tuanku Laras ini, bagaimanapun merahnya muka Belanda ini namun lebih merah lagi matanya Tuanku Laras ini. Tidak salah bila rakyat menggelari beiau dengan Lareh Sirah Mato.

Disamping itu Tuanku Laras juga memsaukkan rasa kepada Belanda, bahwa dengan mengalirnya buah kopi, kulit manis, gula tebu, dan tembakau ke pasar matur, ini berarti Belanda membutuhkan tenaga, sekurang-kurangnya tenaga kerani yang akan menimbang dan membayar kopi rakyat, sedangkan rakyat kami belum tau tulis baca. Kami yakin bila rakyat kami telah bisa tulis baca berarti rakyat secara langsug akan membantu Belanda dalam menumpuk buah kopi dan segala macam keperluan Belanda. Untuk itu kami meminta kepada pemerintah agar di Matur diadakan sekolah untuk pribumi.

Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politik, akhirnya pada tanggal 1 Oktober 1871 didirikanlah sebuah sekolah “Gouverment” di Matur yang didirikan atas dasar dan karsa beliau Lelong Gelar Tuanku Lareh Datuak Mangkuto Alam atau disebut juga dengan Lareh Sirah Mato. Sekolah gouvernment di Matur ini termasuk kualifikasi klas II di Minagkabau dengan masa belajar sampai dengan kelas V.

Dengan adanya sekolah gouvernment ini maka terbukalah mata rakyat dan makin terbukalah kesempatan untuk pergi merantau. Makin jelas dan teranglah bahwa akibat kebodohan selama ini dengan mudah saja Belanda dapat mengalahkan penduduk. Melalui pintu sejarah mereka dapat mengetahui jajaran Bukit Barisan sungguh panjang dan lebih panjang dan luas dari kepulauan nusantara ini yang pada saat itu disebut Hindia Belanda. Rakyat mulai berfikir bahwa Hindia Belanda itu tidak lain tanah air mereka, kalaulah selama ini perlawaan terkoordinir secara kesatuan janganlah sampai ke darat, ditengah laut saja Belanda itu sudah dapat dikalahkan, Tapi oleh karena kebodohan mereka tidak tau bahwa anak jajahan yang mereka sebut inlander itu adalah sanak saudara mereka sendiri.

Setelah melalui masa pendidikan di sekolah gouvernment selama lima tahun, mereka berhak untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah. Walaupun ijazah telah di tangan namun kewajiban selaku insan terjajah tetap dipenuhi. Pemeliharaan tanaman paksa tetap berjalan. Sistem cultuur stelsel sangat merusak jiwa mereka. Bukan hanya itu saja, pajak belasting harus dibayar, rodi mesti dilaksanakan, oleh karena itu niat merantau tidak dapat dibendung lagi. Akhirnya mereka yang telah mendapatkan ijazah sekolah gouvernment ini banyak yang pergi merantau dengan hiba hati, sebagaimana bunyi pantun :

Dikaratau kito baladang

Ditanam pario sarato taruang

Marantau buan bahati gadang

Dek sangsaro hiduik dikampuang

Mereka melanglang buana di perantauan bukan hanya sekedar mencarikan perut yang tidak berisi, atau punggung tidak tertutup, tetapi mereka merantau memang karena terpaksa derita sengsara oleh cultuur stelsel serta tidak tahan melihat kemelaratan kaum keluarga yang dibebani segala kewajiban politik penjajah.

Oleh karena sistem cultuur stelsel itu bukan hanya berlaku untuk Matur saja, tapi berlaku di seluruh Hindia Belanda, jadi kemanapun kita pergi dibumi Nusantara ini pasti kita akan menemui peraturan itu. Pajak dibayar, rodi dilaksanakan, kecuali bagi mereka yang dapat bekerja sebagai pegawai Belanda jadi ambtenar atau kerani, yang pada pokoknya asal bekerja dengan Belanda mereka dapat dibebaskan wajib rodi. Demikian juga dengan peraturan wajib pajak belasting mereka akan dapat prioritas atau fasilitas, atau dibebaskan sama sekali dari tuntutan dari berbagai jenis pajak. Hal ini dengan sengaja dibuat oleh pemerintah Belanda dengan tujuan agar ujung tombak perbedaan hidup antar rakyat jajahan itu semakin menyolok dan apabila ini dipelihara terus maka selama itulah persatuan dan kesatuan antar rakyat jajahan tidak diperoleh.

Oleh karena ilmu yang dibawa oleh perantau Matur ini sampai dengan kelas lima atau hanya sekedar bisa baca tulis saja, maka mereka tidak menghiraukan percaturan politik dunia dan juga jauh lebih kurang ilmunya dari penjajah itu sendiri. Disamping itu mereka pergi merantau tidak lain karena didera oleh berodi sepanjang tahun, serta tidak tahan melihat kaum keluarganya menderita kelaparan. Oleh sebab itu di perantauan mereka cepat-cepat mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda untuk jadi pegawai, guru, kerani, atau klerk. Mereka tidak ambil pusing dan tidak mau lagi terjajah atau tidak karena mereka sekarang telah cukup senang sebagai pegawai, tiap bulan bisa mengirimkan wesel pos membantu keluarga di kampung.

Oleh karena wesel pos ini terus mengalir tiap bulan ke Matur untuk kaum keluarga masing-masing, mereka yang tinggal di kampung berusaha pula untuk menyekolahkan anak kemenakan mereka dengan secepatnya dengan tujuan lekas pula pandai dan kelak jadi pegawai dan tentu tiap bulan mereka akan menerima pula kiriman wesel pos. Sehingga pada waku itu disebut-sebut menyekolahkan anak kemenakan sama dengan menabung, kelak mereka sendiri yang akan membongkar tabungannya. Namun demikian bila anak kemenakannya ada yang masuk serdadu Belanda, oleh masyarakat Matur dianggap tabu. Suatu peristiwa pernah terjadi seorang anak kemenakannya berkirim wesel pos ke Matur, tapi oleh karena yang berkirim ini adalah uang gaji dari serdadu maka uang ini dikembalikan oleh si penerima. Demikian bencinya orang-orang tua dahulu kepada Belanda, sehingga uangpun mereka tidak mau menerima.

Akibat dari ilmu tau baca tulis ini bisa menyenangkan orang tua dan kaum kerabat, sedangkan sekolah untuk menampung penduduk tidak cukup, maka secara bertahap Matur mulai mengenal dunia pendidikan dari bermacam ragam perguruan, tapi pada waktu itu dengan satu tujuan, tamat sekolah pergi merantau, kemudian mengirimkan wesel pos setiap bulan.

Memang pada saat itu pegawai-pegawai ambtenaar sengaja untuk disenangkan. Kehidupannya jauh lebih baik dan terhormat, sekurang-kurangnya terhormat menurut pandangan masyarakat . Lama-lama tujuan yang tadinya pergi merantau disebabkan tekanan hidup di kampung, baik oleh kemiskinan maupun oleh kerja paksa, tapi akhirnya merantau adalah objek penting. Apalagi setalah adanya perantau yang pulang sekali setahun pada hari baik bulan baik. Mereka menurut pandangan orang kampung cukup gagah, memakai sepatu yang mengkilap dan baju yang tidak patah strikaannya, menyebabkan semua orang kampung ingin jadi perantau. Jadi perantau bukan saja di dorong oleh kehidupan di kampung, tapi ingin merobah nasib sebagaimana yang telah dilakukan oleh perantau terdahulu. Jadilah rakyat Matur sebagai “perantau minded”dan jadilah insan Matur sebagai pegawai pemerintahan yang akan menerima gaji tiap bulan. Lebih dari itu mereka tidak dikenakan lagi wajib rodi.

Secara sepintas lalu mereka yang jadi pegawai Belanda berhasil dalam karirnya, demikian juga mereka berhasil membantu kaum keluarganya, bukan saja anak kemenakan saja yang disekolahkan dimana si pegawai tadi bekerja, tapi yang dikampungpun mereka asuh dan biayai secara kontinyu supaya terus bersekolah. Demikian pula halnya dalam membantu pembangunan, terutama bangunan rumah untuk anak kemenakan, mereka berusaha di rantau. Uang dikirim pulang untuk dipergunakan, baik untuk rumah anak maupun untuk rumah kemenakan. Tidak jarang pula para perantau mengirimkan uang untuk memagang sawah, membeli ternak, sedangkan mereka dirantau sendiri tidak membeli atau membuat rumah. Mereka di rantau hanya menyewa rumah petak atau sebuah rumah yang dipandang layak.

Inilah satu perbedaan yang kita temui sekarang. Kalau dulu para perantau ini mencari atau berusaha dirantau orang untuk membangun kampung halamannya, maka sekarang para perantau menghabiskan uangnya di rantau. Dapat di rantau habis di rantau. Mereka tidak membangun di kampung tapi diperantauan. Sanak famili dipesan atau dijemput, mereka berkumpul di rantau, tinggallah kampung, sunyilah tapian. Matur tidak punya gairah lagi bagi mereka. Pulangpun tidak terniat. Kalaupun pulang toh semua keluarga sudah sama mereka di rantau. Matur boleh berputih mata menanti dagang. Para pensiunan yang tua-tua silahkan menghitung dengan jari sekian anak cucunya di rantau, sekian pula yang di luar negeri, dan sudah sekian tahun pula tidak pulang. Apakah anak cucunya di rantau dapat merasakan sebagaimana kerinduan yang dirasakan oleh gaeknya yang menunggui kampung ? . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar